Ekonomi

Penjelasan Lengkap Sri Mulyani Soal Utang yang Sudah Mencapai Angka Fantastis

enteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Dwiandharddi)
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Dwiandharddi)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan sebuah pernyataan menanggapi pemberitaan terkait utang yang kini menjadi diskusi publik. Ia menilai, perhatian politisi dan ekonom mengenai kondisi utang dalam beberapa bulan terakhir terjebak pada isu yang dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang yang kemudian mempengaruhi masyarakat.

Seperti diketahui, polemik soal utang ini muncul lantaran mengacu pada angkanya yang disebut-sebut sudah mencapai Rp 4.034.8 triliun.

“Namun, kita perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif. Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik serta untuk kepentingan politik tertentu,” kata Menkeu.

Baca juga: Utang Indonesia, Aman atau Rawan?

Menkeu menuding, upaya seperti itu sebagai sebuah tindakan politik destruktif. “Upaya destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun,” imbuhnya.

Demikian pernyataan Menkeu di awal pembukaan siaran persnya menjelaskan tentang kondisi utang Indonesia yang sesungguhnya.

Menkeu mengajak kita mendudukkan masalah utang dalam konteks keseluruhan kebijakan ekonomi dan keuangan negara. “Karena utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian,” katanya.

“Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian,” kata Sri Mulyani memulai penjelasannya.

Baca juga: Utang Pemerintah Gagal Dongkrak Produktifitas Ekonomi Dalam Negeri

Kemudian, kata dia, dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. “Dengan demikian kita melihat masalah dengan lengkap dan proporsional. Misalnya sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja pemerintah pada masa-masa sebelumnya,” katanya.

Dikatakan nilai aset tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp 5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum masuk nilai hasil evaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp 781 triliun menjadi Rp 2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp 1.867 triliun, klaim Menkeu.

“Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017. Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang,” katanya.

Baca juga: Jangan Bandingkan Utang Indonesia dengan Jepang

Menkeu menuding elit politik, ekonom dan masyarakat yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur, kurang memahami persoalan.

Pertama, kata dia, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat. “Namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah,” cetusnya. Dana transfer ke daerah yang menigkat sangat besar, dari Rp 573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp 766,2 triliun pada 2018. “Sebagian yaitu sebesar 25 persen yang diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya,” kata dia.

Kedua, kata Menkeu, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang.

“Oleh karena itu, pernyataan bahwa tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya adalah kesimpulan yang salah. Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien dan besih adalah jenis soft infrastructure yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita,” ungkapnya.

Baca juga: Peran Sri Mulyani Dinilai Hanya untuk Memastikan Indonesia Bisa Bayar Utang ke Bank Dunia

Sri Mulyani melanjutkan penjelasannya. Kata dia, selain melihat neraca, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap PDB, defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan di bawah ketentuan UU Keuangan Negara.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

UU Keuangan Negara pasal 12 ayat (3) menyebutkan, dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam UU tentang APBN. Pengertian defisit anggaran di sini sebagaimana dijelaskan adalah defisit anggaran dibatasai maksimal 3% dari PDB. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari PDB.

Menkeu melanjutkan, defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp 167 triliun. “Langkah tersebut telah menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Baca juga: Daya Beli Masyarakat Menurun, Tersandera Pembangunan Infrastruktur

Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. “Tahun 2018 ini target defisit pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB,” katanya.

Penjelasan Menkeu selanjutnya soal kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer. “Pemerintah dalam berbagai penjelasan telah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable,” tegasnya.

Buktinya, kata dia, pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit RP 142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp 125,6 triliun, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp 121,5 triliun. “Untuk tahun 2018, pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp 87,3 triliun. Tahun 2019 dan ke depan kita akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus,” papar Menkeu.

Berikutnya, Menkeu mengatakan kebijakan utang dalam APBN juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. “Jadi, utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja pemerintah,” kata dia. Namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia, tambahnya.

Baca juga:
Toko Ritel Banyak Ditutup, Runtuhnya Industri Mall dan Departement Store
Gerai Sepatu Clarks Gulung Tikar, Manajemen: Kenyataannya Daya Beli Memang Melemah

“Kita melihat jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel tahun 2016 yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam meneri dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. “Secara jumlah total pada 2018, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713. Bahkan investor individual ini ada yang berusia di bawah 25 tahun (sekitar 3%), hingga di atas 55 tahun,” katanya.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Akan Perjuangkan 334 Pokir Dalam SIPD 2025

Dikatakan, ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13-16 persen. “Kita masih perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi,” katanya.

“Pasar keuangan yang dalam dan tebal akan menjadi salah satu pilar menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ini juga untuk menjawab mereka yang merasa khawatir dengan proporsi asing dalam pembelian obligasi (SBN) kita. Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan diversifikasi instrumen utang agar partisipasi masyarakat luas dapat terus ditingkatkan,” jelasnya.

Baca juga: Transparansi Fiskal Dalam KTT Anti Korupsi Sedunia

Lebih jauh, Menkeu juga bicara soal disiplin fisikal pemerintah Indonesia. “Yang ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB,” katanya.

“Displin fiskal tidak berarti kita ketakutan dan panik bahkan menjadi terhadap instrumen utang. Kita harus tetap menjaga instrumen tersebut sebagai salah satu pilihan kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan,” kata Menkeu lagi.

“Utang bukan satu-satunya instrumen kebijakan,” tegasnya.

Terakhir, Menkeu mengatakan, hanya menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintah jelas memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan. “Lebih buruk, kita dapat mengerdilkan pemikiran dan menakut-nakuti masyarakat untuk tujuan negatif bagi bangsa kita sendiri. Itu bukan niat terpuji tentunya. Sebagai Menteri keuangan, saya berterima kasih atas berbagai analisis, masukan dan bahkan kritikan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan keuangan negara dan memperbaiki kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita. Mari kita bersaama-sama menjaga keuangan negara secara konstruktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkadilan. APBN uang kita semua,” tuntasnya. (red)

Baca juga:
Paradoks Utang Indonesia
Tiga Sukses Semu Ekonomi Jokowi

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 27