NUSANTARANEWS.CO – Ritus Ayam, Harimonting Dan Asal Usul Volksraad Nusantara. Media tanpa sastra adalah barbar. Demikian sebuah bahasa keras yang muncul dari kalangan pemerhati sastra. Media sebagai wadah dan sumber segala informasi berkehidupan, tidak boleh tidak, sebaiknya membuka sepetak space untuk sastra. Dulu, di zaman raja-raja, sastra hidup di istana, di pasar-pasar, dan di perkampungan. Kini, di zaman gadget, sastra dibaca sebahagian orang saja.
Untuk kali pertama, kami dari redaksi nusantaranews.co menayangkan puisi berjudul Ritus Ayam dan puisi-puisi lainnya karya penyair Bresman Marpaung. Ritus Ayam, seperti yang disebut sang penyair merupakan suatu upacara dalam agama tradisional Batak (Parmalim) yaitu upacara meramalkan kejadian dalam suatu musim. Tatacara ini dilakukan oleh Pemimpin ritual dengan membelah dada ayam lalu memaknai musim dari bagian jeroan ayam.
Puisi-puisi Bresman Marpaung*
Ritus Ayam
umurmu merasa berkarat menggempur kehendak waktu
sedang aku menandai tapak putus-putus
di bekas jembatan nasib, jekak menipis ke pucuk
segala bentuk kau baca, lupa kepalamu tinggal labirin
kepompong dianginkan pikiran sia-sia
dinding keyakinanmu rapuh diguntur siasat.
Jejak mulai oleng menahan penat bertahun
keberanian jantungmu sangsi berguru bunyi-bunyi
mengerat kerak lusuh nasib yang melekat peluh segemar kesah
padahal pada wajahmu akan kupajang
pengakuan bersih sedatar kaca
menghampar maumu sampai dipercaya
ingatan jangan lagi hanya memikirkan
cermin pintar menggandakan bayangan
membuat sembabmu yang sedih terlihat mengada-ada
seperti tawamu mengitari garis tangis
persis licik karat-karat yang melepuhkan
membangun tabiat sekuning hina
baiklah jangan kau percayakan mata dan perasaan
mari kita pergi menapaki cara moyangku
memaknai perjalanan musim dari tubuh ayam
kiat temurun mengungkit mutu waktu
mengungkap nasib karam terbenam dalam
mari seperti aku meyingkap waktu
menyisir terang dan gelap umur
bertubuh tampak sepanjang 17.167 ruas
mari kutunjuk letak umurmu berkalut hitam
kuning jiwa terancam, buram keluh berdahak
jejakmu terhunjam pada masa terjebak
kutunjuk dari sesobek perut ayam ini
terbaca ruas demi ruas bulir panenmu
hanya dengan memaknai usus terburai
lorong nafsumu tertebak menimbun dusta
gagal mengakali tanda-tanda
jangan tanya ke hatimu kerap limbung
biarkan kandung usia terurai di belahan dada ayam sesaji
seberapa timbul kelak merambatkan najis nafsumu
atau untungmu sejelas kapan terantuk batu-batu
upaya panjang batas-batas kesabaran terlihat dicerna
kuterka pada bentang 17.167 ruas umurku diagak
pasti tak jauh dari rongga kepastian itu
tak serumit caramu menghitung buah pikiran
lebih terukur jarakku setahun melaju
sebelum almanak yang kau susun-susun menunjukkan rupa
kutandai tanggal-tanggal hitam musim bermuram
tanggal-tanggal merah menyerahkan amarah
tengoklah, terpajang jadwal senyummu
persis selagak moyangku memilih musim tiba
hanya dengan sesobek dada ayam
kutandai musim tepat membuhul tunas
Medan, 2016
Asal-Usul Volksraad Nusantara
mereka dan kami bermula dari kelakar ganjil masa lapar
tentang moyang pandai berguru sejarah musang bergelut serigala
berguru dua kepura-puraan tak mungkin kawin di tegak bulu-bulu amarah
tapi sungguh di dua jajaran bulu ganjil moyang dapat beranak langkah
berburu tuai, setali dua kawanan mencampur berahi di waktu genting amarah dan darah
jadilah permulaan sejarah mereka dan kami bertubuh telanjang penjarah
yakin menyampan maksud segarang matahari menggoyang berahi
cara sederhana tak bertara bagi kawanan sekasta memancak gelagat
dan terang-terangan mencomot-comot satu-satu mangsa
takdir kami lalu beradaptasi di wangsa bumi
dalih bulu-bulu sekujur mengutuk pamali
karena telanjang adalah aib di adab menjadi
kami lucuti baju-baju pelayan dan pengawal berbudi
melatih santun mengantang sepi musim keji
cara sederhana sebagai kawanan menukar-nukar stupa berahi
dari semoyang silsilah berahi
semoga kami bekal mufakat mengerat mangsa liat
mengarak cerdik tak menguak resesif tabiat
pada takdir ayam-ayam bersiasat sediam batu
kukupas daging mangsaterjerat bertampuk tulang putih
tak mampu-mampu membaca seratus gelagat lampau
kala dihirupnya ajal seyakin pasrah mati suci
membiarkan maut tertipu mimpi-mimpi
berpikir upah kokok menggoda lahir waktu
kami dan mereka kawanan satu genetika
pejuang abadi menempa selera pemangsa
Harimonting Leluhur Ibu
biji itu tak terhitung di nirwana
hingga bercita-cita jadi pengembara
bermula dari satu waktu gaduh Eden
menyusup ke kantung zakar, lalu setia ke moyang ibu
waktu mula jadi nabolon mengutus leluhur
bakal gembala mula-mula
di puing bukit datu
di satu abad rintih lambung leluhur
teramat deras mengucur darah menahan debu
tapi belum separuh bebal bukit digerus
berkunyah batu-batu racikan cikal padang lalang
perihnya meninggikan putus asa senada demi senada
(saat itu rumput hanya takhyul di celah kalbu
dan moyang ibu belum tahu rupa kerbau)
biji penyusup merangkak dari erangan pilu
ke kaki gembala bersimpuh sedu
“tanamlah aku pada debu bermerah darahmu
sebab lancung memboncengmu dari nirwana.
hanya dengan mati aku melepas salah
dan rohku akan dibebaskan meminta wujud
menolongmu yang teramat payah melebur padang batu
hingga debata tak sia-sia percaya tuahmu kerbau”
sekelebat takjub tak sempat mengumpat tanya
tangan moyang ibu memangkur debu galian kubur
bagi biji nirwana. mengharap ajaib lumrah di zaman batu
mula pertama jasad sebiji pecah dari bengkak
hanya menghirup darah tumpah pada debu
tumbuh ruhnya setengah tinggi keluh
“makanlah buahku dalam gumpal darah ungu
bermuasal dari darah lambungmu kuminum
maka darahku pulang menjadi tubuhmu
mengatup luka perih di pecah lambungmu
bersama kita mamah hamparan batu sampai debu
sebelum debata menghampiri pintu surga
memacu iringan 100 kerbau memburu lembah padang”
ibuku, silsilah keempat belas dari moyangnya
menetas di bukit datu tak pernah purna menjadi debu
semasa gembala kecil tak harus ia memamah
sisa puing batu sehalus debu
tapi mendapat lambung perih sebagai keluh turunan
dikatup bersama kawanan gembala
dengan memamah seranting harimonting
kuatlah menghalau seratus kerbau
menuju dua jarak padang lalang
bakal bekal turun temurun tetua menuju nirwana
Medan, 4 Juni 2015
Keterangan:
Harimonting (rhodomyrtus tomentosa) di sebagian daerah disebut karamunting (banjar), harendong sabrang (sunda) sejenis perdu kulit buah kehijauan isi buah ungu yang biasa dimakan gembala di tanah batak menghalau lapar disela-sela angon kerbau hingga bibir dan gigi ikut berwarna ungu.
Mula jadi nabolon adalah panggilan kepada Sang Pencipta dalam kepercayaan animisme batak
Kerbau adalah hewan multi fungsi dalam budayak batak. Selain sumber protein susu dan daging kerbau adalah penolong utama saat membajak sawah. Dalam ritual pesta kawin dan kematian seseorang berusia lanjut, kerbau merupakan kasta tertinggi hewan yang dipotong setelah babi dan lembu. Hanya orang tua yang meninggal dalam kondisi semua anak laki-laki dan perempuannya telah menikah dan menghasilkan keturunan, kerbau dapat dipotong pada ritual adat baik sebagai santapan maupun sebagai jambar juhut (hak perolehan handai taulan dalam bentuk daging). Sebelum disembelih ada ritual khusus bagi kerbau yang disebut mangalahat horbo
Debata dalam mitologi Batak adalah nama Sang Pencipta
*Bresman Marpaung lahir di Pematang Siantar, 15 April 1968. Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tahun 1992. Menggeluti dunia sastra sejak tahun 1984. Ia dinobatkan oleh Radio Mercuclan Martapura Kalimantan Selatan (Bahana Nirmala – sekarang) sebagai 15 Penyair Terbaik sepanjang Tahun 1988. Puisi, cerpen, esai dan artikel tersiar di berbagai media massa baik lokal maupun nasional seperti Tempo, Kompas, Analisa Medan, Medan Bisnis, Banjarmasin Post, Tabloid Lintas Gayo, Jurnal Sastra Santarang, Serambi Indonesia, Rakyat Sumbar, Suara Karya, Sumut Pos, Pikiran Rakyat, dll. Juga dalam berbagai bunga rampai yakni Dari Negeri Poci 6, Palagan Ssastra (Dapur Sastra Jakarta), dan Di Bawah Payung Hitam (Yogyakarta). Kini aktif di Komunitas Omong-Omong Sastra Medan.