NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Rencana pengaktifan kembali dwifungsi TNI berbanding terbaik dengan gagasan dwifungsi Polri. Gagasan kedua jarang terdengar pembahasannya. Sebaliknya, dwifungsi TNI mendadak menjadi isu panas usai Panglima TNI berencana melakukan restrukturisasi organisasi kombatan. Problemnya, banyak perwira tinggi menumpuk di lingkungan TNI.
Salah satu langkah restrukturisasi yang akan dilakukan ialah merevisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan revisi UU TNI dianggap perlu untuk menyelesaikan masalah ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural. Nantinya, para perwira tinggi dan menengah TNI bisa menduduki jabatan strategis di kementerian dan lembaga (K/L) seperti eselon I dan II yang selama ini merupakan jabatan sipil.
Baca juga: Dwifungsi ABRI Diberangus, Mendagri Ciptakan Dwifungsi Polri
Jika dicermati, wacana ini sebetulnya sudah pernah disampaikan Presiden Jokowi pada akhir Januari 2019 lalu. Waktu itu Jokowi menyebut akan menyediakan 60 ruang baru untuk jabatan bintang perwira tinggi TNI. Dan TNI sendiri mengatakan penyediaan 60 ruang baru untuk jabatan bintang pati TNI bersumber dari Perpres 10/2010 tentang susunan organisasi TNI dan Perpres 62/2016 tentang Perubahan Perpres 10/2010.
Rencana Panglima TNI tampaknya gagal. Kendati berulang kali ditegaskan upaya tersebut bukan bermaksud mengembalikan dwifungsi TNI, tetap saja istilah restrukturisasi dan perwira tinggi aktif bisa mengisi jabatan sipil, dianggap bermuara pada dwifungsi TNI.
Baca juga: Menyoal Dwifungsi Polri
Rizal Ramli, Alissa Wahid, Al Araf (Imparsial), Hendardi (Setara Institute), Ombudsman RI, Pusat Studi HAM, dan beberapa Partai Politik kompak mengkritik rencana Panglima TNI. Bahkan, tokoh senior Rizal Ramli menyebut pengaktifan kembali dwifungsi TNI khianati amanat gerakan reformasi 1998 dan menghapuskan legacy Gus Dur. Ombudsman RI kemudian menyebut wacana tersebut berpotensi maladministrasi. Pasalnya, dwifungsi TNI sudah ditutup rapat-rapat melalui Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen ASN.
Lantas bagaimana dengan gagasan dwifungsi Polri? Tak banyak kalangan yang membahas gagasan ini karena memang tidak pernah diwacanakan. Namun, Pilkada 2018, gejala dwifungsi Polri cenderung menguat. Hal ini tampak pada kasus ditunjuknya perwira tinggi Polri sebagai pelaksana tugas atau penjabat gubernur. Kebijakan penunjukan unsur kepolisian menduduki jabatan Plt Gubernur pada momentum Pilkada lalu justru datang dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Atas kebijakan itu, Komjen Pol Mochammad Iriawan melaju mulus menduduki jabatan Plt Gubernur Jawa Barat.
Baca juga: Rizal Ramli Menolak Tegas Rencana Pengembalian Dwifungsi TNI
Saat itu M Iriawan masih berpangkat Inspektur Jenderal dan menjabat sebagai Asisten Kapolri Bidang Operasi. Isu pelantikan mantan Kapolda Metro Jaya itu pun menjadi polemik lantaran M Iriawan masih pejabat aktif Mabes Polri meski akhirnya ditunjuk juga oleh Kemendagri. Bersamaan M Iriawan, Kemendagri juga mengusulkan Plt Gubernur Sumatera Utara dijabat perwira Polri aktif, Kepala Divisi Propam waktu itu yakni Inspektur Jenderal Martuani Sormin. Namun, rencana ini gagal lantaran menuai polemik. Martuani Sormin akhirnya ditunjuk menjadi Kapolda Papua.
Wacana Kemendagri waktu itu memang sempat menuai pertentangan. Dalam artikelnya di NUSANTARANEWS.CO, Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri misalnya memandang wacana Mendagri tersebut merupakan wujud dari dwifungsi Polri. Dia lantas menentangnya karena dinilai membelakangi amanat konstitusi. Terlebih, kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Baca juga: Kompetisi Perwira Tinggi Polri dan Eksekutif Sangat Berbeda
Pasal 201 ayat (10) disebutkan bahwa posisi penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jabatan pimpinan tinggi madya ini merupakan ASN yang berasal dari Kemendagri atau daerah yang bersangkutan.
“Amanah reformasi tegas menyatakan di antaranya untuk menghapuskan dwifungsi ABRI. Maknanya, tidak hanya untuk memastikan netralitas TNI sebagai pemegang kuasa konstitusional yang menjaga pertahanan negara, tapi juga netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut seyogyanya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil (Polri -red),” jelas Mustafa Fakhri.
Baca juga: TNI-Polri Lahir Demi Bangsa dan Negara Bukan Untuk Politik Kekuasaan
Polri adalah institusi yang berdiri sendiri, bukan di bawah Kemendagri. Tapi, Polri tetap sipil yang diberi kepercayaan memegang senjata (Angkatan Keempat). Sehingga, pengisian kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur dari perwira Polri aktif tidak berdasarkan hukum dan mencederai semangat reformasi. Dan sesuai UU Pilkada, jabatan pelaksana tugas atau penjabat gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil. Harusnya, pejabat yang ditunjuk berasal dari pejabat di lingkungan Kemendagri. Lebih-lebih, netralitas Polri dalam agenda pemilihan umum (Pilkada, Pileg dan Pilpres) tidak boleh pudar.
Kasus penunjukan perwira tinggi Polri aktif tersebut hanyalah sebuah contoh semata. Sebab, bagaimana pun, gagasan pemolisian demokrasi (democratic policing) secara diam-diam telah disusun oleh kepolisian. Gagasan ini berangkat dari konsep Polri yang paripurna (excellence) di tengah tuntutan zaman.
Baca juga: Penggunaan Senjata Api Oleh Polisi Sudah Terlalu Banyak Masalah
Baca juga: Kapolri Diminta Mendata dan Evaluasi Senjata Api Anggota Kepolisian
Baca juga: SAGL, Senjata Jenis SAGM untuk Keperluan Prajurit Tempur
Mengutip makalah bertajuk Kebijakan Reformasi Kepolisian Demokratis Mewujudkan Strive for Excellence Polri, gagasan pemolisian demokrasi merupakan grand strategi Polri untuk mencapai tahapan Strive for Excellence (pencapaian institusi yang unggul) periode 2016-2025. Konsep pemolisian demokrasi dinilai dapat menjadi sarana untuk mewujudkan reformasi Polri. Hal ini dikarenakan melalui pemolisian demokratis, polisi dituntut untuk bertanggung jawab langsung kepada publik.
Dalam makalah itu disebutkan pula ada tiga proses peran kerja Polri Strive for Exellence yakni Gakkum, Limyomyan dan Kamtibmas. Sementara pilarnya terdiri dari enam poin di antaranya kontrol internal institusi keamanan (Kepolisian), kontrol pemerintah (eksekutif), pengawasan parlemen, judicial review dan pengawasan masyarakat sipil (civil society oversight).
Baca juga: Sebenarnya Ada Apa Dengan Kepolisian Republik Indonesia?
Baca juga: Polri Beli Senjata Standar Militer, DPR: Perlu Clearance BAIS Dulu
Pungkasan, Mustafa Fakhri kemudian mengingatkan, pemerintah harus senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan konstitusi. Pemerintah harus menghindari pembuatan kebijakan yang justru berpotensi menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan rakyat.
Editor: Eriec Dieda
Baca juga: Reformasi Polri: Kembalikan Polisi ke Pelukan Kemendagri
Baca juga: Polri Dipersenjatai Serupa TNI, IPW: Itu Salah Kaprah
Baca juga: Mantan Kapolri Chairuddin Ismail: Banyak yang Tidak Dipahami Tentang Kepolisian
Baca juga: TNI Adalah Bagian Dari Civil Society