ArtikelKolomMancanegaraSpiritual

Penganiayaan Rohingya Lebih Disebabkan Kepentingan Bisnis Ketimbang Agama

NUSANTARANEWS.CO – Petani kecil dari umat Buddha dan Muslim telah menjadi korban perampasan tanah oleh perusahaan di Myanmar. Dalam empat tahun terakhir, kelompok minoritas Muslim Rohingya sudah sekian lamanya hidup di Rakhine Myanmar. Dan sepanjang waktu itu pula mereka mengalami penganiayaan yang semakin meningkat tajam, dilakukan oleh tentara Myanmar dan sekte tertentu dari biksu Buddha yang menganut nasionalis ekstrem.

Dalam sejumlah pemberitaan di dunia, fokus pada pemberitaan tentang konflik agama dan etnis yang menjadi pemicu tumbuh dan berkembangnya konflik. Human Right Watch menggambarkan kekerasan anti-Rohingya sebagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari kampanye pembersihan etnis (etnic cleansing). Menteri Luar Negeri Malaysia misalnya, menggambarkan tindakan pemerintah Myanmar sebagai pembersihan etnis dan meminta mereka untuk segera menghentikan praktik tersebut.

Tak hanya Menlu Malaysia, John McKissick, Kepala badan Pengungsi PBB juga menyebutkan bahwa pemerintah Myanmar melakukan pembersihan etnis terhadap orang Rohignya yang kini sudah berhamburan melarikan dan menyelamatkan diri dengan cara pergi ke mana saja asal tidak berada di Rakhine hanya untuk hidup dan melanjutkan kehidupan.

Tapi Saskia Sassen atau Robert S. Lynd, seorang Profesor Sosiologi di Universitas Columbia dan Anggota Komite Pemikiran Global menulis, bahwa penelitiannya menunjukkan agama dan etnisitas mungkin hanya salah satu bagian untuk menjelaskan soal pemindahan paksa etnis Rohignya di Rakhine, Myanmar.

Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa dalam dua dekade terakhir telah tampak peningkatan akuisisi perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia untuk pertambangan, kayu, pertanian dan air di wilayah yang didiami etnis Rohingya. Dalam kasus Myanmar, kata dia, militer telah menguasai hamparan tanah luas dari petani sejak tahun 1990-an silam tanpa kompensasi, namun dengan ancaman jika mereka mencoba melawan. Perebutan tanah ini terus berlanjut selama beberapa dekade, dan telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Pada saat serangan tahun 2012, lahan yang dialokasikan untuk proyek besar meningkat 170% antara tahun 2010 dan 2013. Pada tahun 2012, undang-undang yang mengatur tentang tanah diubah untuk mendukung akuisisi perusahaan yang besar.

“Kita harus bertanya apakah penganiayaan yang tajam dari kelompok Rohingya (dan kelompok minoritas lainnya) mungkin sebagian disebabkan oleh kepentingan ekonomi militer, bukan sebagian besar masalah agama/etnis. Mengeluarkan Rohingya dari tanah mereka mungkin bagus untuk bisnis masa depan. Sebenarnya, baru-baru ini pemerintah mengalokasikan 1.268.077 hektar (3.100.000 hektare) di wilayah Rohingya di Myanmar untuk pengembangan pedesaan perusahaan -ini cukup melonjak dibandingkan dengan alokasi formal pertama yang pada 2012, hanya seluas 7.000 hektare (17.000 hektare),” kata Saskia Sassen seperti dikutip The Guardian.

Sampai batas tertentu, fokus internasional pada agama telah membayangi perampasan tanah yang luas, yang telah mempengaruhi jutaan orang, termasuk Rohingya.

Siapakah Rohingya itu?
Rohingya adalah minoritas Muslim tua yang telah lama menjadi bagian dari Myanmar. Kembali pada abad ke-15 ketika ribuan orang Muslim datang ke Kerajaan Arakan sebelumnya. Rohingya adalah istilah identifikasi diri yang muncul pada tahun 1950-an dan para ahli mengatakan bahwa kelompok tersebut memiliki identitas kolektif dan politis.

Baca Juga:  Rusia Menyambut Kesuksesan Luar Angkasa India yang Luar Biasa

Lebih dari sepertiga orang Rohingya terkonsentrasi di negara bagian Rakhine bagian barat – salah satu negara bagian Myanmar yang paling tidak berkembang, dengan tanah berlimpah. Rohingya miskin, dengan lebih dari 78% rumah tangga hidup di bawah garis kemiskinan, menurut perkiraan Bank Dunia. Kemiskinan memungkinkan pengusiran mereka untuk memberi ruang bagi proyek pembangunan.

Hidup berdampingan tidak pernah benar-benar damai. Tapi, dari tahun 1990-an sampai 2012 tidak terjadi pembunuhan secara besra-besaran. Hanya, pada tahun 2012 umat Buddha Arakan menyerukan penganiayaan setelah tiga pria Muslim dituduh memperkosa seorang wanita Arakanese. Pada tahun itu juga, partai politik Arakanese, asosiasi para biarawan setempat, dan kelompok masyarakat secara terbuka mendesak pembersihan etnis Rohingya. Sekte Buddis tertentu mencoba untuk mentafsirkan kembali bagian-bagian teks ajaran Buddha yang bisa dijadikan sebagai dalil pembenaran untuk mendorong orang membunuh warga etnis Rohingya. Hanya, sebagian besar umat Buddha tidak mau bergabung dengan gerakan tersebut.

Setelah tahun 2012 Rohingya mulai meninggalkan Myanmar dalam jumlah besar. Telah menjadi jelas bahwa mereka sekarang adalah orang yang secara aktif dianiaya. Menurut departemen luar negeri AS, kekerasan 2012 terhadap penduduk sipil Rohingya mengakibatkan sekitar 200 kematian dan lebih dari 140.000 orang mengungsi. Komisaris tinggi PBB untuk pengungsi memperkirakan bahwa sejak tahun 2012, ada 160.000 orang Rohingya meninggalkan rumahnya menuju negara-negara tetangga melalui laut. Kebanyakan mereka ke Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Lebih dari 120.000 orang Rohingya masih tinggal di lebih dari 40 kamp pengungsian di Myanmar sesuai dengan organisasi hak daerah Fortify Rights.

Tapi apakah itu tentang agama?
Perlakuan terhadap Rohingya kadang-kadang digambarkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. “Tapi kita perlu menginterogasi sumbernya. Jika kita melihat beberapa tren yang lebih besar yang mempengaruhi masyarakat pedesaan, ada dua fakta utama yang menonjol. Salah satunya adalah jumlah petani besar Buddha yang jauh lebih besar yang juga telah dikeluarkan dari tanah mereka dalam beberapa tahun terakhir. Dan yang lainnya adalah fakta bahwa proyek ekstraksi kayu, pertambangan, dan air berskala besar mulai dibangun di wilayah mereka.

Kombinasi kondisi tersebut sampai saat ini jarang disebutkan di media, dan tidak hadir dalam diskusi agama. Fokus media global, dan untuk sebagian besar di dalam Myanmar disebutkan adanya unsur kebencian religius.

Ada harapan tinggi bahwa kemenangan elit partai Aung San Suu Kyi pada November 2015 akan membawa keadilan. Tapi sayang, dia malah justru tidak membahas perkembangan konflik ini dalam sejumlah pernyataannya di depan publik. Namun, Mei 2016 lalu Aung San Suu Kyi meminta agar AS tidak menggunakan kata Rohingya karena istilah tersebut tidak berguna sebagai bagian dari proses rekonsiliasi nasional.

Tapi perampasan tanah diam-diam diabaikan. Sebenarnya, militer telah mengambil alih tanah dari petani Buddha dan kelompok lainnya pada 1990-an. Namun pada tahun 2012 terjadi perubahan undang-undang yang meluas dan (secara formal) membuka negara kepada investor asing. Pada tanggal 30 Maret 2012, majelis tinggi, rendah dan atas menyetujui revisi dua undang-undang pertanahan: Undang-undang Pertanian dan Hukum Lahan Kosong. Ini adalah Undang-Undang Penanaman Modal Asing baru yang mengizinkan 100% modal asing, dan masa sewa sampai 70 tahun. Dibandingkan dengan pertambangan, sektor pertanian masih memiliki beberapa batasan dalam investasi asing karena pemerintah mempromosikan usaha patungan dengan pengusaha lokal. Namun, perusahaan asing sering menggunakan perusahaan lokal sebagai proxy untuk investasi.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

UU Petani 1963 juga dibatalkan pada tahun 2012. Undang-undang ini, yang melindungi petani kecil dan hak anakan atas tanah telah ada sejak era sosialis negara Myanmar. Dengan latar belakang ini, meningkatnya pemindahan jutaan petani kecil dari tanah mereka merupakan perubahan besar mengenai siapa yang mengelola tanah tersebut. Petani kecil menjadi pengungsi pesanan ekonomi baru. Myanmar kurang tanggap dalam hal ini. Pemberontakan petani kecil mulai menguat, saat perusahaan besar mengambil alih tanah mereka, bahkan mereka perusahaan besar mengklaim lebih berhak memiliki tanah karena para petani tak punya sertifikat tanah sebagai bukti hak milik mereka. Masalahnya, tanah-tanah itu adalah peninggalan nenek moyang mereka, tetapi perusahaan besar tidak mau peduli atas klaim para petani tersebut. Kondisi ini diperparah lagi dengan keberadaan militer Myanmar yang hampir mutlak memiliki kontrol penuh sebagian besar tanah negara. Karenanya tak heran kalau kemudian tindakan pengusiran petani kecil itu dilakukan barisan militer Myanmar.

Saat ini, ada proyek ekonomi terbaru yang akan dibangun di Rakhine yakni pertambangan, kayu dan proyek panas bumi (geothermal). Lagi-lagi, lahan sangat dibutuhkan demi keberlanjutan proyek-proyek besar tersebut. Dan sekali lagi, petani kecil jadi korban. Celakanya, proyek yang akan dibangun itu tidak memberikan solusi bagi nasib ribuan petani kecil yang kehilangan tempat tinggal dan tidak pernah diberi kompensasi.

Selain itu, investasi langsung asing sekarang terkonsentrasi di sektor ekstraktif dan pembangkit tenaga listrik. Tidak banyak investasi baru yang masuk ke sektor seperti manufaktur yang bisa menghasilkan kelas pekerja yang kuat dan kelas menengah yang sederhana. Misalnya, proyek pipa Yadana di Myanmar, memerlukan investasi lebih dari $ 1 miliar (£ 0,8 miliar), namun hanya mempekerjakan 800 pekerja.

Selanjutnya, UU 2012 memberdayakan investor asing. Ini menawarkan pinjaman pemerintah, tapi tidak ada bantuan untuk petani kecil yang kehilangan tanah mereka. Properti tanah dapat berkisar dari 2.000 hektar hingga 20.000 hektar (5.000 hektar sampai 50.000 hektar) untuk periode awal selama 30 tahun. Luasnya perebutan lahan sudah sedemikian rupa sehingga Myanmar kehilangan lebih dari satu juta hektar hutan setahun.

Banyak, mungkin sebagian besar, kontrak yang ditandatangani untuk kesepakatan tanah utama memiliki kondisi dan dampaknya sendiri. Misalnya, komandan militer regional dan kelompok bersenjata non-negara memiliki kontrol secara de facto atas sebagian besar pembangunan lahan di Myanmar utara.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Tragedi penganiayaan dan kekerasan brutal di Myanmar telah menyebabkan kekhawatiran besar di seluruh dunia bahwa kondisi tersebut semakin memburuk. Tapi mesti diingat bahwa kekerasan itu tak hanya bermotif agama melainkan juga soal penggusuran petani kecil untuk memberi ruang bagi tindakan perampasan tanag secara besar-besaran.

Myanmar berada di kawasan perbatasan Asia untuk mode pembangunan saat ini, terutama perkebunan, pertanian, pertambagan dan ekstraksi air. Lokasi Myanmar sangat strategis, terutama di Rakhine. Selain menjadi negara terbesar di Asia Tenggara, Myanmar berada di antara dua negara terpadat di dunia, China dan India. Kedua negara ini lapar akan sumber daya alam!

Sejak pertama investor asing masuk ke negara tersebut di bawah rezim hukum baru, permintaan atas tanah telah menjadi faktor utama pemicu konflik. Perusahaan asing datang, perebutan lahan telah meningkat, petani kecil terus kehilangan tanah. Petani menjadi miskin atau kehilangan tanah mereka. Tapi pasar tanah sedang booming, naik tajam.

Dilihat dari sudut ini, penganiayaan terhadap Rohingya setidaknya memiliki dua fungsi, meski tidak terencana. Mengeluarkan mereka dari tanah milik mereka adalah cara membebaskan lahan dan air. Membakar rumah mereka membuat ini ireversibel: Rohingya terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tanah mereka. Kedua, fokus pada perbedaan agama memobilisasi hasrat seputar agama, dan bukan bertujuan untuk memberi tekanan pada pemerintah untuk menghentikan penggusuran semua petani kecil, tidak peduli apa agama mereka.

Dengan latar belakang jutaan petani kecil yang diusir, sungguh menakjubkan betapa banyak agama yang menarik perhatian para pengamat dan komentator. Sementara itu, sepertiga dari luas hutan Myanmar hilang, dan pemerintah telah mengalokasikan jutaan hektar, termasuk penjatahan yang signifikan di negara Rakhine untuk pengembangan lebih lanjut.

Sebagai catatan kecil, Myanmar bergabung dengan ASEAN pada tahun 1997 silam. Dua alasan utama Myanmar mau bergabung; faktor politik dan ekonomi. Dari aspek politik, Myanmar ingin ASEAN dapat melindungi negaranya dari desakan barat da Eropa karena dituduh otoriter dan anti demokrasi. Amerika Serikat dan Eropa sudah sejak lama melakukan tekanan terhadap Myanmar. Sanksi-sanksi baik yang bersifat ekonomi, individu maupun institusi yang telah dilakukan Amerika Serikat dan Eropa terhadap Myanmar. Untuk itu, Myanmar mengambil keputusan untuk bergabung ASEAN untuk mendapatkan pengakuan internasional dalam rangka melegitimasi pemerintahan junta militernya.

Kedua, dari aspek ekonomi. Pemberlakuan pemerintahan otoriter di bawah Jenderal Ne win telah membuat ekonomi Myanmar memburuk. Pasalnya, dalam menjalankan roda perekonomian Jenderal Ne win menutup Myanmar  dari pergulatan regional dan internasional. Myanmar membuat suatu kebijakan ekonomi berdiri di atas kaki sendiri tanpa melibatkan pihak dan investor asing atau negara lain. Akibatnya, kondisi ekonomi memburuk. Untung, beberapa tahun kemudian Myanmar mulai menyadari bahwa globalisasi tidak dapat dihindari sehingga menuntut negara harus beradaptasi dengan era persaingan global dan berinteraksi dengan negara-negara tetangga. Salah satu cara yang ditempuh junta militer Myanmar adalah bergabung dengan ASEAN. (ed)

(Editor: Eriec Dieda)

Related Posts

1 of 19