OpiniTerbaru

Hati-hati, Korporasi Hitam di Balik Proyek Reklamasi Teluk Jakarta

“Kejahatan sebenarnya dan paling berbahaya adalah
ketika korporasi mampu menyetir penguasa pembuat kebijakan di suatu Negara”

Polemik reklamasi teluk Jakarta masuk episode baru setelah moratorium dicabut oleh Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Akibat kebijakan Luhut BP, kegaduhan masyarakat Jakarta kembali terulang. Polemik kembali terjadi, masyarakat jugra ramai memperbincangkanngya. Publik heboh, media sosial mulai memanas. Politisi, praktisi hukum, pemerintah dan kalangan lain ramai-ramai bersuara dan head to head mempertahankan argumentasinya. Apalagi, pencabutan moratorium reklamasi tersebut terjadi saat detik-detik pelantikan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai Gubernur baru DKI Jakarta.

Seperti diketahui, proyek reklamasi tersebut menjadi isu dan janji strategis Anies-Sandi dalam memenangkan kursi Gubernur DKI Jakarta. Janji tersebut wajib dilaksanakan gubernur terpilih. Sebab, pada saat proyek reklamasi ramai dibicangkan publik di periode gubernur sebelumnya, hanya Anis-Sandi yang nekat dan keras menolak reklamasi teluk Jakarta dengan janjinya apabila terpilih menajdi gubernur maka mega proyek akan dibatalkan. Tidak perduli siapapun yang berkepentingan di baliknya.

Baca Juga:  Menangkan Golkar dan Prabowo-Gibran di Jawa Timur, Sarmuji Layak Jadi Menteri

Siapa yang berkepentingan di balik proyek reklamsi tersebut? Menurut beberapa litaratur tentang mafia ekonomi, banyak yang berpandangan bahwa kejahatan ekonomi pelakunya selalu berada di korporasi besar karena doktrinnya adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan perencanaan yang rapi, sistematis dan bekerjasama dengan penguasa di suatu negara. Di dunia, aksi dan kejahatan korporasi seperti ini sudah menjadi perhatian khusus untuk kemudian diberantas karena akibatnya dapat merusak sistem perekonomian suatu negara yang selanjutnya mengarah pada krisis ekonomi dan berdampak pada kesenjangan kesejahteraan rakyat. Motif aksi kejahatan korporasi hitam ini biasanya melalui Board of Director (BOD), berkonspirasi melakukan kerjasama dalam bentuk suap dengan penguasa dan penegak hukum (judicial corruption), untuk memuluskan aksi kejahatannya melalui perizinan, viskal, dengan sistem komisi dan cara-cara ilegal lainnya. Hukum Indonesia baru bisa memberantas dari sisi korupsi dengan target pelaku individu, bukan pada korporasinya, atau board room rime. Padahal, di negara-negara maju, model pemberantarasan korupsi dari sisi korporasi sudah berlangsung.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Proyek reklamasai teluk Jakarta diduga memainkan model korupsi korporasi. Setelah moratorium dicabut, pemerintah pusat lalu melanjutkan proyek tersebut. Sudah bukan rahasia lagi, saat ini banyak para ahli hukum dan pengamat melihat ada ketidakberesan dalam mega proyek reklamasi teluk Jakarta. Ambil contoh misalnya, izin reklamasi teluk Jakarta dikeluarkan Ahok jauh sebelum izin teknis (prinsip) diterbitkan yang meliputi izin penggunaan atas tanah dan tata ruang, izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), Perda Zonasi dan rekomendasi dari Kementerian terkait.

Semua izin dan rekomendasi tersebut adalah kewajiban korporasi sebagai pelaksana proyek reklamasi. Selain izin prinsip tersebut, korporasi juga berkewajiban memenuhi kenyamanan dan kesejahteraan nelayan daerah teluk Jakarta yang akan direklamasi sebagaimana prinsip-prinsip Coporate Social Responsibility (CSR) yang telah menjadi kesepakatan antara pemerintah, masyarakat dan korporasi yang diatur dalam UU Perseroan.

Dari ilustrasi sederhana di atas, jelas siapa yang bermain, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan dalam proyek reklamsi teluk Jakarta. Jika pemerintah pusat dan Gubernur DKI Jakarta baru Anies –Sandi tidak segera melakukan upaya preventif dan pembatalan seegera, maka kemungkinan besar akan terjadi social chaos yang dapat mengancam sistem perekonomian, hukum, politik dan hankam di negeri ini.

Baca Juga:  Ramadhan Berbagi, Pemdes Rombasan Santuni Anak Yatim dalam Peringatan Nuzulul Qur'an

Penulis: Muhammad Anwar, Praktisi Korporasi
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews

Related Posts

1 of 14