Berita UtamaMancanegaraOpiniTerbaru

Perang Suriah: Amerika Telah Perang Dengan Suriah Sejak 1949

Perang Suriah: Amerika telah perang dengan Suriah sejak 1949.
Perang Suriah: Amerika telah perang dengan Suriah sejak 1949/Presiden Bashar al Assad/Foto: Middle East Eye

NUSANTARANEWS.CO – Perang Suriah: Amerika telah perang dengan Suriah sejak 1949. Sebuah laporan investigasi oleh reporter pemenang hadiah Pulitzer, Seymour Myron mengungkapkan bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengebom Suriah pada 4 April berdasarkan alasan palsu.

Myron adalah pengarang dan jurnalis investigasi pemenang penghargaan Pulitzer dari AS. Jurnalis kelahiran 8 April 1937 tersebut merupakan kontributor reguler majalah The New Yorker di bidang keamanan dan militer.

Karyanya yang pertama kali membuatnya terkenal adalah saat ia mengungkap seputar pembantaian “My Lai” dalam perang Vietnam pada tahun 1969 yang membuatnya mendapat penghargaan Pulitzer pada tahun 1970 dalam kategori Reportase Internasional.

Menurut Myron, para pejabat militer dan intelijen AS telah melaporkan kepada presiden bahwa tidak ada bukti mengenai serangan senjata kimia oleh Presiden Bashar al Assad. Menurut informasi intelijen, kejadian sesungguhnya adalah ketika jet tempur Su-24 Suriah membom para teroris, secara tidak sengaja mengenai bahan kimia yang disimpan oleh para teroris. Laporan intelijen juga memastikan bahwa pembom tempur Su-24 Angkatan Udara Suriah hanya menggunakan senjata konvensional untuk menghancurkan tergetnya dan tidak ada hulu ledak kimia.

Berdasarkan laporan itu, pada 4 April 2017, AS meluncurkan 59 rudal jelajah Tomahawk dari dua kapal perusak yang bertugas di Mediterania, USS Ross dan USS Porter untuk menghancurkan Pangkalan Udara Shayrat dekat kota Homs. Sebanyak 24 rudal meleset dari target dan hanya beberapa dari Tomahawk yang benar-benar tepat menghantam, hangar dan menghancurkan sembilan jet tempur (rusak) Suriah.

Dalih serangan AS adalah klaim bahwa Presiden Assad sedang melakukan persiapan untuk serangan senjata kimia lain terhadap warga sipil Suriah.

Di pihak Suriah sendiri, beberapa jam sebelum serangan, Angkatan Udara Suriah telah menerbangkan jet-jet tempurnya ke pangkalan udara terdekat. Sedangkan dua landasan pacu dan tempat parkir pesawat yang menjadi sasaran, langsung diperbaiki dan kembali beroperasi dalam waktu singkat. Dengan kata lain, serangan rudal AS itu tak lebih dari pertunjukan “kembang api” yang mahal.

Baca Juga:  Tiga Kader PMII Layak Menduduki Posisi Pimpinan DPRD Sumenep

Juru bicara Gedung Putih Sean Spicer berkata:

AS telah mengidentifikasi potensi persiapan untuk serangan senjata kimia lain oleh Presiden Assad yang kemungkinan akan mengakibatkan pembunuhan massal warga sipil, termasuk anak-anak yang tidak bersalah.

Jika… Tuan Assad melakukan serangan pembunuhan massal lagi dengan menggunakan senjata kimia, dia dan militernya akan membayar mahal.

Disusul kemudian oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Nikki Haley melalui cuitannya: “Setiap serangan lebih lanjut yang dilakukan terhadap orang-orang Suriah akan disalahkan pada Assad, dan juga pada Rusia & Iran yang mendukungnya untuk membunuh rakyatnya sendiri.”

Ya, apa pun yang buruk terjadi, apakah itu dilakukan oleh Assad, ISIS, atau Al Qaeda, atau pasukan luar yang mencoba mengguncang Suriah, itu semua adalah kesalahan Presiden Assad sebagai justifikasi untuk pemboman lebih lanjut terhadap Suriah.

Permainan “kembang api” di Suriah ini, sebetulnya telah berlangsung selama 70 tahun lebih. Ketika Presiden Donald Trump baru berusia 2 tahun, CIA telah menjadikan Suriah sebagai target yang pertama dalam operasi penggulingan pemerintahan yang sah pada tahun 1949. Ketika Suriah baru berusia 3 tahun menjadi negara merdeka. Dan CIA terus dan terus melakukanya pada 1957, 1986, 1991, 2001, 2009, dan terakhir Perang Suriah 2011 hingga sekarang.

Mengapa selama 70 tahun lebih Suriah menjadi target?

Mungkin karena pada akhir tahun 1945, Arabian American Oil Company (ARAMCO) yang ingin membangun Trans-Arabian Pipe Line (TAPLINE) dari Arab Saudi ke Mediterania terhambat di Suriah. Padahal ARAMCO telah diberikan hak akses dari Lebanon, Yordania, dan Arab Saudi oleh AS.

Baca Juga:  Dukung Peningkatan Ekonomi UMKM, PWRI Sumenep Bagi-Bagi Voucher Takjil kepada Masyarakat

Suriah adalah satu-satunya negara penghambat untuk jalur pipa minyak yang menguntungkan tersebut – karena Suriah memiliki kendali atas salah satu arteri minyak utama di Timur Tengah, jalur pipa yang menghubungkan ladang minyak Irak ke Turki lalu ke Eropa.

AS tampaknya tidak ingin Suriah menjadi pusat jaringan energi dunia yang menyaingi Arab Saudi dengan mewujudkan visi “Four Seas Strategy” Presiden Assad yang dicetuskan pada 2009. Dengan strategi geopolitik tersebut, Presiden Assad ingin membangun aliansi energi baru di Timur Tengah yang menghubungkan Empat Laut yakni: Laut Tengah, Laut Kaspia, Laut Hitam dan Teluk Persia ke dalam jaringan energi.

Negara-negara yang diharapkan dapat berkolaborasi mengimplementasikan visi empat laut tersebut adalah: Turki, Iran, Irak, Yordania, dan Suriah tentu saja. Damaskus sendiri telah mempromosikan visi ini sebagai kebijakan utama politik luar negeri Suriah.

Presiden Assad sendiri telah menyerukan kepada Turki, Irak, dan Iran untuk bersatu dalam aliansi baru yang akan berfungsi sebagai persimpangan global untuk perdagangan yang menghubungkan Laut Mediterania, Laut Hitam, Laut Kaspia, dan Teluk Persia

Secara geopolitik, posisi Laut Kaspia di arah timur bersilangan dengan koridor Jalur sutra ke arah barat. Wilayah yang terletak di antara Iran dan Rusia ini menjadi terkenal sebagai sumber alternatif bagi konsumen energi dunia – terutama mengingat meningkatnya ketidakstabilan pasokan energi dari Timur Tengah. Laut Kaspia diketahui memiliki cekungan terbesar di dunia untuk minyak dan gas alam di luar Teluk Persia dan Rusia.

Langkah Cina ke zona Kaspia itu sendiri merupakan upaya untuk mendiversifikasi ketergantungan energi dari kawasan Teluk yang tidak stabil. Bila persilangan Four Seas Strategy dan Jalur Sutra dapat saling bersinergi di masa depan tentu akan berimplikasi besar terhadap AS dan Eropa.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Strategi ambisius Assad memang sangat bergantung pada hubungan bilateral dengan negara tetangganya Turki – terutama untuk mengintegrasikan jaringan pipa gas mereka dengan Arab Gas Pipeline (AGP) yang berpangkal di Mesir yang memasok Yordania, Suriah, Lebanon dan Turki. Rencana pembangunan jaringan pipa yang terintegrasi tersebut ditandatangani Suriah dan Turki pada 2009 dan diharapkan selesai pada 2011.

Harus diakui bahwa visi Presiden Assad sangat cerdas dan tepat dalam memainkan strategi geopolitik dan geoekonomi di kawasan Timur Tengah. Menjadikan Suriah sebagai pusat transit energi yang menghubungkan jaringan pipa minyak dan gas ke pipa Nabucco yang akan membawa minyak dari Laut Kaspia ke Turki dan ke Eropa.

Assad juga telah menandatangani perjanjian migas dengan Armenia dan Azerbaijan serta membangun kembali hubungan dengan Irak untuk membuka kembali saluran pipa minyak yang mengalir dari Kirkuk ke pelabuhan Banias di Suriah. Kapasitas jaringan pipa tersebut mencapai 200.000 bph, dan ditutup pada 1979 ketika Suriah dan Irak berseteru. Presiden Assad ingin membangun jalur pipa kedua, dengan kapasitas 1,4 juta bph.

Selain itu, Assad mulai membangun aliansi dengan Iran dan Hizbullah untuk menghidupkan kembali pengaruh politik Damaskus yang terus menurun karena ditekan oleh aliansi AS, Israel dan Arab Saudi. Bersama Iran dan Hizbullah, pengaruh politik Suriah mulai menguat kembali di kawasan. Bukan itu saja, Suriah siap bersaing dengan Arab Saudi sebagai penyedia migas utama di kawasan.

Pada Musim Semi 2011, di tengah langkah awal rencana besar Presiden Assad menjadi pemasok utama energi global, tiba-tiba  aliansi AS-NATO-Israel-Arab Saudi serta sekutu mereka termasuk teroris Al-Qaeda melancarkan agresi militer di Suriah. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,051