Berita UtamaFeaturedPolitik

Saracen dan Wajah Rezim Virtual

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Diskursus Saracen, tengah menjadi berdebatan hangat. Menyusul isu mengenai Saracen saat ini oleh sebagian orang dianggap sengaja untuk menyudutkan kelompok-kelompok yang dinilai kritis terhadap pemerintah.

Munculnya beberapa nama termasuk pengacara senior Egi Sudjana memicu dugaan bahwa Saracen diklaim sebagai bentuk modus baru rezim virtual. Sebagaimana diketahui Egi Sudjana adalah satu diantara orang yang cukup lantang mengkritisi pemerintahan hari ini.

Menyikapi tuduhan yang dialamatkan polisi kepadanya, Egi Sudjana (26/8) mengaku tidak tahu menahu soal sindikat Saracen. Karenya ia merasa situasi yang dibangum layaknya skema pecah belah terhadap umat Islam.

“Ini motif politik, ada motif pecah belah. Ini motif memecah belah umat Islam,” ungkapnya. Bahkan, menurut penilaiannya, langkah-langkah yang dibangun nampak ada upaya kriminalisasi yang sudah menyerang aktivis-aktivis Islam.

“Persatuan Indonesia ini bisa terkoyak-koyak dengan situasi ini. Karena ekstrimnya sudah menyerang kita sebagai aktivis Islam,” sambungnya. “Kalau saya dipriksa dan saya tidak terlibat nah di situ saya menjadi target. Saya dikriminalisasi. Saya jadi target. Ini anti Islam,” tegasnya.

Baca Juga:  Bupati Nunukan dan OPD Berburu Takjil di Bazar Ramadhan

Ramainya isu-isu tentang pemberitaan terkait terbongkarnya kelompok penjaja akun-akun palsu yang disebut sebagai sindikat Saracen menjadi buah bibir di masyarakat. Mereka divonis sebagai kelompok penyebar ujaran kebencian dan berita hoax. Sebenarnya, Saracen atau yang istilah populernya dikenal buzzer bukanlah hal baru di negeri ini.

Pada mulanya, buzzer populer digunakan dalam dunia ekonomi, khususnya dunia marketing guna mempengaruhi konsumen. Dalam ranah bisnis usaha, keberadaan buzzer akun-akun palsu ini memiliki peran vital dalam mendongkrak penjualan. Ia bertugas endors atau melakukan simulasi yang seolah-olah si akun yang berbicara di kanal media sosial ini adalah orang sungguhan.

Hal-hal yang ditonjolkan biasanya seputar keunggulan dan keistimewaan produk yang dipromosikan. Buzzer menempatkan dirinya sebagai orang di luar produk tersebut. Tujuannya supaya calon pembeli merasa yakin dan tertarik untuk membeli barang dagangannya.

Buzzer Politik

Namun dalam perkembangannya, metode buzzer ini kemudian diadopsi ke dalam ranah politik. Tak jauh berbeda dalam dunia marketing, buzzer dalam politik juga difungsikan untuk mempengaruhi publik. Fenomena ini lazim terjadi di negara-negara dunia.

Baca Juga:  HPN 2024, PIJP Salurkan Bansos untuk Anak Yatim dan Kaum Dhuafa

Dalam kampanye partai politik misalnya, buzzer-buzzer yang hanya dioperasikan oleh 4 sampai 5 orang ini digunakan untuk mendukung kelompoknya melalui media sosial. Di Indonesia, sejak Pilpres 2014 lalu, penggunaan akun abal-abal (buzzer) dengan mengatasnamakan warganet (real) sudah digunakan sebagai strategi dalam menggiring opini publik. Dan terbukti ampuh.

Bahkan setelah hajatan selesai, akun-akun buzzer (akun bodong) ini masih digunakan oleh pihak yang pro pemerintah maupun yang beropisisi. Pihak yang pro pemerintah memanfaatkan akun-akun buzzer ini untuk memframing keberhasilan yang dicapai pemerintah. Tujuannya sama agar netizen (warganet) menjadi percaya. Pun sebaliknya.

Itu artinya, Saracen (penjaja akun bodong) tidak melulu menyangkut ujaran kebencian, melainkan juga sebagai media bully (menghina) atau menyudutkan rival-rival politik. Citra seorang pemimpin juga bisa dibangun oleh kelompok-kolompok ini. Baik yang pro maupun yang kontra. Keduanya bisa saja saling serang dan saling cerca.

Jadi salah besar, jika Saracen ini kemudian hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang bersuara lantang mengkritisi pemerintah. Sementara pemerintah sendiri dengan sengaja membiarkan ‘Saracen-Saracen’ miliknya terus menyudutkan kelompok oposisi. Lagi-lagi inilah wajah baru rezim di dunia virtual.

Baca Juga:  Rumah Mbah Tukiyem Sudah Tidak Bocor Lagi

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 4