EkonomiHankamPolitik

Situasi Indonesia Kini Hampir Mirip Zaman Penjajahan Belanda

Situasi Indonesia Kini Mirip Zaman Penjajahan Belanda
Seminar Pra Kongres Boemipoetra di Hotel Santika, Yogyakarta, Senin (23/4). (Foto: Achmad S/NusantaraNews)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) M Dahrin La Ode mengatakan Indonesia saat ini dalam posisi sulit untuk menjadi sebuah negara yang tangguh, khususnya di panggung Asia Pasifik. Faktor penyebabnya ialah akibat perekonomiannya dikuasai bangsa lain, yakni etnis Cina Indonesia dan Cina Komunis.

“Ekonominya dikuasai bangsa lain, yaitu etnis Cina Indonesia dan Cina Komunis,” kata Dahrin saat menjadi pembicara dalam seminar Pra Kongres Boemipoetra di Hotel Santika, Yogyakarta, Senin (23/4).

Dahrin La Ode membeberkan bahwa hampir semua sektor kekuatan Indonesia hampir sepenuhnya dikuasi asing. Sehingga, jika terjadi konflik antara negara, maka penghancuran Indonesia dari dalam sudah pasti dilakukan.

“Kekuatan ekonomi 75-80 persen dikuasai etnis Cina, kalau ia keluar negeri, saat terjadi konflik, kekuatan ekonomi langsung anjlok,” terangnya.

Baca juga:
Wawasan Kebangsaan dalam Perspektif Politik Etnisitas
Panglima Etnis Dayak Sebagai Kader Pembina Bela Negara
Menangkal Eskalasi Ancaman Ideologi Dengan Kekuatan Budaya Etnis Dayak

Baca Juga:  Wis Wayahe Jadi Bupati, Relawan Sahabat Alfian Dukung Gus Fawait di Pilkada Jember

Oleh karena itulah, kata dia, penghuni asli Indonesia harus menjadi penguasa terhadap tumpah darahnya sendiri. Dan jika hal tersebut berhasil, niscaya Indonesia akan mampu menjadi negara tangguh di Asia Pasifik.

Pribumi mengambil alih hak-hak sipilnya yaitu sebagai penguasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia,” tuturnya.

Sementara itu Guru Besar Ilmu Politik UI Maswadi Rauf mengatakan seiring berkembangnya demokrasi dan menguatnya hak-hak asasi manusia, etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Kedudukan etnis Tionghoa sudah semakin membaik, terakhir dengan keluarnya Keppres Nomor 12/2014 yang mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa.

Kesempatan sebagai warga negara juga terbuka lebar bagi etnis Tionghoa sehingga semakin banyak etnis ini yang menjadi pejabat politik, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Baca juga:
Pribumi dan Bela Negara
Cuma Pejabat di Indonesia yang Mengutamakan Pelayanan Kepada Non Pribumi
Istilah Pribumi Pecah, Sebab Keberpihakan Pemerintah Amat Kentara
Republik Cina di Kalbar, Kisah ‘Negara dalam Negara’
Strategi Cina Kuasai Dunia

Baca Juga:  Raih 19.627 Suara, Nia Kurnia Fauzi Siap Jaga Amanah Rakyat

“Hal ini sebenarnya memperbesar potensi konflik sosial antara bumiputra dengan etnis Tionghoa. Karena itulah, diharapkan etnis Tionghoa meninggalkan kecenderungan untuk hidup eksklusif dalam hubungan sosial,” paparnya dalam kesempatan sama.

Dia mengingatkan, kedudukan dan perlakuan yang lebih baik bagi etnis Tionghoa di Indonesia harus diimbangi oleh pemerintah dengan perhatian yang lebih besar terhadap pribumi terutama di bidang ekonomi, pendidikan dan pekerjaan.

Pemateri lain mantan Ketua DPR RI Marzuli Alie juga menegaskan bahwa kondisi Indonesia saat ini nyaris sama seperti era penjajahan Belanda puluhan tahun silam. Menurutnya, kaum pribumi atau bumiputra dalam sejarah kolonial menjadi kelas yang direndahkan dan tertindas mulai dari penjajahan Belanda hingga Jepang. Bahkan dulu, kata dia, menyebut orang Indonesia pribumi dengan sebutan inlander. Berbeda dengan Cina dan Arab yang sebut dengan istilah orang Asia Timur. Jadi bumiputra itu ada.

Baca juga:
Rezim Tirani Minoritas
Mengenal Pribumi Nusantara
Pemerhati Politik Sebut Keturunan Tionghoa Adalah Pribumi, Djoko Edhi: Salah Berat Itu!
Mencermati Jalur Sutera Maritim Abad 21
Geopolitik Indonesia di Mata China
Bangsa Indonesia Lupa Geopolitik

Baca Juga:  Jelang Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024, Khofifah Optimis Prabowo-Gibran Menang

Namun, kata dia lagi, dewasa ini situasi kian paradoks. Ketimpangan sosial tak terelakkan. Para bumiputra termarjinalkan. Ironisnya, fenomena yang terjadi adalah banyak orang alergi dengan istilah pribumi.

Menurut Marzuki akan tidak adil secara politik jika kelompok seperti Cina yang dalam sejarahnya dulu berkolaborasi dengan penjajah dan mendapat kue ekonomi yang baik di masa penjajahan, justru menjadi sangat dominan dalam bidang ekonomi setelah Indonesia merdeka.

“Apa iya sekarang kita mau dijajah kembali oleh bangsa asing, setelah memperoleh kemerdekaan yang diperjuangkan dengan susah payah? Tidak masalah mereka maju dalam bidang ekonomi karena bekerja keras dan ulet, tetapi mayoritas penduduk yang merupakan pribumi harus juga mendapatkan keadilan dalam bidang ekonomi,” terangnya. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,064