NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA tampaknya tengah menunjukkan keberpihakan politiknya menjelang dihelatnya Pilpres 2019. Kubu Prabowo Subianto sejak awal konsisten menyoroti kondisi ekonomi nasional, bahkan dengan kritikan-kritikan tajam segera dibantah LSI melalui hasil survei terbarunya yang dirilis pada Selasa (27/11).
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 10-19 November 2018, Lembaga survei yang dipimpin Denny Januar Ali menyebut persepsi positif publik terhadap kondisi ekonomi Indonesia berada di atas 70%. “Di atas 70% publik menilai kondisi ekonomi Indonesia sedang dan baik,” kata LSI seperti dikutip dari hasil surveinya bertajuk Kondisi Ekonomi Tentukan Pemenang Pilpres, Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Baca juga: Jokowi tak Menyangkal Harga Sawit dan Karet Merosot
Baca juga: Praktik Culas Terjang Industri Baja Nasional
“Mereka yang menilai kondisi ekonomi baik, mayoritas mendukung kembali Jokowi sebagai presiden. Sementara mereka yang menilai ekonomi Indonesia buruk (24.7%) mayoritas memilih Prabowo-Sandi sebagai capresnya,” kata LSI lagi.
Responden survei LSI sebanyak 1.200 orang. Menggunakan metode multistage random sampling, dengan margin of error sekitar 2.9%. “Jauh lebih banyak pemilih yang menyatakan kondisi ekonomi nasional dalam keadaan sedang dan baik dibandingkan pemilih yang menyatakan kondisi ekonomi nasional dalam keadaan buruk,” katanya. Persentasenya mencapai 70%.
Baca juga: Hipmi: Relaksasi DNI dalam Paket Kebijakan Jilid 16 Ciptakan Kegaduhan Ekonomi
Aneh tapi nyata, survei LSI menyebut hanya 37.8% persen responden yang optimis ke depan ekonomi nasional akan lebih baik. Sebanyak 31.3% menyebut tidak ada perubahan, 18.5% percaya akan lebih buruk dan 12.4% responden tidak menjawab.
Hal lain, hanya 56.8% persen responden LSI mengaku puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi di bidang ekonomi. Sebanyak 35.6% tidak puas dan 7.6% persen tidak menjawab.
Dengan kata lain, survei ini jomplang karena tingkat kepuasan dan optimisme responden terhadap ekonomi nasional di bawah pimpinan Jokowi justru berada di angka lebih rendah dari persepsi publik yang diklaim sebesar 70%.
Diketahui, Prabowo dan Gerindra boleh dibilang paling vokal dalam menyoroti kondisi perekonomian nasional. Khususnya di era kepemimpinan Jokowi.
Baca juga: Sapa Masyarakat Ponorogo, Prabowo: Rakyat Pilih Keadaan Sekarang atau Ada Perbaikan?
Baca juga: Gerindra: Banyak Presiden Turun di Tengah Jalan Karena Masalah Ekonomi
Dalam sebuah kesempatan kunjungannya ke Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur awal November 2018 lalu, Prabowo mengatakan kondisi ekonomi harus ada perbaikan.
“Di mana rakyat Indonesia dihadapkan dalam dua pilihan yaitu keadaan seperti sekarang ini atau ada perbaikan, bapak Prabowo lahir di Jakarta 67 tahun yang lalu, dan pada umur 18 tahun masuk tentara untuk menjaga Republik Indonesia ini, berkali-kali mempertaruhkan jiwa raga untuk rakyat namun di ujung pensiun melihat negara seperti saat ini, kekayaan dikuasai bangsa asing dan ini bukan Republik Indonesia seperti yang dirancang oleh pendiri bangsa,” katanya.
Pada kesempatan lain, politisi Partai Gerindra, Supriyanto mengingatkan bahwa keberhasilan seorang presiden dinilai dari faktor fundamental ekonomi. “Di beberapa negara, banyak presiden turun di tengah jalan karena masalah ekonomi,” katanya September lalu.
Baca juga: Dolar Tembus Rp 15.000 di Masa Jokowi, Janji Kampanye yang Tak Terpenuhi
Dan baru-baru ini, tepatnya pada Minggu (25/11), Jokowi mengakui harga sawit dan karet tengah anjlok yang sejak beberapa waktu belakangan memukul kondisi perekonomian para petani kedua komoditas tersebut.
“Kebijakan pro petani karet ini lebih penting dari Paket Ekonomi Jilid 16 yang cacat konsep (flawed concept) yang merugikan UKM dan menghilangkan potensi nilai tambah business internet dan online untuk rakyat Indonesia di kemudian hari,” ujar ekonom, Rizal Ramli, Rabu (28/11).
Baca juga: Sebuah Ironi di Hari Tani
Baca juga: Mendag Akui Daya Beli Masyarakat Memang Turun
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 16. Sayangnya, kebijakan ini menuai beragam kritik dari berbagai pelaku ekonomi nasional. Salah satunya Rizal Ramli. Kemudian, kritikan juga dating dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Mereka menyebut,
Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 16 justru meciptakan kegaduhan ekonomi di kalangan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tanah air. Terutama poin yang menyangkut relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI). Pasalnya, relaksasi DNI dinilai tidak relevan untuk mendatangkan investasi ke Indonesia.
Baca juga: Pengamat: Melihat Pertumbuhan Pasar Tradisional, Daya Beli Masyarakat Memang Menurun
Baca juga: HMI: Nilai Tukar Rupiah Merosot, Daya Beli Masyarakat Jatuh
Menuai banyak kritikan, Jokowi lalu mencoret kebijakan relaksasi DNI tersebut dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid 16.
Belum lagi masalah masalah praktik curang dalam industri baja nasional yang belakangan ini terungkap. Eskportir baja luar negeri diduga melakukan praktik curang dalam memasukan baja ke Indonesia. Praktik curang dimaksud ialah mengganti nomor harmonized system dari baja jenis carbon steel (baja karbon) menjadi jenis alloy steel (baja paduan).
Baca juga: 5 Biang Kerok Daya Beli Masyarakat Terus Menurun
Penggantian harmonized system itu dilakukan dengan cara mencampur baja karbon dengan unsur kimia boro kurang dari 1 persen. Aksi curang impor baja karbon diduga memanfaatkan celah dari aturan Permendag Nomor 22 tahun 2018. Akibatnya, negara dirugikan sebesar US$ 1,5 miliar atau Rp 22,5 triliun (kurs Rp 15.000).
(gdn/wbn)
Editor: Gendon Wibisono