KolomPolitik

Sebenarnya Ada Apa Dengan Kepolisian Republik Indonesia?

Oleh: Eko Ismadi

NUSANTARANEWS.CO – Pernyataan Kapolda Riau adalah sikap kedua kalinya dari perwira Polisi Republik Indonesia yang merendahkan peranan dan martabat Prajurit TNI. Dimana sebelumnya juga ada seorang Komisaris melakukan hal sama walaupun dengan perkataan berbeda. Sekalipun sama, namun dilihat dari kualitas pernyataannya, terasa dan terlihat ada peningkatan.

Pernyataan Kapolda Riau Irjen Nandang ‘Negara boleh tak ada tentara, tapi polisi harus ada. Karena dalam keadaan aman pun masih dibutuhkan Polisi di Indonesia ini karena bisa melayani semuanya, segala macam diurus, beda dengan negara lain’ menunjukkan provokasi yang mengarah pada perpecahan.

Sebenarnya saya bangga dengan sikap kepolisian sekarang ini karena bila dibandingkan sikap dan perilaku polisi sebelumnya Polisi sekarang sudah jauh memiliki perubahan. Tetapi memang patut disayangkan perubahan itu tidak pada batas koridor kebangsaan Indonesia dan ideologi Negara Indonesia.

Demikian juga saya berpikir bahwa mengoreksi atau menilai instansi lain itu tidak sopan dan tidak pantas. Tetapi dengan beberapa sikap pernyataan Pejabat Kepolisian setingkat Komisaris dan Jenderal itu menunjukkan bahwa hal demikian ini, tidak bisa dianggap sepele. Kita bisa melihat bagaimana rentetan pernyataan merendehkan terhadap TNI terjadi, mulai tingkat Bintara (Tamtama Polisi) dari Brimob, kemudian Perwira di Polsek, selanjutnya Komisaris di Polda, dan yang terakhir Jenderal berpangkat Irjen selaku Kapolda Riau merupakan realitas kekinian yang tengah terjadi di Polri.

Mengenal Sekilas Sejarah Polisi Republik Indonesia

Awal dibentuknya Kepolisian Republik Indonesia sesungguhnya mengacu kepada sistem pemerintahan Jepang yang melibatkan polisi dalam kekuasaan. Maka pada masa perang kemerdekaan Indonesia oleh Kepala Staf Umum ABRI saran pembentukan Polri disetujui. Konsep kepolisian yang disetujui adalah satuan negara yang bertugas menegakkan dan menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat, bukan keamanan nasional.

Sementara itu, pada tahun 1948 pejabat polisi selalu berusaha untuk mengubah peranan Polisi dan kedudukannya meniru Polisi Amerika dan Eropa. Tetapi karena kondisi politik dan ekonomi Negara pada masa itu masih sibuk dengan konflik dan permasalahan di daerah, Presiden Soekarno belum merespon keinginan polisi tersebut. Kondisi itu berlangsung hingga tahun 1955.

Terbentuknya Brimob merupakan sebagai awal perubahan. Diawali dengan melakukan pengamatan intelejen Amerika di Indonesia atau yang kita kenal dengan CIA tahun 1955 hingga 1958, menyimpulkan perlu adanya polisi bersenjata di Indonesia. Satuan ini kemudian yang disebut Brimob. Mengingat organisasi TNI tidak bisa menjangkau ke seluruh wilayah tanah air menurut Amerika. Kemudian Amerika membentuk Satuan Brimob dan berikut persenjataannya ditahun 1961. Amerika mengganti senjata Brimob dengan AR 15 yang menjadi cikal bakal M 16 senjata andalan Amerika hingga sekarang ini.

Baca Juga:  Ketum Gernas GNPP Anton Charliyan Ikut Semarakkan Kampanye Akbar Prabowo-Gibran di Stadion GBLA Bandung

Polisi di tahun 1966. Ketika terjadi pengkhianatan G30S/PKI dan terjadi pemerintahan yang berkuasa dari Orde Lama ke Orde Baru kemudian terjadi perubahan organisasi polisi, termasuk persenjataaannya. Polisi bukan angkatan bersenjata tetapi dirubah menjadi aparat bersenjata. Kondisi ini berlangsung hingga pemerintahan SBY berakhir.

Polisi di masa pemerintahan hasil pilpres 2014. Polisi ingin berada di seluruh kegiatan militer seperti matra laut dan ingin mengambil alih pengawasan laut. Untung saja, TNI AL berhasil menghalau, sehingga niat polisi hanya terwujud sebatas Polairut. Di TNI AU, polisi berhasil mengambil alih aktifitas TNI AU di Bandara Udara dengan membentuk Polres, tetapi kenyataannya warga asing illegal justru bebas masuk Indonesia. Sekarang ini polisi ingin mengambil alih fungsi TNI dengan mereposisi Brimob sebagai kekuatan militer. Bahkan sekarang Polisi sudah menyebut dirinya Prajurit Brimob, apa maksudnya?

Polisi Dalam Sejarah Nasionalisme Indonesia

Bangsa Indonesia sedang sibuk berjuang mengusir penjajah dan bertarung antara hidup dan mati mengorbankankan jiwa raga. Petinggi Polisi sibuk menyempurnakan organisasi dan status serta kedudukan organisasi polisi. Demikian pula bangsa Indonesia harus berjuang melawan PKI dan Komunisme Cina ditahun 1965, sementara Polisi justru sibuk membela pemerintahan Soekarno yang nyata dibela komunis dan PKI, dan suasana ini berlangsung hingga tahun 1966. Untung saja ada Polisi yang bernama Sukitman. Kalau saja tidak ada nama itu mungkin Polisi sudah luluh lantak tidak berbekas. Dan diganti dengan anggota polisi baru seluruhnya.  Ini yang harus dipahami oleh Perwira Polisi dan anggota Polisi.

Pertama, tahun 1976. Polisi yang diwakili oleh Brimob dengan lambang MABAK. Diberangkatkan ke Timor Timur. Kebetulan saya tahu Kapal yang mengangkut Brimob singgah beberapa hari di Pelabuhan Trisakti Banjarmasin Kalsel. Namun perlu kita ketahui tercatat dalam catatan operasi bahwa Brimob yang ditugaskan ke Timor Timur itu satu Batalyon melarikan diri dan pulang ke Jakarta. Semoga saja Brimob dan Polisi mau mengakuinya dan mencatat peristiwa ini.

Baca Juga:  Kolaborasi dengan Rumah Sehat Rabu Biru, Titiek Soeharto Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Desa Triharjo

Kedua, tahun 1998. Dalam peristiwa reformasi, Polisi banyak meninggalkan kantornya dan dibiarkan kosong, sekalipun masih ada satu dua yang bergerak di lapangan mengantar makanan untuk TNI yang mengepos dan mengamankan kota. Dengan kondisi itu, ditahun 1998 banyak TNI yang menjadi Kapolsek dan Kapolres karena kondisi kantor polisi yang tidak teratur. (Memang TNI dituduh terlibat kasus Semanggi namun ternyata sekarang terbukti siapa di balik Reformasi 1998 ternyata adalah PKI yang berarti ini adalah masalah terulang di tahun 1965. Dimana PKI dan komunisme berhadapan dengan TNI).

Ketiga, tahun 1999. Di Baucau banyak Polisi yang mengorbankan dan memberikan Pistol agar diberi urutan terdahulu untuk mengungsi dari wilayah Timor Timur di Baucau melalu Bandar Udara. Saya paham betul tetang ini semoga Polisi mencatat peristiwa sejarah ini.

Keempat, tahun 2001. Tepatnya di tanggal 15 Juni 2001 terjadi konflik intern di tubuh Polisi yaitu memiliki Kapolri dua Orang. Tahukah Perwira Polisi sekarang siapa yang menyelesaikan konflik tersebut? Salah satunya adalah TNI AD. Apakah Perwira Polisi paham dengan peristiwa tersebut? Semoga Perwira Polisi paham dengan catatan sejarah ini.

Kelima, tahun 2016. Tahun 2016 ketika terjadi demo 411 yang terjadi di depan Istana Negara Jakarta. Polisi juga ngacir tidak berani berhadapan dengan demonstran dan bahkan pura-pura sibuk mengurus Presiden di wilayah lain.

Doa dan Harapan

Semoga perkataan seorang Jenderal Polisi di Riau adalah pernyataan yang terkahir dari polisi untuk merendahkan dan melecehkan peranan serta keberadaan TNI. Jenderal adalah seorang simbol kekuatan satuan dan integritas institusi. Bahkan Jenderal adalah tokoh masyarakat dan simbol kebanggaan daerah wilayah kelahiran. Sungguh sangat disayangkan bila ada Jenderal yang bersikap seperti Kapolda Riau tersebut.

Polisi harus belajar sejarah, agar tidak terjerumus dalam permasalahan yang sama. Juga dengan belajar sejarah kita bisa memahami diri sendiri dan memahami orang lain. Tidak merasa dirinya paling hebat karena ketidaktahuan siapa dirinya. Sebaliknya polisi akan diakui kehebatannya karena tahu dirinya dan memahami sejarah.

Baca Juga:  Kawal Suara Prabowo-Gibran di TPS, Projo Jatim Siapkan 250 Ribu Kader

Kita berharap memiliki Polisi yang mencerminkan kesejarahan bangsa Indonesia dan nasionalisme Indonesia. Dari permasalahan Indonesia terlebih ingin mengulang peranan Polisi dan Brimob di masa Nasakom. Yang berarti Polisi akan menjadi bagian dari PKI dan komunisme masa kini.

Pertanyaannya, apakah Polisi sekarang ini sudah mencerminkan kesejarahan Nasionalisme Indonesia?

Polisi silahkan belajar dari sejarah tentang catatan TNI dan Negara. Dan perlu dipahami bahwa TNI memiliki sejarah yang tidak sama dan memiliki keunikan sejarah yang tidak dimiliki oleh militer Negara lain. Dan ini jangan sampai Polisi mencoba untuk merubah atau merebutnya karena perilaku tersebut adalah berlawanan dengan sejarah. Perilaku yang menyimpang dari sejarah akan membuahkan bahaya dan celaka. Kalau Polisi ditahun 1965 masih ada Pak Hoegeng dan Sukitman menjadikan polisi jadi selamat dari konflik, kalau sekarang ada siapa?

Kesimpulan

Saya paham betul bagaimana proses penyelesaian konflik Polisi di tahun 2001, dan perlu juga diketahui oleh jenderal Polisi dan perwira Polisi bahwa banyak pendapat dari mantan Kapolri yang masih hidup menilai sikap Polisi sekarang sudah menyimpang. Danperlu dikembalikan ke posisinya. Semoga ini dipahami benar oleh jenderal Polisi sekarang ini.

Berdasarkan pemikiran mantan Kapolri tersebut, maka negara akan dapat melakukan apapun terhadap Polisi sepanjang untuk kepentingan negara. Karena kita tahu bagaimana mengurus Polisi dan bagaimana berhadapan dengan Polisi. Tetapi sesama komponen bangsa apakah pantas berebut popularitas? Mari kita berpikir yang tepat untuk kebangsaan Indonesia.

Saran

Perlu kembali dikaji tentang ‘keamanan nasional dan ketertiban nasional’ di hadapkan dengan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Perlunya berpikir permanen bagi peranan TNI untuk menjaga tegak kokohnya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sejarah perjuangan nasionalisme Indonesia. Karena yang tidak suka dengan peranan TNI selama ini hanya PKI dan Komunisme. Maka dari itu, bila ada Jenderal Polisi yang tidak suka dengan keberadaan TNI dalam kehdiupan kebangsaan Indonesia adalah PKI dan Komunisme.

NKRI Harga Mati!!!!!

Editor: Romandhon

Related Posts