Berita UtamaHukumLintas NusaTerbaru

Melindungi Mafia Tambang, Polri Tlah Mewarisi Watak Pemburu Rente

Melindungi Mafia Tambang, Polri Tlah Mewarisi Watak Pemburu Rente
Melindungi mafia tambang, Polri tlah mewarisi watak pemburu rente.

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kasus Besar yang menimpa Institusi Polri telah memantik reaksi publik untuk mendorong terjadinya perubahan mendasar dengan melakukan reformasi total dengan mengembalikannya marwahnya. Namun, Kapolri justru gagap, tak mengerti akar persoalan dan hanya mereduksi harapan publik dengan melakukan reformasi kultural, padahal substansi kerusakan yang terjadi selama ini sudah sistemik dan massal.

Reformasi, selain membebaskan dari bayang-bayang TNI juga telah menjerumuskan Polri pada kerusakan sistem. Reformasi tidak hanya menyeret Polri keranah Politik praktis, melainkan juga masuk ke wilayah sektor bisnis khususnya tambang. Padahal berdasarkan UU No 2 Tahun 2002 dan dipertegas Pasal 5 Peraturan Pemerintahan No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Indonesia, Anggota Polri dilarang berbisnis dan penyalahgunaan wewenang. Tapi dalam prakteknya ada anggota Polri menjalankan bisnis secara terang-terangan dan tak jarang pula dilakukan secara ilegal. Kasus tertangkapnya anggota Polri Labora Sitorus dari Papua, tertangkapnya Briptu Hasbudi dari  Kaltara dan lain2 merupakan serpihan kecil dari praktek kotor dilevel rendahan.

Baca Juga:  Wis Wayahe Jadi Bupati, Relawan Sahabat Alfian Dukung Gus Fawait di Pilkada Jember

Walaupun 4 pelaku dari 10 gembong 303 sudah tertangkap, namun penegakan hukum atas dugaan keterlibatan petinggi Polri dalam Konsorsium 303 seolah ‘’mandeg” tak jelas sampai sekarang. Ditambah lagi dugaan keterlibatan petinggi Polri dalam Konsorsium 303 yang menyasar sektor pertambangan juga belum tersentuh. Kerusakan ini seakan telah menyempurnakan Institusi Polri hanya dipakai kelompok tertentu untuk memburu rente.

Sektor tambang yang identik dengan carut marut perijinan yang berujung pada konflik lahan dan bahkan marak tambang ilegal merupakan salah satu kasus besar yang menjadi atensi pimpinan Polri. Satgasus yg memiliki otoritas besar dan memang dilegitimasi keberadaanya sejak Kapolri Tito menjadi powerfull atasnama penegakan hukum dan bahkan tak jarang bersengkongkol dg corporasi tambang besar melakukan teror, intimidasi, penangkapan hingga berujung pd kriminalisasi terhadap siapapun yang mengganggu tambang.

Tambang ilegal, keberadaan Satgasus bukan melakukan penegakan hukum, tapi justru kerap melegalkan dan melindungi tambang ilegal. Satgasus telah menjadi mesin hukum bagi oligarky tambang untuk memuluskan kepentingan bisnisnya. Bahkan ada dugaan Satgasus ini tidak hanya melindungi mafia tambang ilegal tapi juga secara langsung terlibat dalam bisnis perdagangan hasil tambang secara ilegal.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Buka FGD Penyampaian LKPJ Bupati Tahun Anggaran 2023

Polri sebagai aparat penegak hukum telah terseret dalam arus politik praktis dan bisnis ekonomi. Polri secara aktif tlah menjadi bagian alat kekuasaan dg melibatkan dirinya dlm kontestasi politik nasional dan ataupun Pilkada. Posisi ini jelas sarat konflik kepentingan dan  membahayakan proses penegakan hukum.

Dalam kurun waktu 20 tahun reformasi, Polri telah banyak mewarisi watak pemburu rente dari elit politik dan oligarky tambang sehingga korupsi dan perilaku kriminal terus tumbuh subur tak pernah berakhir. Semua level di Institusi Polri berebut sumber investasi dan proyek demi akumulasi pribadi dan kelompoknya sehingga mereka mirip predator berbaju hukum. (*)

Penulis: Gigih Guntoro, Direktur Eksekutif Indonesian Club.

Related Posts

1 of 30