Ekonomi

Pengusaha Rekomendasikan Perubahan Tiga Beleid ESDM Soal Ketenagalistrikan

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Program pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) dinilai terhambat oleh sejumlah regulasi sehingga tak mampu mencapai target hingga 2019 mendatang.

“Dalam waktu dekat kita berencana bertemu dan berdialog dengan pemerintah (Kementerian Energi Sumber Daya Mineral/ESDM). Kita akan ajukan beberapa regulasi yang secara faktual di lapangan sangat mengganggu percepatan realisasi fasttrack 35 ribu MW,” kata Arthur Simatupang, ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia, Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Baca juga: Program Pembangkit Listrik 35.000 MW Paling Tidak Realistis

Dia mengatakan pihaknya akan merekomendasikan sejumlah regulasi yang layak dipangkas oleh pemrerintah.

Hingga Januari 2018, Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa realiasasi program listik 35.000 Megawatt (MW)baru mencapai 1.061 MW, atau sekitar 3% saja. Saat ini proyek pembangkit dalam program 35.000 MW yang memasuki tahap konstruksi telah sebesar 16.992 MW dan dalam tahap perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) belum konstruksi 12.726 MW. Selain itu, masih dalam tahap pengadaan ada 2.790 MW dan perencanaan sebesar 2.228 MW.

Baca Juga:  Kemiskinan Masalah Utama di Jawa Timur, Sarmuji: Cuma Khofifah-Emil Yang Bisa Atasi

Arthur mengatakan, ketiga regulasi tersebut yakni pertama, Permen (Peraturan Menteri) No.10 Tahun 2017 tentang pokok-pokok dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik (PJBL) yang kemudian diubah dengan Permen Np.49 Tahun 2017. Kedua, Permen No.48 Tahun 2017 tentang pengawasan pengusahaan sektor energi dan sumber daya mineral. Utamanya, pasal 11 ayat 1 sampai 3 terkait pengalihan saham sebelum commercial operation date. Dan Ketiga, Permen No.50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

Baca juga: Menteri ESDM Dinilai Memangkas Regulasi Ompong

Isi beberapa beleid tersebut dinilainya perlu diubah guna mendorong minat swasta dalam membantu investasi di sektor ketenagalistrikan. Prinsipnya, kata dia, perubahan ditiga beleid tersebut bertujuan agar iklim investasi swasta di ketenagalistrikan menggeliat, sehat, memunculkan persaingan, sehingga tercipta tarif listrik yang terjangkau bagi konsumen.

“Dengan ketatnya persaingan akan tercipta harga atau tarif dan layanan terbaik untuk konsumen,” ujar dia.

Payung hukum percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan termuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.4 Tahun 2016 dan kemudian disempurnakan ke dalam Perpres No 14 Tahun 2017. Kementerian ESDM kemudian berupaya menjalankan Perpres tersebut melalui sejumlah peraturan pelaksanaan. Namun, sejumlah peraturan itu dinilai perlu diperbaiki atau diubah untuk mendorong iklim investasi sebagaimana diharapkan oleh Presiden.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Fasilitasi RDP Pembudidaya dan Pemukat Rumput Laut

Baca juga: Pengusaha Listrik Pesimis Kebijakan Menteri ESDM

Ditambahkannya, rekomendasi tersebut sejalan dengan penyederhanakan 11 peraturan dan keputusan Menteri ESDM di bidang ketenagalistrikan belum lama ini. “Kita sambut baik. Ada niat baik pemerintah. Namun kita berharap agar regulasi-regulasi yang tidak pro terhadap investasi swasta nasional juga ikut diperbaiki,” ujar Arthur.

Sebelumnya Kementerian ESDM berencana menghapus 11 aturan baik itu Peraturan Menteri (Permen) maupun Keputusan Menteri (Kepmen) tentang ketenagalistrikan. Sebelumnya lagi, Ignasius Jonan menyatukan dua aturan yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Nomor 19 tahun 2016 menjadi Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017.

Namun belakangan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 ini dipersoalkan karena dinilai membuat investor dan lembaga pembiayaan tidak tertarik berinvestasi ke listrik sebab ada skema penyerahan aset ketika kontrak berakhir (build, own, operate, and transfer/BOOT).

Baca juga: Pembangkit Listrik Batubara Masih Jadi Primadona dalam Program Kementerian ESDM

Baca Juga:  Penyumbang Terbesar, DBHCHT Jawa Timur Layak Ditambah Tahun 2025

Skema ini membuat produsen listrik swasta bakal kehilangan aset sebab aset tersebut tidak akan menjadi miliknya. “Padahal, lahan untuk membangun pembangkit berasal dari perusahaan, juga tarif tidak disubsidi, harus bayar pajak, dan bunga bank tinggi, ada risiko sosial dan lingkungan yang tinggi. Tidak ada pengusaha yang minat,” kata Ketua Umum Asosiasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Riza Husni bulan Februari lalu.

Dikatakan, dengan nantinya menjadi aset PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN, pengembang kesulitan mencari sumber pembiayaan. “Harusnya Jonan mencabut Peraturan Menteri Nomor 50 tahun 2017 ini yang dia buat sendiri,” ujarnya.

Baca juga: Kebijakan Listrik Nasional Anti Klimaks

Pewarta: Gendon Wibisono
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 22