Puisi

Imam Budiman Menjaga Nyanyian Pertiwi Bersama Tiga Puisi Lainnya

NUSANTARANEWS.CO – Imam Budiman Menjaga Nyanyian Pertiwi Bersama Tiga Puisi Lainnya. Cara terbaik mengenang rumah, kampung halaman bagi penyair Imam Budiman, tak lain dan tak bukan dengan puisi yang yang dicipta-digelutinya. Barangkali, hal serupa juga dilakukan oleh setiap penyair yang penah hidup-berkarya baik di tanah air maupun di seluruh planet bumi.

Ibu pertiwi sebagai tempat tumpah darahnya, menjadi tujuan dari puisi-puisi yang digubahnya. Kendati ia hanya sekadar menggunakan bahasa “menjaga nyanyian pertiwi”. Berikut beberapa puisi Imam Budiman yang dapat Anda simak dengan kekhidmatan berpuasa sembari menunggu detik-detik datangnya hari kemenangan. Baik juga dibaca bagi sesiapa yang sedang melakukan perjalanan menuju kampung halaman, atau bagi siapapun yang bertahan di kota rantau demi sebuah tugas yang tak dapat ditinggalkan.

Menjaga Nyanyian Pertiwi

tubuh batu bara meninggalkan danau mati di tubir gunung rengganis
dan anak-anak terjatuh; mati lemas ditusuk lesatan cuka belerang
jejak-jejak lubang timah terkepung di antara reruntuh hutan sekaca
maka pertiwi bagian timur tak usangnya permukaan bulan bernanah
pucat tanah ladang tercemari bau sengak kabut asap ujung batasan
tiada pandangku terucap di waktu pagi kepada si galuh nilam sari

: pun terumbu laut yang tak usai-usainya ditelanjangi
oleh cengkeram pukat mesiu milik nahkoda serakah

dan kini tiba masanya di mana kita tak sekadar bertungku raut hujan
saling menuding, kepada siapa keharusan menjaga alam disabdakan
pun kepada siapa melestarikan rerampai bunga silam dinyanyikan
sebab bestari Tuhan telah mencecapkan pada diri-diri kita
tempat lahir cuaca dan kembali musim yang nyaman

Ciputat, 2015

(Baca juga: Puisi Bresman Marpaung – Medan : Ritus Ayam, Harimonting Dan Asal Usul Volksraad Nusantara)

Mengenang Rumah

di suatu pagi berselimut gerimis haru
terlintas olehku ingatan tentang rumah
rumah berpondasi kayu; pondasi kenangan
di bawahnya berkumpul rupa genangan air
tempat haruan, sapat, papuyu saling berkawan
tempat anak-anak berudu bermain perahu
menernak masa kecil dengan umpan
meski kini telah digerus tanah kuninghutan

aku ingin memancing
mengumpani nama abah-uma
untuk serumah bersama

2015

(Cerpen minggu ini: “Bakul Tape Ketela” Karya Seto Permada – Purwerejo)

Kitab Bohemian

batang tubuhku terbit dari himpun-silih keraguan
hamba-hamba yang terlempar, terbakar, tersingkir
semesta mencemari pahit, tanpa mengenal arah
: hidup –sebenarnya
adalah kekacauan yang teratur

nyaris kematian bercerita dengan amat terbuka
tentang rahasia yang dianutnya sedemikan lama
hidup bermula setitik sulbi menyuguhi puisi
dari celah ruas-ruas waktu ke sinaran semedi

tiada sukar diperkenalkan pada dedaun suluh
tumbuh tengah gulita dan gugur padang petang
lelaki tak laik bergumul seraut maut, sedendam teluh

: hanya perempuan patut berhati lumpuh

Ciputat, 2015

(Esai Seni Rupa: “Sapi dan Sapirin” karya pekerja teater dan penyair Shohifur Ridho Ilahi)

Musim Paceklik

barangkali hujan sudah tiada lahir
dari matamata tetuah hujan
tak lagi menerima
tak lagi menumbuhkan
ladang air mata, sesungai arus cahaya

barangkali hujan sudah menjadi pinak api
jelma binasa serupa budak pembakti
: serupa rintik lebih mencabik-cabik

barangkali hujan
tetap hujan
tengadah
doa

2015

Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Puisi-puisinya dimuat di media lokal/nasional. Kini aktif di Komunitas Kajian Sastra Rusabesi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Buku puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu Warna (2014) dan Kampung Halaman (2016).

Edisi sebelumnya:

Cerpen “Perempuan dan Beringin” karya Royyan Julian
Cerpen “Yance Anak Skouw Memetik Cahaya” karya Ratih Amalia Lestari
Kolom “Jejak Kepenyairan Muhammad Ali Sang Petinju Dalam Puisi”
Kolom “Kennedy: Jika Politik Kotor, Puisi Akan Membersihkannya”
Kolom “Puisi Dijinjing Penyairnya Masing-Masing”

Related Posts

1 of 143