NUSANTARANEWS.CO – Selebrasi Pemusnahan Sebuah Kenangan untuk Ibu, Puisi Muhammad Husein Heikal. Pada mulanya, setiap anak manusia dilahirkan untuk merindukan seorang ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, dan membesarkannya. Ibu pertiwi, tanah tempat tumpah darahnya. Bagi anak yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim. Barangkali ia menjadi seorang muslim. Kemudian akan terpatri dalam ingatannya bahwa, surga terletak di bawah kaki ibu.
Selanjutnya, setiap tahun di bulan puasa, warga muslim perantau, akan pulang ke kampung halaman demi sebuah sembah buat ibu. Ia pulang sebentar untuk melunasi hutang-hutang kebahagiaan yang ia terima di masa kanak dari ibu, bapak, saudara, kerabat, dan tetangga, bahkan katanya dari para arwah nenek moyang. Akhirnya, kepulangan ke tanah kelahiran, tidak semata-mata menunaikan tradisi mudik, melainkan rindu mendalam pada sang ibu.
Lantas, bagaimana dengan puisi Muhammad Hussein Heikal dengan puisi berjudul Selebrasi Pemusnahan yang dipersembahkan kepada sang Ibu? Maka, genapilan pertanyaan tersebut jika muncul dalam benak kita masing-masing. Tentunya dengan beberapa puisi lainnya pilihan Nusantaranews.co edisi Lebaran 1437 Hijriah.
Selebrasi Pemusnahan
–––kenangan untuk Ibu
[i]
Yang menari di atas kematianku
Pecahan kaca dan derit pintu surga
Ketika ia membuka lembar-lembar
Kertas dengan nominal didompetnya
Begitu renyah dengan aroma gersang
Yang melekat pada tiap daging
Yang terbakar oleh daun-daun pinus
Kerontang menengah padang
[ii]
Yang menari diatas kematianku
Sobekan kertas yang berisi cerita
Antara ilmu imaji dan beberapa
Tusuk gigi yang menyelinap
Tanpa suara, ibarat debu dibalik perdu
Tapi ibu, aku mendengarmu
Termangu menatap waktu yang kian laju
Dari tanganmu, tangan kelabu
[iii]
Yang menari diatas kematianku
Seribu mimpi yang baru lahir
Diatas kerudung dan kopiah para
Santri yang sejati melantunkan
Zikir dan puja-bakti malam ini
Tumpukan kitab, juga koran-koran
Bekas melipat kenangan diantara
Dua sisi koin yang membelenggu
Dinding triplek rumah susun itu
Seketika mengerling temali, menyatu
Pada cerocok-cerocok nibung
Ditengah teluk tempat lanun bertemu
[iv]
Yang menari diatas kematianku
Himpitan ajal dan buku-buku
Yang serta merta hurufnya mendoakan
Aku agar tahu, paku yang telah
Ditelan akan tertanam didasar
Lubang tanpa lingkaran: gelap
Hanya pengap memberangus
Lorong-lorong kota yang menanti
Kaum-kaum seperti anatomi
Meminta izin, seraya lewat berlalu
Medan-Jakarta, 2016
(Baca juga : Imam Budiman Menjaga Nyanyian Pertiwi Bersama Tiga Puisi Lainnya)
Sajak-sajak Lapar
___: Szymborska
Batang-batang kayu terendam menahun
Mengalahkan arus, sejati tak henti menggerus
Lapuk menerpa, bagai balada orang-orang luka
Memamah akar-akar bahar dalam adukan
Besi-besi tua, dan batu-bata, dan tinta
Pungutlah itu. Nanar pada dirinya, diri
Yang selayaknya binasa, tinggal tulang
Sahaja, daging tiada melumur, dan doa
Terbata-bata lafaz nama tuhannya, kitab
Koyak disudut ruang antara remote tv
Dan kacamata seorang astrolog, selalu
Begitu, selalu tertidur dalam rasa kerontang
Membakar mimpi terbalut ilusi rendang,
Ikan pindang, ayam bakar, pizza, hamburger
Tequila, dikencani mocca carramello, atau
Tembakau eropa, tak terkira lezatnya
Menelan dia, dalam igau yang tak seberapa
Hikmahnya mencapai khidmat kaum taat
Melintas-lintas batang-batang kayu terendam
Itu bantalnya, tempat menghaturkan diri pada
Mimpi sejati hadirkan ilusi, kitab-kitab
Dan buku puisi menangis tak henti, larut
Dalam coca-cola, sprite dan fanta melega
Dalam mimpinya, dalam ilusinya, tak henti
Deli, 2016
(Baca juga: Puisi Bresman Marpaung – Medan : Ritus Ayam, Harimonting Dan Asal Usul Volksraad Nusantara)
Metamorfosa Kantuk
Anak-anak yang bangun tengah malam
Selalu gelisah, berjalan kesana kemari
Mata tetap tertutup, ruh masih terkatup
Bukan mimpi seribu simfoni mengalir
Ke telinga-telinga kaum pengungsi
Dalam tenda-tenda berwarna letih
Sedang kita, sibuk memetakan semesta
Ada mozaik yang tak dapat di baca
Lekas pula akan sirna, entah berapa
Warna terlukis bagi anak-anak
Yang bangun di tengah malam itu
Mengutuk dingin yang menggelatuk
Tak mendongeng tentang kisah
Tuan puteri yang jatuh cinta pada
Penyair istana pelangi cerahnya
Mengeramkan mimpi-mimpi
Pada dahan ilusi dan imajinasi
Anak-anak yang bangun tengah malam
Akan selamanya mengutuk >
kantuk
2015-2016
*Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Selain menulis puisi, juga menulis esai, cerpen, resensi, opini di Analisa, Waspada, Medan Bisnis, Minggu Pagi, Riau Pos, Sumut Pos, Suara Karya, Haluan, Tribun Bali, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Horison/Kakilangit, Flores Sastra, dll. Juga dalam antologi bersama seperti Merindu Tunjuk Ajar Melayu (Esai Pilihan Riau Pos, 2015), Perayaan Cinta (Puisi Bilingual Poetry Prairie, 2016), Ketika Tubuhmu Mawar (Puisi Terbaik Sabana Pustaka, 2016).
Edisi sebelumnya:
Cerpen “Perempuan dan Beringin” karya Royyan Julian
Cerpen “Yance Anak Skouw Memetik Cahaya” karya Ratih Amalia Lestari
Kolom “Jejak Kepenyairan Muhammad Ali Sang Petinju Dalam Puisi”
Kolom “Kennedy: Jika Politik Kotor, Puisi Akan Membersihkannya”
Kolom “Puisi Dijinjing Penyairnya Masing-Masing”