EkonomiFeatured

Menyoal Holding BUMN dalam Perspektif Ekonomi Konstitusi

NUSANTARANEWS.CO – Pada awal tahun 2018 ini polemik pengambilalihan status kepemilikan saham beberapa BUMN menjadi status saham tunggal atau disebut Holding, kembali mencuat ke publik. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa sebab yang terjadi selama proses interaksi konsolidasi organisasi yang telah dilakukan oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Teknis terkait isu dan permasalahan yang melatarbelakangi kemendesakan (urgency) holding beberapa BUMN ini selama hampir 10 tahun lebih.

Selain isu dan permasalahan manajemen dan kinerja masing-masing BUMN, faktor penguasaan sektoral bisnis intinya (core business) dan faktor poliitik yang menyertainya juga turut berpengaruh dalam proses konsolidasi dan komunikasi antar pemangku kepentingan (stakehokders). Misalnya, pihak Dewan Manajemen BUMN (which is the leading one than others), tentu akan mempersoalkan bagaimana komposisi saham mayoritas dan saham asing yang ada di BUMN itu sendiri adalah tugas dan proses yang tidak mudah. Setidaknya para pihak tentu akan melihat momentum holding ini pada 2 (dua) sisi kepentingan yang berbeda, sebab masing-masing BUMN yang akan diholdingkan memiliki karakter bisnis yang berbeda, dan selama ini telah mapan pada posisi masing-masing.

Tentu saja resistensi (mempertahankan posisi) dari masing-masing pihak akan selalu ada untuk mengamankan posisi atau kekuatan atas kapasitas mereka serta kepentingan internalnya dalam mengembangkan dan memajukan perusahaan BUMN yang dikelola selama berpuluh-puluh tahun.

Namun, untuk menegakkan jalannya perekonomian bangsa sesuai konstitusi. Paling tidak, langkah holding BUMN itu kita harapkan dapat dilakukan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai dengan prosedur dan peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku dan tak melanggar konstitusi, terutama pasal 33 UUD 1945.

Setelah melakukan pengelolaan BUMN melalui kebijakan hildong ini, maka diharapkan BUMN akan mampu berperan lebih leluasa dalam menentukan kebijakan pengelolaan BUMN di dalam negeri dan kita akan menjadi tuan di negeri sendiri dalam mencapai kemandirian di sektor Ekonomi bangsa dan negara di masa depan.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

Kinerja BUMN

Sebagaimana diketahui bahwa saat ini banyak BUMN dalam posisi kinerja yang tidak baik dan beberapa mengalami kerugian menuju bangkrut. Disamping itu, ada BUMN yang memperoleh penugasan dari pemerintah untuk menjalankan kebijakan tertentu, bahkan di luar bisnis intinya dan menanggung beban operasi yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dan merupakan kebijakan politik pemerintahan Presiden Joko Widodo yang harus dijalankan, misalnya kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia ini yang merupakan upaya Presiden Joko Widodo dalam memberikan keadilan bagi masyarakat Indonesia yang berada di wilayah terpencil, terluar dan terjauh serta merupakan penugasan bagi BUMN PT. Pertamina untuk jenis Premium dan bersubsidi untuk jenis minyak tanah dan solar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Perpres 191 Tahun 2014. Dan, selama setahun pelaksanaan kebijakan BBM Satu Harga ini, tercatat hasil kinerja Triwulan III (rentang bulan Juli-September 2017) perolehan laba yang berhasil dibukukan Pertamina mengalami penurunan laba sebesar 27 persen atau menjadi Rp 26,8 Trilyun (US$ 1,99 Milyar) dengan patokan kurs dollar USA Rp 13.500 dibanding periode yang sama pada Tahun 2016 yang sebesar Rp 38, 2 Trilyun. Sedangkan perolehan laba Pertamina pada Triwulan I (Januari-Maret) 2017 mengalami penurunan sebesar 25 persen, yaitu US $ 760 juta atau Rp 9,88 Trilyun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 1,01 Milyar atau Rp 13,13 Trilyun, artinya dari Triwulan I ke Triwulan III terdapat selisih kenaikan penurunan laba sebesar 2 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Gelar Gebyar Bazar Ramadhan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat

Jika hanya mengacu pada faktor harga, maka kenaikan harga minyak mentah dunia seharusnya berpengaruh pada harga jual eceran BBM dan tanpa ada kenaikan harga jual eceran BBM, maka bisa jadi faktor kenaikan harga ini yang paling signifikan mempengaruhi penurunan laba Pertamina. Oleh karena itu, komitmen untuk menjaga pertumbuhan laba BUMN tetap perlu dijaga sebagai bentuk penguasaan negara atas sektor strategis ini dan bukan oleh swasta. Lebih lanjut lagi hal ini ditegaskan di dalam pasal konstitusi ekonomi ayat 3 nya yang menyatakan bahwa: Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan negara untuk sektor tertentu dalam hal ini jelas bukan hanya sebagai pembuat kebijakan (regulator) tetapi negara melalui BUMN yang dikelola dengan manajemen yang efektif dan efisien serta tenaga-tenaga profesional adalah bertujuan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Tanpa adanya penyesuaian harga BBM yang diperjualbelikan oleh Pertamina dan tidak adanya imbal balik (trade off) bagi Pertamina, maka beban biaya Pertamina akan meningkat dalam melayani BBM penugasan di wilayah-wilayah terpencil, terluar dan terjauh tersebut. Sementara itu, Pertamina juga dituntut membangun industri hulu migas yang lebih kompetitif dan diwajibkan untuk memberikan kontribusi dalam bentuk pajak dan dividen kepada Negara.

Aspek Konstitusi

Apabila kita mengabaikan peran BUMN strategis seperti Pertamina dan menyerahkan semua proses ke pasar yang kapitalis-liberalis, maka bangsa Indonesia hanya akan mengandalkan penerimaan negara dari pajak dan itu tak akan signifikan dalam membantu keuangan negara. Untuk itulah perlu segera membenahi sektor hulu migas ini agar kemampuan produksi Pertamina semakin baik dalam memenuhi kebutuhan konsumsi minyak di dalam negeri. Sebagaimana data yang dipublikasikan SKK Migas, produksi minyak pada kuartal I Tahun 2017 mencapai 815,6 ribu barrel per hari, dan hasil ini melampaui target dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang hanya sebesar 815 ribu barrel per hari atau sebesar 600 barrel, ada kenaikan produksi sebesar 0,07 persen.

Baca Juga:  Loloskan Ekspor Kepiting Berkarapas Kecil, Pengusaha dan Balai Karantina Ikan Diduga Kongkalikong

Walaupun demikian, jumlah produksi migas yang melampaui target ini belum mampu untuk memenuhi jumlah konsumsi minyak dalam negeri yang mencapai 1,6 juta barrel per hari. Artinya, masih ada kekurangan pasokan dari produksi minyak nasional untuk memenuhi konsumsi masyarakat di dalam negeri dengan jumlah yang sama dengan produksi yang saat ini bisa dicapai atau kekurangan yang harus diimpor sebesar 800 ribu barrel per hari. Mengandalkan kekurangan konsumsi dalam negeri pada impor tentu saja akan banyak menghadapi tantangan dan permasalahan global, terutama sekali soal harga keekonomian dunia dan posisi tawar Indonesia saat ini yang tidak lagi menjadi negara produsen minyak.

Oleh karena itu, pengelolaan Blok Mahakam dan konsolidasi sektor hulu energi mutlak dikerjakan oleh Pertamina. Perubahan komposisi saham (share dowm) dari 30 menjadi 39 persen jelas merupakan sikap dan tindakan yang tidak berpihak pada Ekonomi Konstitusi dan sangat diragukan rasa nasionalisme para pihak yang berencana melakukannya, terutama Kementerian BUMN Presiden harus secara tegas memposisikan diri dalam persoalan ini, sebab jangan sampai justru menjadi subyek yang tidak berperan dalam memutuskan Holding BUMN dan komposisi saham masing-masing nya supaya sejalan misinya dengan Trisakti dan Nawacita dalam mencapai kemandirian energi nasional.

Penulis: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

Related Posts

1 of 13