Berita UtamaFeaturedPolitik

Rezim Tirani Minoritas

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menanggapi pernyataan Yusri Usman yang menyebut saat ini “minoritas takut”, bagi Wakil Sekretaris LPBHNU, PBNU, Djoko Edhi Abdurrahman dianggapnya sulit dipercaya. Pasalnya Cina saat ini, kata dia tengah menguasai 80% lebih ekonomi nasional. Tak butuh waktu lama bagi Cina untuk segera menguasai politik nasional.

Bagi Djoko Edhi, sebenarnya yang tengah ketakutan justru pribumi, yang Islam. “Cina mah sangat berani, bahkan panggil Gubernur NTB si Tiko (tikus got kotor). Nine Swords menguasai preman, polisi, tentara dan birokrat,” ungkapnya.

Bahkan para taipanlah, kata dia saat dikonfirmasi Nusantaranews, Minggu (27/8/2017) yang menentukan jadi tidaknya Jokowi menjadi presiden. “Ahok malah boleh ngamuk-ngamuk sambil teriak maling dan taik di televisi. Pribumi mana berani begitu. Takutlah. Cina berani. Jadi keliru berat, kalau minoritas dimaksud takut,” sambungnya.

Tak ada asumsi itu. Kalau pribumi bikin ulah, tak bisa kabur ke mana-mana. Kalau Cina, bisa kabur ke Tiongkok kapan saja berikut dengan hukum Ius Sanguinis-nya. Bahkan pemerintahan Xi Jinping telah membuat UU Proteksi China Overseas (Cina Perantauan) tahun lalu untuk melindungi Hoaqiau (etnis Cina daratan).

Baca Juga:  Alumni SMAN 1 Bandar Dua Terpilih Jadi Anggota Dewan

Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Hendrajit mengungkapkan bahwa untuk menggambarkan situasi saat ini, istilah kelompok minoritas sesungguhnya sudah tak lagi relevan. Dikatakan demikian, karena dalam praktiknya fenomena kelompok minoritas menindas mayoritas semakin menguat.

“Sudah tidak relevan lagi istilah kelompok minoritas, karena sudah menguasai perekonomian dan sekarang menguasai politik dengan uangnya meskipun diperoleh dengan cara merampok,” ujar Hendrajit pada Nusantaranews, beberapa waktu lalu.

Dirinya menilai fenomena kelompok minoritas yang menindas mayoritas dengan kekuatan ekonomi, diperparah dengan cara membeli kekuasaan (politik) atau kedaulatan negara. Dirinya menyebut gejala ini sebagai bentuk tirani minoritas.

“Inilah yang disebut tirani minoritas, sayangnya yang mayoritas tidak menyadarinya bahkan saling berantem antar mereka hanya karena dukung mendukung yang minoritas,” terang dia

Dari hal tersebut, Djoko Edhi menegaskan tak ada data ketakutan yang dimaksud Yusri Usman. “Setidaknya, tak saya temukan,” sambung dia.

Mengenai pribumi Islam, diakui oleh Djoko Edhi memang menang jumlah. Namun kata dia, rata-rata mereka adalah miskin, terpecah belah, dan saling mengkhianati. “Tokoh-tokohnya dikasih makan Cina. Anak mudanya, tak ideologis. Orientasinya duit, perut, hedon, borju, dan short cut. Dikasih makan Cina lagi,” beber dia.

Baca Juga:  Bupati Nunukan dan Forkopimda Pantau Langsung Proses Pemilu 2024

Melihat kenyataan itu, dirinya bertanya dimana letak data yang mengklaim minoritas tengah takut? Tak ada. Saat ini, statistik Kompas menunjukkan jumlah Hoaqiau di Indonesia 7.900.000 tahun 2009.

Hasil survei nasional BPS tahun 2014, jumlahnya meningkat menjadi 12 juta lebih. Sebanyak 2 juta lebih di Jakarta. Jika ditambah hunian 1.860.000 Pulau Reklamasi Pulau G, sekurangnya bertambah 2 juta orang, menjadi 4 juta Hoaqiau (Hokian) di Jakarta.

Konsekuensi logisnya diprediksi Pilkada DKI Jakarta nantinya, niscaya akan dimenangkan Cina, seperti Singapore. Apalagi Xi Jinping sudah pasang planning OBOR (One Belt One Road One China/ Satu Sabuk Satu Jalan Satu Cina). Bahkan lanjut dia, neocortex warfare dan proxynya sudah siap.

Dirinya menegaskan pribumi yang mayoritas itu kini ketakutan dari kooptasi Cina. Tanah pertanian 78% manurut MS Ka’ban dikuasai Cina. Seluas 74% tanah produktif Jakarta dikuasai Cina dalam bentuk hak milik.

Sebanyak 80% lebih sektor keuangan menurut Salamudin Daeng, dikuasai Cina. Aset 4 orang Taipan sama dengan aset 100 juta penduduk Indonesia, kata Prabowo Subianto dalam ‘Paradoxs Indonesia 2017.’

Baca Juga:  Bencana Hidrometeorologi Incar Jawa Timur, Heri Romadhon: Masyarakat Waspadalah

“Mengerikan neo imperialisme itu. Lebih hebat daripada VOC. Kalau takut mati, itu tak ada masalah. Semua orang pasti mati takut atau tidak, dan maut adalah hak tiap orang. Melainkan takut dijajah. Itu subtansi,” tegasnya.

Teror terhadap pribumi dari Cina sangat luar biasa. Dituduh radikal, ditembaki sniper, dikriminalisasi, dinyatakan anti Pancasila, intoleran, tidak bhinneka tunggal ika, divonis penebar kebencian dan lain-lain.

Disadari atau tidak, framing yang berkembang tentang anti Pancasila, seolah menjadi ‘boomerang’ bagi warga yang beragama Islam. Bagaimana tidak, saat berbicara tentang, anti Pancasila, intoleransi dan tidak Bhineka Tunggal Ika, seakan-akan radarnya selalu mengarah kepada umat Islam.

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 10