PolitikTerbaru

Ada Kepentingan Pilpres 2019 di Balik Proyek Reklamasi Teluk Jakarta

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menyatakan penolakannya terhadap pembangunan mega proyek reklamasi teluk Jakarta. IMM menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo yang baru angkat bicara terkait polemik reklamasi tersebut.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan tidak pernah mengeluarkan izin untuk reklamasi baik saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta maupun kewenangannya saat menjabat sebagai Presiden.

“Jika Presiden Jokowi tidak pernah memberikan ijin reklamasi, lantas siapa yang memberikan ijin, apa ada mahluk ghaib yang memberikan ijin? Menanggapi hal itu, DPP IMM (bidang Lingkungan Hidup) menantang bapak Presiden Joko Widodo untuk mencopot menteri yang tidak taat perintah presiden, terkecuali Presidennya memang tidak punya nyali,” ujar Sekretaris IMM, Aris Munandar dalam keterangannya, Jakarta, Jumat (3/11/2017).

Mekanisme pencabutan moratorium itu dikeluarkan melalui Surat Menko Maritim Nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 pada 5 Oktober 2017 tentang pencabutan penghentian sementara (moratorium) pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

“Kami menduga bahwa mega proyek reklamasi itu digunakan untuk kepentingan Pilpres 2019. Soalnya proyek reklamasi itu terkesan terburu-buru seolah mengejar target, karena belum tuntas mengurus ijin maupun memenuhi studi kelayakan dan kepatutan Amdal, tapi pembangunannya jalan terus. Ini kan aneh, seolah negara tidak punya marwah dan tunduk terhadap pengembang,” katanya.

Baca Juga:  Inggris Memasuki Perekonomian 'Mode Perang'

Aris menuturkan, jika Jokowi ingin menjaga marwahnya, maka Presiden harus menegaskan penolakan mega proyek reklamasi melalui pencabutan Kepres Nomor 52 tahun 1995 kemudian menggantinya dengan Kepres yang baru.

“IMM akan tetap menolak proyek reklamasi, karena selain belum memenuhi Amdal, ada banyak aspek yang dilanggar oleh Mega proyek reklamasi. Di antaranya, melanggar hukum (Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan juga mengabaikan aspek kemanusiaan (melanggar hak pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan melanggar jaminan bertempat tinggal dan lingkungan yang sehat yang di jamin konstitusi),” paparnya. (ed)

Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews

Related Posts

1 of 58