Ekonomi

2018 Indonesia Krisis Ekonomi? Ini Indikasinya

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Indonesia kembali diprediksi akan diterpa badai krisis ekonomi menyusul sejumlah hal yang mengindikasikannya. Kondisi APBN cekak dan berburu pasar utang adalah dua dari sekian banyak indikator lain yang menunjukkan ekonomi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah berada di ambang jurang.

Pengamat ekonomi AEPI, Salamuddin Daeng mengatakan, sebelum menilai pencapaian pemerintahan Jokowi selama perode tiga tahun anggaran, ada baiknya terlebih dahulu kita memahami kondisi internasional dan arah perekonomian global dewasa ini dan jebakan krisis yang tengah dihadapi dunia. Analisis interasional akan membantu kita dalam memahami apa dan siapa di balik seluruh agenda yang dijalankan oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Pertama, berburu pasar utang. Situasi internasional ditandai dengan peningkatan utang global, baik utang Negara maupun utang perusahaan. Peningkatan terbesar terjadi dalam sektor properti dan infrastruktur sebagai konsekuensi atas krisis over produksi dalam oil, gas, ekstraktif dan industri manufaktur. Pergeseran arah pembangunan global pada infrastruktur dan properti menciptakan gelembung ekonomi yang tidak terkendali.

(Baca: Industri Manufaktur Indonesia Sudah Separuh Nafas)

Utang global yang terbentuk sampai dengan saat ini mencapai 226 triliun dolar, atau mencapai rata rata 324% dari Gross Domestic Produk (GDP) yang saat ini hanya sebesar 60 triliun dolar AS (Institute of International Finance/IIF). Global debt telah meningkat 26 triliun dolar dalam dua tahun. Sebuah peningkatan yang sangat cepat.

China merupakan salah satu negara yang mengakumulasi utang properti yang sangat besar. Secara keseluruhan, utang publik China mencapai 28,2 triliun dolar, menyerap separuh hutang global antara 2008 sampai 2014. Tahun 2016, utang publik China telah meningkat menjadi 31,7 triliun dolar (Mckinsey). Dalam dua setengah tahun terakhir China menyumbang $ 2 triliun kenaikan, dengan hutangnya sekarang sekitar $35 triliun (IIF, 2017). Utang perusahaan di China melonjak $660 miliar di sana tahun lalu – telah jauh lebih cepat dan lebih curam daripada di Amerika Serikat menjelang krisis keuangan 2008 atau di Jepang menjelang krisis perbankan tahun 1991.

Utang perusahaan properti global sendiri saat telah mencapai tingkat ekstrim, jauh melebihi gelembung krisis keuangan pra-Lehman (Institute of International Finance di Washington, 2015). Utang perusahaan properti disebutkan mencapai $25 triliun dolar, separuh dari utang global yang terbentuk.

Di tengah krisis sektor properti ini, muncul agenda baru yakni pembangunan infrastruktur. Alasannya, dunia mengalami kelangkaan infrastruktur yang parah. McKinsey dalam studi di bulan Juni 2016 memperkirakan sekitar 3,3 trilliun dolar AS atau sekitar Rp 44.550 triliun yang diperlukan dalam investasi infrastruktur hingga 2030 untuk mendorong pertumbuhan global. Target tersebut menegaskan bahwa global infrastruktur akan menjadi prioritas ekspansi rezim keuangan global ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Jadi, fakta di atas menegaskan bahwa program Pemerintahan Jokowi yang menjadikan sektor infrastruktur sebagai prioritas pemerintahannya sama sekali bukan ide brilian dari Jokowi dan kabinetnya. Sama sekali bukan, karena pembangunan mega proyek raksasa infrastruktur adalah ide rezim keuangan global dalam rangka menciptakan pasar utang.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Gelar Gebyar Bazar Ramadhan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat

Kebijakan pemerintahan Jokowi yang menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi utang, barang modal, jasa-jasa global dalam berbagai mega proyek infrastruktur yang bernilai ribuan triliun, telah membawa konsekuensi memburuknya situasi ekonomi Indonesia. Keadaan ini diperparah oleh kebijakan fiskal pemerintah dalam APBN selama tiga tahun terakhir yang mengalokasikan APBN untuk mega proyek dengan mengorbankan kesejahteraan publik.

Kedua, ekonomi loyo. Pertumbuhan ekonomi nasional yang rendah dan cenderung stagnan. Sejak pemerintahan Jokowi berkuasa, pertumbuhan ekonomi langsung menurun menjadi 4,9 persen (2015) dari rata-rata di atas 6 persen pada periode sebelumnya. Pertumbuhan eknomi Indonesia terus mengalami stagnasi. Pada tahun 2016 ekonomi hanya tumbuh 5,02 persen dan kwartal ketiga tahun 2017 hanya tumbuh 5,06 persen dibandingkan kwartal yang sama tahun sebelumnya.

Demikian pula dengan ekspor Indonesia semakin menurun secara konsisten dari tahun ke tahun. Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas primer menyebabkan nilai ekspor kian merosot. Pada tahun 2014, nilai ekspor Indonesia sebesar 173,75 miliar dolar, hanya tersisa sebesar 164,89 miliar dolar pada tahun 2017.

Pelemahan ekonomi yang paling mendasar adalah tercermin dari kondisi industri nasional merosot. Salah satu indikatornya adalah impor yang menurun. Nilai impor Indonesia pada tahun 2014 adalah 168,285 miliar dolar, menurun menjadi -128,215 miliar dolar dan diperkirakan hanya akan tersisa -144,683 miliar dolar pada tahun 2017. Sebagian besar impor Indonesia adalah impor bahan baku. Penurunan impor berarti indikasi melemahnya industri dalam negeri.

Sementara, dominasi modal asing dalam ekonomi Indonesia telah mengakibatkan semakin defisit transaksi berjalan yang terus berlanjut. Tahun 2015 defisit transaksi berjalan adalah sebesar 17,518 miliar dolar, menjadi 16,790 miliar dolar pada tahun 2016 dan diperkirakan akan mencapai 15,840 miliar dolar (sumber data neraca bank Indonesia). Jangan terkecoh dengan penurunan defisit dalam yang dalam USD dikarenakan nilai yang harus kita bayarkan dalam rupiah akan semakin besar.

Lebih parah lagi adalah, defisit pendapatan primer yang membengkak. Tahun 2015 defisit pendapatan primer sebesar 28,379 miliar USD, meningkat menjadi 29,655 miliar USD pada tahun 2016 dan diperkirakan pada tahun 2017 akan membengkak menjadi 33,208 miliar USD. Besarnya defisit transaksi berjalan menunjukkan capital outflow yang sangat besar dari Indonesia untuk pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri, dan keuantungan investasi asing yang dibawa ke luar negeri.

Defisit yang berkepanjangan dalam neraca internasional Indonesia mendorong pemerintah untuk terus menumpuk utang baru. Akibatnya, utang luar negeri pemerintah dan swasta terus mengalami peningkatan. Peningkatan yang sangat besar adalah terjadi dalam utang luar negeri pemerintah yang tumbuh antara 9-10 % atau dua sampai tiga kali lipat meningkat lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Baca Juga:  Kondisi Jalan Penghubung Tiga Kecamatan Rusak di Sumenep, Perhatian Pemerintah Diperlukan

Ketiga, APBN cekak. Defisit APBN 2015 membengkak menjadi 2,8% dari yang direncakan sebesar 1,9%. Defisit APBN 2017 meningkat menjadi 2,5 % dari 2,35% dari yang direncanakan. Tahun 217 juga demikian, defisit APBN membengkak menjadi 2,92% dari yang direncakan sebesar 2.41%. Tahun 2017 sesuai angka defisit 2,92% untuk mendapatkan tambahan utang Rp 471 triliun.

Meningkatnya defisit dikarenakan target penerimaan perpajakan tidak tercapai. Realisasi penerimaan perpajakan yang rendah, menunjukkan perencanaan buruk, tidak realistis, sangat ambisius, dan kualitas fiskal yang sangat buruk. Kondisi ini menceminkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang kurang baik dan cenderung korup.

Padahal pemerintah sejak tahun 2015 lalu telah memberlakukan program tax amnesty, namun proyek ini tidak membuahkan hasil apapun. Bahkan kuat indikasi bahwa proyek pemerintah ini dijadikan sebagai ajang korupsi, cuci uang hasil kejahatan ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri.

(Baca: Tax Amnesty Adalah Program Tukang Ngentit Uang Negara)

Sisi lain, Utang pemerintah dalam bentuk SUN semakin meningkat pesat. Utang pemerintah yang bersumber dari surat berharga negara mengalami peningkatan cukup fantastis sejak pemerintahan Jokowi–JK dimulai tahun 2014. Jika utang pemerintah dari luar negeri digabungkan dengan utang pemerintah dari dalam negeri, maka saat ini nilainya mencapai Rp 4.091 triliun lebih. Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK meningkat senilai +/- Rp 1.238 triliun. Penimbunan utang semacam ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Republik Indonesia.

Kondisi ini lebih jauh berimplikasi pada peningkatan beban bunga dan utang jatuh tempo. Setiap tahun, saat ini rata-rata pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp 253.5 triliun, cicilan sebesar Rp 65,5 triliun (diambil dari data cicilan 2017), Utang jatuh tempo sebesar Rp 390 triliun. Jadi, total kewajiban yang harus dibayar pemerintah dapat mencapai Rp 709 triliun setiap tahun. Sebagaimana diketahui bahwa penguasaan asing atas obligasi-obligasi Indonesia naik ke rekor hampir 41 persen bulan September lalu (Bloomberg).

Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim ekonomi global, seperti penurunan ekonomi China, perubahan kebijakan pajak dan suku bunga di Amerika Serikat yang sangat mempengaruhi perubahan nilai tukar rupiah terhadap USD. Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap USD secara terus menerus dapat berimplikasi pemerintah gagal bayar utang.

Keempat, BUMN tersandera debt collector. Kondisi Utang BUMN infrastruktur belakangan ini smeakin memburuk. Hingga Juli 2017, total utang dari empat BUMN infrastruktur meningkat sebesar Rp 42,9 triliun atau meningkat 134% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni meningkat 18,3 triliun. Secara keseluruhan total utang empat BUMN yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, and PT PP (Persero) Tbk, diperkirakan akan meningkat Rp 100.7 triliun pada tahun 2019 dengan melihat tren peningkatan saat ini dan besarnya kebutuhan pendanaan infrastruktur.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

Pada sisi lain, kemapuan keuangan empat perusahaan BUMN tersebut kian sempit. Sumber keuangan yang ada hanya cukup untuk membayar bunga utang. saat ini debt to equity ratio (DER) empat perusahaan tersebut sudah berada pada tingkat yang membahayakan. Nilai DER pada tahun 2015 ketika Jokowi mulai berkuasa telah mencapai 108%. Sekarang ini DER empat BUMN kontraktor pemerintah ini mencapai 134% pada 2015 dan diperkirakan 165% pada tahun 2019 mendatang.

Utang tersebut masih didominasi oleh pinjaman jangka pendek dari perbankan, terhitung sebesar 57 persen saat ini, naik dari 39 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara Asian Development Bank (ADB) malah menyarankan Indonesia perlu mengatasi kekurangan infrastruktur dengan menginvestasikan sebanyak $1,2 triliun pada tahun 2030 sebagai cara untuk dapat mempertahankan pertumbuhan.

BUMN sektor energi menghadapi masalah yang relatif sama. Misalnya, utang Perusahaan Gas Negara (PGN) sudah sangat besar yakni mencapai US$2,852 miliar atau Rp 38,511 triliun. Nilai ini setara dengan debt to equity 0.87% (PGN Equity US$3,279 miliar), dengan bunga utang 4.57 %. (Laporan PGN Maret 2017). Sementara pengusaan swasta atas PGN telah mencapai 43% dari aset perusahaan senilai US$6,986 miliar. Utang pertamina sekarang sangat besar, nilainya mencapai US$8 miliar atau sekitar 104 triliun.

Selanjutnya, utang PLN sekitar 22 miliar US dolar atau sekitar Rp 300 triliun kepada lembaga keuangan global dan lokal, belum termasuk liability lainnya seperti utang energi primer. Ini disampaikan dalam keterangan pers beberapa bulan lalu. Sementara Utang PLN terus mengalami peningkatan sepanjang 2017 sebagai sumber dana untuk mengejar target pemerintah membangun 35 ribu megawatt yang dapat dipastikan akan membebani keuangan PLN dan akhirnya akan membebani rakyat lewat kenaikan tarif.

Kesimpulan

Agenda pembangunan nasional saat ini termasuk di dalamnya rancangan APBN, defisit APBN, rrencana utang pemerintah dan utang BUMN, rencana pembangunan infrstruktur, serta rencana penjualan sebagian atau keseluruhan BUMN, sama sekali bukan merupakan agenda yang lahir dari pemikiran pemerintahan Jokowi dan aparaturnya namun rencana rezim keuangan global dalam rangka menjarah kekayaan ekonomi nasional.

Sementara, oligarki pemerintahan Jokowi memperoleh peluang sangat besar menggunakan kesempatan tersebut dalam rangka memburu sumber keuangan dalam memperkaya pribadi, keluarga dan kelompoknya serta mempersiapkan sumber uang untuk memenangkan Pemilu 2019 mendatang.

Pembangunan mega proyek infrastruktur pasti akan disertai dengan mega korupsi yang besar. Namun, hal ini dapat dipastikan tidak dapat diusut, karena terlindung di balik dinding kuasa kegelapan. Buktinya, sampai saat ini tidak ada sama sekali korupsi dalam mega proyek infrastruktur. (red)

EDITOR: REDAKSI
SUMBER: Salamuddin Daeng

Related Posts

1 of 32