Mancanegara

Perang Tak Kunjung Berhenti, ‘Balkanisasi’ Suriah Segera Dilakukan

NUSANTARANEWS.CO – Ide pembagian wilayah Suriah kembali menyeruak ke permukaan sebagai akibat keputusasaan para pemain regional dan internasional untuk menyelesaikan konflik yang sudah menahun. Campur tangan AS dalam medan konflik Suriah telah menumbuhsuburkan milisi bersenjata di kawasan Timur Tengah. Tampilnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan Jabhat al-Nusra setelah hancurnya al-Qaeda, serta puluhan faksi bersenjata lainnya telah menyulut kemelut Suriah menjadi krisis regional dan internasional.

Selama campurtangannya di Suriah, AS telah mempersenjatai kubu oposisi yang mengakibatkan krisis Suriah berkobar menjadi lebih besar sejak 2011 silam. Belum lagi campur tangan Rusia dan Iran yang menyokong pemerintahan Bashar Al-Assad, membuat perang di Suriah semakin rumit karena melibatkan banyak pihak. Termasuk Turki yang baru-baru ini menggelar Operasi Ranting Zaitun untuk memburu nyawa militan Kurdi di perbatasan Turki-Suriah.

Banyaknya kelompok-kelompok yang terlibat perang di Suriah membuat hampir seluruh wilayah luluh lantak dan hancur lebur. Damaskus sebagai salah satu kota peradaban dunia, terutama Islam, yang dihiasai sejarah-sejarah kuno kini telah lenyap tak berbekas.

(Baca: Amerika Serikat Kalah Perang di Suriah Melawan Rusia dan Iran)

Diketahui, ISIS tercatat sebagai kelompok militan pemberontak terbesar di Suriah. ISIS menguasai wilayah utara dan timur Suriah. Kini, wilayah-wilayah tersebut telah hancur lebur setelah dihantam ratusan bahkan ribuan bom dan senjata rudal yang ditembakkan berbagai pihak termasuk AS dan Rusia.

Baca Juga:  Burundi Reiterates Support for Morocco's Territorial Integrity, Sovereignty over Sahara

Belum lagi kelompok Front An-Nushra yang diduga berafiliasi dengan al-Qaeda. Kelompok ini diketahui menguasai Idlib di wilayah barat laut. Ada lagi kelompok oposisi pemerintahan Al-Assad. Kelompok ini bermarkas di di wilayah utara Suriah dan mendapat dukungan dari AS.

Sementara kelompok pendukung Presiden Al-Assad sebagian besar berada di wilayah selatan. Rusia dan Iran diketahui pro dengan Al-Assad. Dan timur laut Suriah ada kelompok Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang juga diketahui mendapat dukungan skala penuh dari Washington.

Kelompok-kelompok itu saling bertukar tembakan peluru tajam antar satu sama lain dan saling memburu nyawa. Akibatnya, kematian tak terelakkan. Stabilitas keamanan Suriah terus mencekam sejak tujuh tahun silam sampai saat ini.

Perebutan pengaruh serta sumber daya alam, terutama minyak dan gas menjadi pemicu utama perang sipil di Suriah. Kepentingan geopolitik kawasan regional dan internasional telah menyebabkan kehancuran sebuah negara yang pernah memiliki kenangan indah dari sejarah kejayaan di masa lampau. Bagaimana pun, jalur pipa gas Suriah adalah nyawa bagi keberlangsungan perekonomian Eropa dan Amerika.

Baca Juga:  Klausul 'Rahasia' dari 'Rencana Kemenangan' Zelensky: Bergabung dengan NATO dan Memperoleh Senjata Nuklir

(Baca juga: Aksi Protes di Iran Adalah Operasi Intelijen Organisasi Teroris, AS dan Uni Eropa)

Perebutan kepentingan geopolitik itu seolah menjadi penegas utama bahwa misi utama dari perang selama ini di Suriah adalah upaya pembagian wilayah. Atau istilah geopolitiknya, balkanisasi. Ide ini sudah muncul sejak 2014 silam. Tapi, belum bias terwujud karena perang masih terus berkecamuk.

Sejumlah pihak telah mengusulkan pembagian wilayah Suriah ini, terutama AS. Belakangan, kelompok Hizbullah juga mengusulkannya. Pembagian Suriah tersebut diusulkan sesuai dengan penguasaan wilayah oleh masing-masing kelompok yang bertikai. AS bahkan menilai, pembagian wilayah ini adalah solusi satu-satunya untuk mengakhiri konflik di Suriah selain perundingan damai.

Rusia telah lama mencium gelagat AS yang ingin membagi Suriah. Moskow bahkan tak menampik kalau mereka juga punya pemikiran dan rencana serupa. “Rencana untuk pembagian sebenarnya memang sudah ada, kami menyadari hal itu. Namun kami masih menunggu respon Amerika,” ujar Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov dikutip Russian News Agency (TASS), Kamis (8/2/2018).

(Baca juga: Suriah, Cerminan Pengusiran Penduduk Pribumi Lewat Perang Saudara)

Ide ini tampaknya tengah didorong Moskow kepada Washington untuk segera memperundingkannya. Sebab, Lavron menilai percuma saja AS berupaya menyesuaikan diri dengan berbagai kelompok masyarakat di Suriah untuk mengkampanyekan perlawanan terhadap pemerintah Al-Assad, sekalipun mempersenjatai kelompok-kelompok tersebut. “Justru akan menyebabkan hasil yang sangat berbahaya,” kata Lavrov.

Baca Juga:  Winning the US Election, King of Morocco Congratulates Trump as the Next US President
Peta pembagian wilayah Suriah
Peta pembagian wilayah Suriah. (Foto: Institute for the Study of War/CNN)

(Baca juga: Berebut Pipa Gas di Suriah)

Sebuah studi dari Institute for the Study of War yang berbasis di Washington pada tahun 2015 silam bahkan telah merilis rencana AS membagi Suriah.

Pertama, warna merah adalah wilayah dikendalikan pemerintahan Al-Assad dan milisi-milisi Syiah. Kedua, warna merah hati adalah wilayah yang dikendalikan Front An-Nushra, cabang al-Qaeda.

Ketiga, warna kuning adalah wilayah yang dikendalikan oleh pejuang moderat Suriah. Keempat, warna abu-abu adalah wilayah yang dikendalikan ISIS. Kelima, daerah bergaris adalah wilayah yang dikendalikan berbagai macam faksi perjuangan revolusi Suriah. Keenam, warna hijau adalah wilayah yang dikendalikan pejuang Kurdistan Suriah.

Lavrov mengatakan Moskow akan merespon rencana dan ide AS tersebut guna mengakhiri konflik Suriah yang telah menewaskan ribuan warga sipil dan menyebabkan jutaan rakyat terpaksa mengungsi akibat perang. “Amerika telah memulai studi yang bertujuan untuk membagi negara (Suriah),” kata Lavrov. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 7