NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Saracen memiliki sejarah panjang dan sempat mengisi babakan peristiwa perang salib misalnya. Saracen kemudian pecah telur namanya, setelah pendiri sekaligus ketua kelompok itu ditangkap pada 7 Agustus lalu. Jasriadi namanya. Ia ditangkap polisi bersama dua pelaku lainnya yaitu Faizal Muhammad Tonong (ketua bidang media informasi), dan Sri Rahayu Ningsih (koordinator grup Saracen di wilayah).
Siapapun Jasriadi, tindakannya telah membuat namanya muncul di berbagai pemberitaan. Dan ia akan menjadi salah tokoh antagonis dalam perjalanan sejarah Indonesia tahun 2017 ini. Paling penting, Jasriadi dan Saracen tidak boleh tidak mesti masuk ke dalam kancah politik, ekonomi, sekaligus ekonomi. Dan patut dikahawatirkan apabila, hal-hal semacam ini menyisakan kebiasaan dalam laku anak-anak muda Indonesia. Semoga!
Baca juga:
- Saracen, Kelompok Penebar Kejahatan dalam Sejarah
- Saracen, PKB: Kalau Preman Lebih Canggih, Bahaya Negara Kita
- Saracen dan Fakta Sejarah Perang Salib
Sembari, kita maswas diri dan hati-hati dalam menerima, meresapi dan membagikan sebuah kabar atau informasi, penting barangkali untuk menelaah bagaimana Saracen menjadi salah satu komuditas di dalam pasar malam (gelap) perpolitikan Indonesia. Bukankan, ini sudah menjelang Pilkada Serentak 2018 kemudian juga menuju Pilpres 2019? Jika menoleh ke belakang sedikit saja, ingatan pasti langsung tertuju kepada sekian peristiwa politik di Pilgub DKI.
Perihal kaitan Saracen dengan pasar gelap politik Indonesia, Peneliti sekaligus pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dennya JA, menyebut bahwa, pertarungan politik pada tingkat tinggi acapkali terjadi dalam “pasar gelap.” Segala permainan bisa terjadi dalam pasar gelap itu, sampai waktu membukanya ke publik.
Dalam pasar gelap, kata Denny mencontohkan, bisa saja A menggunakan jasa B untuk menyerang C. Tapi hal yang biasa pula jika C menggunakan jasa B untuk menyerang dirinya sendiri (C) dalam rangka simpati publik. Itu namanya Victim Playing.
Dalam pasar gelap, lanjutnya, bisa saja A mendirikan B untuk menyerang C. Perkembangan kemudian B tumbuh dan berbalik menyerang A. Publik menduga B adalah musuh A sejak awal pendiriannya. Padahal B itu ikut dibesarkan oleh A.
Simak pula:
- Polisi: Saracen Tidak Hanya Bermotif Ekonomi, Tapi Juga Politik
- Saracen Dinilai Bisa Picu Blunder Polisi
- Gawat Saracen, Geprindo: Terlalu Didramatisir, Jokowi Fokus Awasi Hutang Saja
“Sebelum segala hal terang benderang, Kasus Saracen yang mengkomersialkan isu SARA, masih berada dalam wilayah pasar gelap. Polisi perlu dipuji karena mengangkat daj menemukan kasus penting itu. Namun polisi harus tuntas hingga menemukan siapa pemakai jasa Saracen agar jelas duduk perkara,” kata Denny dalam tulisannya berjudul “Saracen dan Pasar Gelap Politik”.
Jika tidak, kata dia, kasus Saracen menjadi bensin baru yang bisa membakar kembali luka baik dalam pilkada DKI 2017 ataupun Pilpres 2014.
Cukup ketik di google search, ungkapnya, sudah muncul pernyataan yang bertentangan. Satu pihak menyatakan Saracen digunakan oleh pihak yang menang pilkada DKI 2017. Muncul pula kesaksian, Saracen digunakan pihak yang kalah dalam pilkada DKI 2017 untuk membangkitkan simpati. “Mana yang benar? Itu investigasi polisi yang harus mengusutnya,” cetusnya.
“Saya selaku doktor ilmu politik, sedikit memberi contoh apa yang terjadi dengan pasar gelap politik untuk kasus besar lain di dunia sana, yang kini sudah dibuka oleh pemainnya sendiri,” kata Denny.
Telaah lagi:
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman