NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis senior Sri Bintang Pamungkas mengaku heran Anies Baswedan membuat keputusan yang dinilainya berpihak kepada para taipan dan mengorbankan masyarakat Jakarta Utara.
Menurutnya, sudah sejak setahun lalu masyarakat akademik menyeru untuk menolak Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Kritikan ini datang setelah Anies meneken Pergub Nomor 120 Tahun 2018 tentang Penugasan kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro) terkait pengelolaan reklamasi pantai Utara.
Penunjukan PT Jakpro dalam mengelola pulau reklamasi ini dinilai Sri Bintang keputusan yang berpihak kepada para taipan.
“Tidak habis pikir saya, seorang Anies Baswedan, doktor dalam kebijakan masyarakat jebolan Amerika Serikat, dan dengan latar belakang sarjana ekomomi UGM, dan sekarang Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta bisa membuat keputusan yang berpihak kepada para taipan dan mengorbankan masyarakat Jakarta Utara khususnya dan Indonesia umumnya,” kata Sri Bintang seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jakarta, Jumat (30/11/2018).
Baca juga: KAHMI JAYA: Pulau Buatan Reklamasi Teluk Jakarta Tabrak Kedaulatan
Baca juga: Reklamasi Teluk Jakarta Dinilai Kangkangi Kedaulatan Negara
Baca juga: Habil Marati: Bukan Reklamasi tapi Pencaplokan Kedaulatan Wilayah Laut NKRI
Baca juga: Reklamasi di LCS Memicu Perlombaan Persenjataan di Asia
Sri Bintang menuturkan, sejak tahun lalu masyarakat akademik hampir di seluruh Indonesia semua menyeru untuk menolak Proyek Reklamasi Teluk Jakarta. Dia menyebut di antaranya alumni Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Andalas, Universitas Hasanuddin, Universitas Udayana dan lain-lain.
“Dan jauh hari sebelumnya, masyarakat Pantai Utara Jakarta pun sudah menuntut dibatalkannya proyek reklamasi oleh para konglomerat hitam tersebut lewat berbagai forum, termasuk PTUN,” terang Sri Bintang.
Baca juga: Ada Kepentingan Pilpres 2019 di Balik Proyek Reklamasi Teluk Jakarta
Baca juga: Amien Rais: Reklamasi Harus Segera Dihentikan
Baca juga: Penyegelan Pulau Rekalamsi Dinilai Membuka Borok Jokowi dan Ahok
Proyek gila-gilaan yang membangun pulau buatan di depan Pantai Utara Teluk Jakarta tersebut, kata dia, diprakarsai para taipan pada masa Gubernur Foke.
Lalu menjadi lebih nyata dalam bentuk 17 pulau yang meliputi luas lebih dari 5,000 hektar pada masa pasangan Gubernur Jokowi dan Ahok.
“Pada waktu itu pun sudah disinyalir, bahwa proyek itu bukan Proyek Reklamasi yang dimaksud pada awalnya di era Soeharto. Proyek itu sangat dicurigai sebagai upaya pendaratan atau entry point untuk masuk Kota Jakarta bagi orang-orang Cina asing dalam rangka invasi RRC ke Indonesia, tentu saja dengan tentara merahnya,” sebutnya.
“Sekarang setelah empat tahun Jokowi menjabat presiden, keyakinan tentang invasi Cina ke Indonesia ini menjadi semakin besar,” sambung dia.
Baca juga: Hati-hati, Korporasi Hitam di Balik Proyek Reklamasi Teluk Jakarta
Baca juga: Reklamasi Teluk Jakarta: Pilih Kedaulatan Negara atau Kedaulatan Kaum Pemodal?
Baca juga: Tiga Langkah Alternatif Hentikan Proyek Rekalamsi Teluk Jakarta
Padahal, dia melanjutkan, maksud direncanakannya Proyek Reklamasi di Pantai Utara Teluk Jakarta adalah sebagai sebuah Multi-Purpose Project. Di satu sisi adalah untuk memperbaiki lingkungan hidup masyarakat nelayan pantai. Di lain sisi adalah untuk mencegah banjir yang sering terjadi akibat bermuaranya banyak aliran sungai. Juga, untuk mencegah masuknya air laut ke daratan Jakarta sebagai akibat menurunnya permukaan tanah dan hilangnya sumberdaya air tanah di wilayah Jakarta, serta mencegah erosi ombak laut yang terus-menerus mengikis Pantai Utara Jakarta.
“Tiba-tiba saja para taipan konglomerat pengembang dan lain-lain ini muncul dengan konsep pembangunan 17 pulau yang langsung mendapat persetujuan dari pasangan Jokowi-Ahok. Dan entah bagaimana kasak-kusuk di antata mereka itu, termasuk rencana menjadikan Jokowi Presiden RI dan Ahok sebagai Gubernur DKI, rencana mana dalam kenyataannya berhasil, mulailah dilaksanakan proyek itu yang pada awalnya mereka sebut the Giant Sea Wall,” terangnya.
Baca juga: Kivlan Zein: China Miliki Agenda Kuasai Ibukota
Baca juga: Living Space Jadi Motif RRC Ekspansi Laut Cina Selatan
Baca juga: One Belt One Road, Strategi Cina Caplok Kedaulatan NKRI
Baca juga: Cina Tuntut Indonesia Hapus Nama Laut Natuna Utara
Baca juga: Polemik Reklamasi: Negara Tak Boleh Melacurkan Diri
“Jadilah pulau-pulau itu,” lanjut Sri Bintang. Beberapa pulau lebih dulu jadi dibanding yang lain. “Sebutlah 4 Pulau C, D, G dan N,” tambahnya.
Bahkan, kata dia, sudah ada bangunan-bangunan di atasnya berupa apartemen dan hotel berlantai banyak dan tinggi. Juga ada bangunan-bangunan untuk perkantoran, pertokoan dan hunian.
Menurutnya, sekalipun belum selesai, bangunan-bangunan di atas pulau-pulau itu mirip dengan sebuah kota. Tetapi kesemuanya tanpa ijin mendirikan bangunan.
“Para taipan itu yakin, bahwa mereka akan berhasil. Tentu dengan permainan uang dan suap, seperti yang terjadi dengan Meikarta,” pungkasnya.
Baca juga: Aspirasi Warga: Stop Reklamasi, Bangun Pangkalan Pertahanan
Baca juga: Lingkaran Setan Proyek Reklamasi Diminta Untuk Segera Dihentikan
(nvh/anm/eda)
Editor: Banyu Asqalani