Berita UtamaKolomTerbaru

Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop

Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop
Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop
Sebut saja namanya  Diana, selebgram yang namanya lagi berkibar di media sosial. Sudah beberapa jam ia nampak sibuk mengamati tren yang lagi populer di platform: Instagram, Tik Tok dan Facebook. Hampir semua pengguna medsos yang ia amati, menampilkan “highlight” atau versi ideal dari hidup mereka. “Yang terlihat di medsos adalah tampilan sempurna  yang telah dikurasi, diedit dan dipoles sedemikian rupa. Sehingga sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu” ujar Diana, sambil menggeleng gelengkan kepalanya. “Ini semua terjadi lantaran media sosial memungkinkan setiap orang untuk mengatur tampilan hidupnya sesuai dengan citra yang ingin ia tampilkan.”
Oleh: Aslamuddin Lasawedy

 

Fenomena di era digital  ini, menurut Diana, membuat publik kian tenggelam dalam ilusi atau gambaran yang dibentuk oleh media sosial. Publik kehilangan pegangan pada kenyataan obyektif. Pun kehilangan kemampuan untuk membedakan realitas asli dan realitas tiruan. Ini mereduksi makna pencitraan menjadi sekadar upaya untuk membentuk citra tertentu melalui manipulasi tampilan diri, informasi, dan simbol-simbol.

Baca Juga:  Hongaria Dukung Program Otonomi Khusus untuk Menyelesaikan Sengketa Sahara Maroko

Munculnya teknologi  “deepfake” atau teknik memanipulasi gambar atau video menggunakan “Artificial Intelligent” (kecerdasan buatan), membuat publik makin sulit membedakan mana yang asli dan mana yang imitasi. Penggunaan teknologi semacam ini di media sosial,  memperparah krisis realitas, yang memungkinkan penciptaan “kenyataan” baru yang terlihat sangat otentik. Di tangan yang salah, ini bisa memicu  penyebaran informasi palsu, memanipulasi opini publik, bahkan boleh dikata sebagai bentuk penipuan gaya baru. Fenomena inilah yang mengarah pada “runtuhnya realitas,” di mana batas antara kenyataan yang asli dan yang artifisial menjadi kabur atau bahkan menghilang.

Menurut Jean Baudrillard, seorang filsuf Perancis, pencitraan dan representasi yang disampaikan berulang kali melalui media akan menghasilkan “simulacra,” atau salinan/tiruan yang tidak lagi memiliki hubungan dengan aslinya. Pada tahap tertentu, simulakra ini bisa menggantikan realitas atau bahkan membentuk realitas baru yang “hyperreal,” di mana tiruan yang dibuat secara artifisial dianggap lebih “nyata” daripada kenyataan itu sendiri.

Baca Juga:  Fraksi NasDem DPRD Nunukan Dorong Pemerintah Aktifkan Kurikulum Muatan Budaya Lokal

Melalui media sosial, publik terhubung dengan dunia digital dengan segala dinamikanya.  Di balik media sosial ada algoritma yang dirancang untuk menunjukkan konten yang paling menarik, dramatis, dan kontroversial, yang seringkali bukanlah representasi akurat dari realitas. Algoritma ini memprioritaskan interaksi, dimana konten-konten yang terkesan “melebih-lebihkan” yang paling sering mendapat atensi khusus. Pengguna medsos akhirnya terjebak dalam realitas yang dibentuk oleh algoritma, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan dunia nyata. Likes, shares, dan views menjadi tolak ukur yang kerap dianggap lebih berharga dibanding interaksi di dunia fisik. Akibatnya, persepsi pengguna medsos tentang apa yang “normal” dan “ideal” menjadi bias, dengan standar yang semakin jauh dari realitas. Ini menimbulkan apa yang disebut Baudrillard  sebagai hiperrealitas. Suatu kondisi di mana seseorang merasa lebih dekat dengan “kenyataan” tiruan yang ada di media sosial daripada realitas kehidupan sehari-hari.

Fenomena hiperrealitas ini, berdampak luas, utamanya bagi generasi muda yang tumbuh besar dengan media sosial. Pemahaman mereka tentang realitas kerap terbentuk oleh citra-citra yang mereka konsumsi secara terus-menerus melalui medsos. Sehingga kehidupan keseharian mereka rentan terhadap pengaruh tren, standar kekayaan, hingga gaya hidup tertentu

Baca Juga:  Bonek Suroboyo Beri Dukungan, Kemenangan Khofifah-Emil di Pilgub Jawa Timur di Depan Mata

Pada akhirnya di era budaya pop ini, penting bagi pengguna media sosial untuk menyadari adanya “simulakra” yang dihadirkan di sejumlah platform digital. Membangun citra itu memang penting dan bermanfaat bagi banyak hal, selama citra yang terbangun adalah citra positif yang tidak manipulatif. Namun yang terpenting dan harus di ingat bahwa tidak semua yang terlihat di media sosial itu adalah cerminan kehidupan yang sebenarnya. Keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata, perlu dijaga. Membangun citra bukan sekadar membangun kesan yang baik dan sempurna, namun lebih kepada bagaimana membangun nilai nilai humanistik dan relijius yang bermanfaat bagi khalayak ramai.(*)

Penulis: Aslamuddin Lasawedy, Pemerhati masalah budaya dan politik

Related Posts

1 of 8