Opini

Perang Dagang AS versus Cina, Dunia Terguncang

Ekonomi dunia sedang mengalami babak baru. Perseteruan Cina dan AS terus berlanjut. Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif impor untuk sejumlah barang dari Cina. Trump sudah mengumumkan pengenaan bea masuk ekstra kepada produk-produk Cina yang total bernilai 50 miliar dolar setelah penyelidikan pemerintah AS menunjukkan ada pencurian properti intelektual dari perusahaan-perusahaan Amerika. Menanggapi kebijakan itu, Cina pun murka. Pemerintah Cina menyatakan pengenaan bea masuk kepada produk impor Amerika Serikat senilai 3 miliar dolar AS. Bea masuk itu dikenakan kepada 128 produk AS, mulai dari daging babi sampai pipa baja.

Baca juga: Trump Koreksi WTO, Para Menteri APEC Tolak Proteksionisme

Kekhawatiran AS terhadap dominasi ekonomi Cina terhadap dunia beralasan. Pasalnya, sejak impor Cina masuk, AS mengalami defisit anggaran. Pada tahun 2017, ekspor barang dan jasa AS ke Cina naik menjadi 186,6 miliar dolar AS. Angka itu naik 9,8% dari tahun sebelumnya. Impor dari Cina sebesar 524 miliar dolar AS, naik 9,3%. Artinya, ada defisit pada sisi AS sebesar 337,2 miliar dolar AS. Angka defisit itu naik pesat dibandingkan dengan tahun 1999 yang hanya sebesar 67,4 miliar dolar AS saja. Ekspor AS ke Cina nilainya tidak lebih besar dibanding impor dari Cina. Volume perdagangan AS ke Cina lebih kecil dibanding volume perdagangan Cina ke AS.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Setelah dua dekade terakhir, geliat kebangkitan ekonomi Cina mulai menampakkan diri. Cina negara berkembang yang mampu bersaing di dunia. Meski secara ideologi, AS tetap masih bertahan sebagai negara adikuasa yang mencengkeram negara dunia berkembang lainnya.

Baca juga: Masa Depan Perdagangan Bebas Kawasan Asia-Pasifik

Dominasi Ekonomi Cina

Keikutsertaan Cina dalam berbagai kerjasama ekonomi menunjukkan besarnya kepentingan nasional Cina dalam pesaingan global dalam memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi domestik dan luar negerinya. Begitu banyak kerjasama ekonomi yang diikuti oleh Cina, seperti World Trade Organisation (WTO), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Shanghai Coperation Organisation (SCO), ASEAN Plus Three (APT), G-20, dan juga OPEC. Dalam konteks regional, Cina dan ASEAN telah menyepakati dibentuknya zona perdagangan bebas China-ASEAN (ASEAN-China Free Trade Area, ACFTA) yang akan diberlakukan di semua negara ASEAN pada desember 2009 silam. Berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Perdagangan Cina, Cina merupakan negara pengekspor terbesar ketiga dunia dengan peningkatan total GDP sebesar 12 % di volume 3,24 triliun Dollar AS.

Baca juga: Kawasan Asia-Pasifik Menjadi Zona Perdagangan Bebas Terbesar di Dunia

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Fakta tersebut menunjukkan bahwa Cina patut diperhitungkan sebagai pesaing besar bagi negara adikuasa seperti AS. Pengaruhnya di kawasan Asia–Pasifik cukup luas. Tak ayal, posisi dan dominasi ini membuat AS ketar- ketir. Posisi sebagai negara adikuasa nomor wahid dikhawatirkan bergeser kepada Cina sebagai kekuatan ekonomi baru dunia. Meski dengan ideologi komunis-sosialisnya, Cina belum bisa menyaingi AS sebagai negara yang mampu mempengarui geopolitik suatu negara. Karena faktanya, ekonomi Cina yang besar ditopang oleh ekonomi kapitalisme yang mereka adopsi dari negara pengembannya, yaitu AS.

Dunia Ketiga menjadi Incaran

Dunia ketiga seringkali disebut dunia Islam. Negeri-negeri muslim ini masih pada stagnasi statusnya sebagai negara berkembang. Tak ada model negeri muslim yang mampu menyaingi dominasi negara adikuasa semacam AS dan Cina baik secara politik maupun ekonominya. Padahal, jika kita menelisik ke dalam, justru ketersediaan sumber daya alam dunia berada di negara dunia ketiga ini. Oleh karenanya, AS dan Cina dipastikan berebut kekuasaan di wilayah yang menjadi kawasan dunia ketiga.

Baca juga: Stabilitas Asia Dalam Bayang-bayang Ambisi Global Cina

Sebutlah Asia, Afrika, dan Timur tengah. Kawasan ini selalu menjadi primadona incaran negara adikuasa blok barat (AS) dan timur (Cina dan Rusia). Mengapa? Karena kawasan Asia, Afrika, dan timur tengah memiliki kekayaan alam yang belum banyak tereksplorasi di negerinya sendiri. Perlu dipahami pula bahwa kawasan Asia, Afrika, dan timur tengah masih saja rentan dengan konflik, baik konflik horizontal, regional, bahkan internasional yang melibatkan banyak negara dengan berbagai kepentingan di wilayah tersebut.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Sebagai contoh, Myanmar, ada kepentingan Cina dalam menyalurkan pipa gasnya di Burma. Maka penghapusan rohingya menjadi alasan agar wilayah itu mudah dikuasai. Sebut pula Suriah, selain tambang minyak, Suriah juga memiliki jalur sutera yang banyak direbutkan.

Baca juga: Bangsa Indonesia Lupa Geopolitik

Di Afrika, ada Kongo, Ethiopia, dan lain-lain yang bernasib sama. Negeri Afrika dirundung konflik horizontal yang tak pernah pudar. Padahal, negeri berkonflik itu tersimpan 60% cadangan emas dunia dan hasil tambang lainnya.

Walhasil, baik Cina mapun AS tak akan melewatkan kesempatan untuk berebut kekuasaan secara ekonomi di tingkat dunia. Karena kedua negara tersebut butuh asupan minyak dan gas alam yang dimiliki negara dunia ketiga untuk keberlangsungan ekonomi domestik negaranya.

Baca juga: Indonesia (Sebenarnya) Sudah Bubar

Penulis: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan Peradaban

Related Posts

1 of 793