PolitikTerbaru

Sikap PB PMII Tentang Konflik Rohingya

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Peristiwa kekerasan di Rakhine, Myanmar terhadap etnis Rohingya terus menjadi perhatian semua pihak. Tidak terkecuali di Indonesia. Sebab, kekerasan yang dilakukan militer Myanmar itu adalah peristiwa paling buruk dalam beberapa dekade terakhir.

Warga Rohingya menjadi korban utama dari aksi kekerasan yang beraroma pembersihan etnis (etnic cleansing) ini. Sedikitnya 400 orang tewas merenggang nyawa karena mempertahankan tanah dan rumahnya, serta puluhan ribu melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh demi menyelamatkan keluarga dan harta benda.

Fakta kekerasan di Myanmar adalah tragedi kemanusiaan paling memilukan dalam sepekan terakhir.

Baca juga: Penganiayaan Rohingya Lebih Disebabkan Kepentingan Bisnis Ketimbang Agama

Menurut organisasi kemahasiswaan PMII, sebagaimana bangsa Palestina masyarakat Rohingya hingga detik ini belum merasakan nikmatnya kehidupan damai. Perbedaannya, rakyat Palestina melawan invasi bangsa asing, sedangkan di Rakhine masyarakat Rohingya dibantai bangsa sendiri sesama warga negara Myanmar.

“Konflik dalam negeri ini menjadi yang terburuk di kawasan Asia sepanjang abad ini. Sebuah konflik yang sulit terurai mengingat dua penyebab utamanya, kebencian rasial dan kepentingan ekonomi,” tulis PMII dalam sebuah pernyataan, Jakarta, Minggu (3/9/2017).

Baca Juga:  DPRD Nunukan Dimungkinkan Akan Menjadi 7 Fraksi

Dikatakan, secara antropologis PMII mencermati bahwa masyarakat Rohingya memang memiliki akar ras dan budaya yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Myanmar. Masyarakat Rohingya, yang kebanyakan adalah keturunan Bangladesh, bukan cuma menjadi minoritas secara ras akan tetapi perbedaan agama juga menjadi alat penguat perbedaan selanjutnya. “Minoritas muslim dalam komunitas mayoritas penganut Buddha,” katanya.

Lebih jauh, secara geografis, sepertiga masyarakat yang masih sering distigma sebagai benalu dalam negara ini terkonsentrasi di wilayah barat Myanmar, wilayah yang paling miskin di Myanmar, serta tidak diizinkan berbaur dalam harmoni hidup dalam nuansa bernegara meskipun masyarakat Rohingya mengklaim telah mendiami wilayah ini sejak abad ke-15.

“Tiga hal ini, perbedaan suku, agama dan letak geografis wilayah menjadi akar masalah yang rumit untuk diselesaikan,” lanjut pernyataan tersebut.

Selain permasalahan di atas, PMII menilai bahwa kepentingan ekonomi menjadi masalah yang melibatkan lebih banyak pihak luar negara. Myanmar menjadi negara ketiga yang memiliki program eksploitasi besar-besaran sumber daya alam dalam negeri setelah India dan Cina. Kebijakan yang tentu saja mengundang banyak kepentingan investor luar negeri.

Baca Juga:  Ar-Raudah sebagai Mercusuar TB Simatupang

Hal ini membuat beberapa negara berkepentingan yang sudah berinvestasi di Myanmar seperti memilih sikap diam atas konflik mengerikan ini. Dari dalam kepentingan ekonomi asing diperkuat dengan kekuatan rezim militer Myanmar. Military-economic interest, atau kepentingan ekonomi militer menjadi momok menakutkan dalam sejarah panjang konflik Myanmar.

Sejak 2012 Pembunuhan dan pengusiran masal terjadi. Terhitung 160 ribu warga Rohingya terusir dari tanah mereka dan mencari suaka ke beberapa negara tetangga seperti Indonesia, Bangladesh dan Thailand.

“Atas nama kemanusiaan, atas nama persaudaraan Islam, kita, PMII, tidak akan dan tidak boleh tinggal diam. PB PMII menegaskan bahwa sudah waktunya semua perlakuan rasis dan keserakahan ekonomi di negara tersebut diakhiri,” katanya.

Berikut pernyataan PMII menyikapi konflik berdarah dan berbau pembersihan etnis atau genosida di Rakhine, Myanmar.

Pertama, kami mengutuk keras pembunuhan masal juga pengusiran terhadap saudara-saudara kami di Rohingya. Kedua, atas nama kemanusiaan, kami meminta pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan apa yang terjadi di Rohingya.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Ketiga, kami juga mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melayangkan protes dan desakan pada pemerintah Myanmar untuk segera menghentikan kebiadaban ini. Keempat, kami berharap pemerintah mau mewakili keresahan masyarakat Indonesia dan berani menawarkan diri menjadi mediator sebagai ruang pencarian solusi atas masalah yang tak kunjung henti ini.

Kelima, usir kedutaan besar Myanmar dari tanah Indonesia jika masalah kemanusiaan ini tidak kunjung selesai. Keenam, pada akhirnya, di internal, kami menghimbau kepada seluruh kader PMII untuk bersama bergerak melalui aksi solidaritas menggaungkan sikap ketidakterimaan kita terhadap perlakuan rezim militer Myanmar atas saudara kita di Rohingya. (ed)

(Editor: Eriec Dieda)

Related Posts

1 of 28