Cerpen

Wanita Pembungkus Hujan

NUSANTARANEWS.CO – Wanita Pembungkus Hujan. Hajar membungkus hujan dengan wadah yang tak lagi jelas warnanya. Beberapa saat kemudian, ia tumpahkan isinya ke dalam baskom. Pekerjaannya belum selesai, gegas ia menyiapkan kuas. Melukis pelangi.

***
Hajar harus berterima kasih pada Lindu, lelaki yang menikahinya tiga tahun silam. Suaminya itulah yang mengajarkannya seni membungkus hujan.

Hujan pertama dalam rumah tangganya berasal dari pinggir terminal. Suaminya itu memang pemanggil hujan yang handal. Dengan gitar yang catnya sudah terkelupas, Lindu lebih sering memanggil hujan daripada memanggil orang-orang untuk merogoh kepingan logam dalam dompet. Meskipun wajah dan suara Lindu tak kalah dengan Ariel Noah, tapi nampaknya orang-orang lebih memilih kepingan logam tadi dimasukkan ke kotak yang berada di bangunan berkubah, ‘Kepingan lima ratus akan diganti lima puluh ribu.’

(Baca juga: Cerpen “Perempuan dan Beringin” karya Royyan Julian)

Di kota metropolitan ini, bukan hanya Lindu yang mencari kepingan logam. Emak-emak yang menggendong bayi di jalan-jalan juga ikut bersaing dalam hal perolehan benda bulat yang berfungsi sebagai alat tukar barang. Bocah-bocah dengan ingus dan wajah penuh tonjolan tulang pun tak jarang menambah sesak jalanan. Wajar, sangat wajar ketika penumpang bus menjadi muak dan apatis. Nurani telah lama tertimbun longsor prasangka, ‘Sampah ibu kota.’ Begitu julukan yang disematkan pada kami.

Kehidupan yang seperti ini, membuat Hajar selalu sigap menyiapkan wadah pembungkus hujan. wadah itu sudah berulang kali robek, tapi perempuan berwajah tirus itu selalu berhasil menjahitnya.

Tangannya terampil menjahit wadah pembungkus hujan. Tidak hanya sampai di situ, setelah hujan ia pindahkan ke baskom, ia akan melukis pelangi. Tapi pelangi Hajar hanya tiga warna. Merah, biru, dan nila.

Lelakinya sangat suka dengan warna merah. Kehidupan terminal melukiskan warna itu pada perangainya. Atau mungkin sebenarnya karena tak ada pilihan itulah kemudian Lindu mengambil warna merah untuk tameng kehidupan kesehariannya. Dan karena warna merah inilah, mengapa dulu Hajar jatuh cinta pada Lindu. Lelaki terminal yang tak akan ciut dengan satpol PP atau preman.

Sedang biru dan nila itulah Hajar. Bahkan benang yang ia gunakan untuk menjahit wadah pembungkus hujannya adalah benang biru dan nila. Tak peduli sudah seusang apa pun wadah itu, warna biru dan nila akan mampu meraketkan kembali wadah itu. Utuh meskipun tak semulus awalnya. Tentu ada goresan jarum dan tarikan benang di antara sobekan itu, tapi jelas itu lebih baik dari pada dibiarkan melompong dan tak mampu lagi membungkus hujan.

(Baca juga: Cerpen “Yance Anak Skouw Memetik Cahaya” karya Ratih Amalia Lestari)

Belum lama ini, wadah pembungkus hujannya robek oleh petir. Tak seperti hujan-hujan sebelumnya, hujan saat itu sangat deras. Perempuan istri Lindu itu telah mengenal bermacam hujan selama tiga tahun ini. Tapi memang hujan kali ini berbeda. Selain debit airnya yang tak henti turun, tiupan angin pun menambah sulit baginya untuk memasukkan hujan dalam wadah yang telah ia siapkan. Selalu begini di bulan saat orang beramai-ramai memadati terminal, mudik.

Dengan sepenuh perjuangan. Pergulatan yang tidak main-main, akhirnya hujan hampir semuanya terbungkus. Saat itulah, tiba-tiba petir merobek wadah yang telah compang penuh tambalan.

“Enyah Kau! Tak ada guna kau bungkus hujan di sini!” hardik petir kasar.

“Pembungkus hujanmu itu tak mampu bertahan! Akan kusobek dengan jeruji besi!”

Hajar syok. Wajahnya bagai mayat. Benar saja, wadah pembungkus hujannya sobek. Bercerai ke segala arah menurut ke mana angin membawa.

Tak ada yang tersisa baginya kecuali ikut basah bersama hujan yang gagal dibungkus. Tangannya tak mampu lagi menggapai pembungkus hujannya. Lenyap. Dingin. Waktu serasa sebuah lorong gelap. Bernapas pun rasanya tak bisa.

Sementara di seberang jalan, samar ia melihat Lindu dibopong lelaki loreng. Dinaikkan dalam mobil tanpa sepatah nada pun yang sempat mampir ke telinganya.

“Mudah-mudahan hari esok, ada logam yang bisa kau gunakan untuk membeli ketupat.” Kata-kata Lindu malam tadi seperti mantra. Terngiang tak mau pergi.

“Kupat dan opor buat lebaran.” Lanjut mantra itu.

“Bukankah telah terbiasa, takbir yang berkumandang berulang-ulang itu hanya pertanda pergantian hari? Bukan pergantian menu apalagi nasib.”

“Kupastikan besok adalah lebaran yang tak seperti tahun sebelumnya.”

***
(Cerpen Minggu sebelumnya: Bakul Tape Ketela karya Seto Permada)

Tetangga yang baik hati mengantarnya pulang ke rumah kontrakan.

‘Lihatlah dirimu, dengan badan basah dan wadah pembungkus yang raib!’ hujatnya pada ulu hati.

Tetiba ia teringat sesuatu. Wajah-wajah bengis itu membayang.

“Dasar maling!”

“Najis!”

“Sampah!”

“Hajar! Hajar! Jangan kasih ampun!”

Buk! Bak! Buk!

Tangan, kaki dan entah apalagi, sekerumunan orang yang katanya tak makan dan minum kecuali jika telah mendengar azan maghrib berkumandang mempertontonkan aksi hewan.

Remuk hatinya. Terlepas sendi-sendi yang telah berkarat. Terkulai otot dalam gigil kemarahan.

Mengapa ia enyahkan batin yang menghentak. ‘Susul! Susul!’ begitu bisik hatinya. Tapi ia masih menjahit wadah pembungkus hujan, benang birunya belum ia sematkan. Ia masih meminta benang biru itu pada lantunan syahdu suaranya. Lantunan pelan penuh harap yang ia rangkai setiap pejuang hidupnya menjejakkan kaki ke luar rumah kontrakan.

Ia menyesali kakinya yang tak mampu berlari lebih cepat. Menyesali suaranya yang tak selantang petir. Tubuh kerempengnya berulang kali terpental saat hendak merangsek maju ke sumber keramaian.

“Pencopet tertangkap masa!”

Hatinya tersengat. Tapi terlambat! (Cerpen Sri Bandiyah*)

(Puisi Minggu ini: Selebrasi Pemusnahan Sebuah Kenangan untuk Ibu, Puisi Muhammad Husein Heikal)

*Sri Bandiyah, kelahiran Pekalongan, 26 Mei 1987. Cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media online dan beberapa antologi cerpen bersama. Kini bermukim di Pituruh, Purworejo.

Related Posts

1 of 39