NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng membeberkan siasat rentenir atau pemburu rente memburu pundi-pundi uang dalam sebuah negara. Tak jarang, para penguasan kadang juga terlibat dalam kegiatan tersebut demi mempertahankan kakuasaan dan kekayaan yang telah berhasil dikumpulkannya.
Menurut Daeng, para penguasa cenderung langgeng kekuasaannya apabila terus menerus berada di bawah naungan para rentenir, terutama rentenir kelas internasional.
Tahap pertama, merangcang mega proyek apa saja termasuk infrastruktur dalam jumlah sangat besar yang tidak akan mampu dibiayai dengan penerimaan APBN suatu negara atau kas BUMN suatu negara.
Baca juga: Pangan adalah Kebutuhan Primer Suatu Bangsa
Tahap kedua, menempatkan orang-orang dalam jabatan terkait dengan perencanaan ini seperti kementerian Bappenas, Kementerian BUMN dan Kementrian Keuangan sebagai agen yang menjalankan mandat pemberi utang.
Tahap ketiga, membuat rancangan utang super jumbo bagi APBN dan bagi BUMN dalam jumlah yang tidak akan mungkin dapat dilunasi sehingga akan tercipta ketergantungan dalam jangka panjang dan terus menerus.
Tahap keempat, membikin ilusi produk domestik bruto (PDB) besar, sehingga terlihat seolah-olah negara tersebut layak mengambil utang. Meski semua orang tahu bahwa PDB tidak ada kaitan dengan utang. PDB sebetulnya adalah milik pemberi utang itu sendiri. Utang berkaitan dan akan dibayar dengan pajak dan penerimaan non pajak. Dengan demikian maka tercipta ilusi seolah pemerintah dan BUMN mampu bayar utang. Padahal kenyataan tidak mampu.
Baca juga: 2018 Indonesia Krisis Ekonomi? Ini Indikasinya
Tahap kelima, melakukan revaluasi aset BUMN, buat asetnya menggelembung sehingga tersedia landasan bagi BUMN tersebut untuk ambil utang. Dengan demikian tidak akan kelihatan publik bahwa seluruh aset BUMN telah dijadikan jaminan utang.
Tahap keenam, melakukan holding BUMN agar tidak hanya satu atau dua BUMN yang dijadikan jaminan utang. Kalau bisa semua aset BUMN strategis telah menjadi jaminan utang. Holding juga menyediakan kesempatan para pejabat untuk korupsi atau mengambil untung secara pribadi.
Tahap ketujuh, menempatkan tukang ambil utang sekaligus berperan sebagai debt collector atau tukang tagih nantinya, sebagai menteri BUMN untuk tagih deviden BUMN dan menteri keungan untuk tagih pajak ke rakyat.
Baca juga: Klarifikasi Kementerian BUMN Soal Rekaman Percakapan Rini dan Basir Malah Perpanjang Masalah
Tahap delapan, menjatuhkan nilai tukar. Dengan demikian maka pemerintah dan BUMN akan membayar kewajiban lebih besar dari utang yang sebenarnya. Pemerintah dan BUMN tidak hanya membayar kewajibam bunga tetapi juga membayar selisih kurs.
Tahap kesembilan, menaikkan resiko utang. Dengan demikian maka pemerintah dan BUMN harus membayar asuransi resiko yang lebih mahal.
Tahap kesepuluh, memaksa pemerintah menaikkan pajak dan memperluas basis pajak agar terus dapat membayar utang. Saat yang sama, belanja publik dan belanja lainnya harus dipangkas, sehingga APBN tetap prioritas membayar kewajiban utang.
Baca juga: Tax Amnesty Adalah Program Tukang Ngentit Uang Negara
Tahap kesebelas, memaksa Bank Indonesia (BI) atau otoritas moneter menaikkan suku bunga, dengan demikian maka bank penyalur kredit mendapat bunga lebih besar dari rakyat. Jika kredit macet, maka pemerintah dipaksa menalagi bank yang terancam bangkrut. Bagus jika benar-benar bangkrut maka bank bisa disita oleh rentenir global.
Tahap keduabelas menaikkan sewa, harga, biaya, seluruh sektor publik seperti BBM, listrik, pendidikan, kesehatan (BPJS) untuk meningkatkan daya sedot keuangan rakyat. Jika rakyat tidak mampu maka badan badan yang menangani urusan publik tersebut bangkrut, setelah itu bisa disita oleh rentenir internasional.
“Begitulah cara pemerintah (penguasa) menjalankan negara agar langgeng berkuasa di bawah naungan rentenir internasional,” kata Daeng. (red/ed/nn)
Editor: Gendon Wibisono