Mancanegara

Idlib Segera Menjadi Medan Pertempuran “Final” Dalam Hitungan Jam

Idlib Segera Menjadi Medan Pertempuran
Idlib segera menjadi medan pertempuran “final” dalam hitungan jam.

NUSANTARANEWS.CO – Idlib segera menjadi medan pertempuran “final” dalam hitungan jam.  Memasuki “Februari 2020”, Presiden Bashar al-Assad tidak hanya selamat dalam perang berdarah selama 9 tahun tetapi juga muncul sebagai pemenang. Kemengan Presiden bashar al-Assad masih belum sempurna karena provinsi Idlib masih dikuasai oleh kekuatan teroris dan pemberontak.

Seperti diketahui, pada 2011, Idlib dan pedesaannya telah menjadi salah satu pusat utama kekerasan di Suriah. Kelompok-kelompok bersenjata anti-pemerintah merebut kota itu untuk pertama kalinya pada tahun yang sama. Pemain kuncinya adalah anggota Ahrar al-Sham, sekutu utama Jabhat al-Nusra, yang tidak lain adalah Al-Qaeda cabang Suriah.

Sejak keruntuhan Aleppo, kelompok teroris yang didanai oleh Turki berkolaborasi menjadi National Front of Liberation (Front Pembebasan Nasional) yang bersinergi dengan Jabhat al-Nusra yang belakangan dikenal sebagai Hayat Tahrir al-Sham atau Al-Qaeda. Hayat Tahrir al-Sham adalah metamorfosis sayap militer Al-Qaeda dalam upaya menyembunyikan diri dari sorotan dunia internasional.

Pada “Februari 2012”, pasukan pemerintah Suriah berhasil memukul mundur pasukan pemberotak dan teroris dari Idlib. Namun aliansi pasukan anti-pemerintah dan teroris kembali melancarkan operasi militer berskala besar pada April 2015 – kali ini dengan dukungan persenjataan modern dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Pasukan gabungan Jabhat al-Nusra, Ahrar al-Sham, Jund al-Aqsa dan afiliasi terkait Al-Qaeda lainnya akhirnya berhasil merebut kembali Idlib setelah melakukan serangan skala penuh dari dari 3 penjuru. Sejak saat itu, Idlib mengalami transformasi menjadi pusat komando pemberontak dan teroris di regional Timur Tengah

Seiring perjalanan waktu, National Front of Liberation (NFL) tumbuh menjadi kekuatan “militer” yang signifikan bagi tulang punggung kekuatan teroris setelah mendapat akses pasokan militer tambahan secara konstan dari Turki. NFL diperkirakan memiliki 25.000 anggota. Meski begitu, Hayat Tahrir al-Sham atau Al-Qaeda sampai hari ini tetap menjadi kekuatan dominan di Idlib setelah memindahkan seluruh basis operasinya dari Allepo. Al-Qaeda juga sengaja membangun infrastrukturnya di dekat pemukiman sipil, termasuk gudang senjata dan fasilitas perawatan. Al-Qaeda dengan licik menggunakan penduduk lokal sebagai perisai manusia dari serangan udara dan artileri pasukan pemerintah Suriah.

Baca Juga:  Inggris Memasuki Perekonomian 'Mode Perang'

Kota kedua setelah Idlib yang menjadi sarang utama pemberontak dan teroris adalah Jisra al-Shughur. Kota ini, dan pedesaannya telah berubah menjadi markas Partai Islam Turkistan, kelompok teroris yang masih terkait dengan Al-Qaeda – yang sebagian besar anggotanya terdiri dari etnis Uyghur dan orang asing. Kelompok ini ingin memperjuangkan berdirinya sebuah kekhalifahan di wilayah Xinjiang Cina, dan Asia Tengah. Idlib telah menjadi pusat pelatihan tempur dan rekrutmen sumber daya mereka untuk persiapan invasi ke Cina dan Asia Tengah. Turki tampaknya tutup mata dengan masuknya teroris asing ke Idlib. Jumlah pejuang Partai Islam Turkistan dengan keluarga mereka diperkirakan antara 10.000 hingga 20.000 orang.

Terlepas dari itu, pasukan koalisi pemerintah Suriah terus merebut jengkal demi jengkal tanah airnya dari penguasaan pemberontak dan teroris. Penaklukan Saraqib Nahiyah dan perempatan jalan raya M4 dan M5 – telah memotong jalur logistik utama ke Idlib. Kini dari Saraqib, Damaskus dapat menyerang langsung posisi utama Hayat Tahrir al-Sham di Allepo barat daya. Pasukan pemerintah juga mengambil kendali atas sejumlah pemukiman, termasuk markas besar teroris di al-Eis.

Setelah berhasil mengendalikan penuh perempatan jalan raya M5, yang menghubungkan kota Hama dan Aleppo, pasukan pemerintah kini dengan leluasa dapat memindahkan pasukan dan peralatan perangnya di sepanjang garis depan secara reguler. Jelas ini merupakan keuntungan strategis untuk melakukan manuver selanjutnya untuk lebih meningkatkan tekanan pada sarang Al-Qaeda di kota Idlib – yang sekarang hanya berjarak sekitar 8 km dari pertahanan garis depan mereka. Ini adalah situasi yang belum pernah terjadi sejak 2015.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Para teroris yang berkuasa di Idlib, tidak berpikir bahwa pertahanan mereka yang kuat di garis depan begitu mudahnya diterobos oleh koalisi pasukan pemerintah Suriah. Sehingga mereka tidak repot-repot menciptakan benteng pertahanan yang kuat di Idlib. Hal inilah yang menjelaskan mengapa kecepatan serangan Tentara Suriah meningkat setelah melewati garis pertahanan utama Hayat Tahrir al-Sham dan sekutunya di Khan Shaykhun.

Kemajuan cepat pasukan koalisi Suriah memang sangat menyesakkan dada Washington dan Ankara.  Terutama Ankara yang menjadi peserta resmi format Astana dan penjamin zona aman Idlib.

Masalahnya, Ankara tidak mematuhi poin kunci dari “perjanjian Astana” yakni: tidak memisahkan “pemberontak moderat” yang didukung Turki dari teroris yang terkait dengan Al-Qaeda.

Turki yang sudah lama menganggap Idlib adalah bagian dari wilayah teritorialnya, telah menggunakan langkah militer dan diplomatik untuk mempertahankan wilayah barat laut Suriah tersebut kembali kepangkuan Damaskus. Turki telah berupaya memperkuat pengaruhnya di daerah-daerah di mana pasukan Turki hadir berdasarkan perjanjian demiliterisasi pada September 2018 – yang memungkinkan Angkatan Darat Turki membangun 12 pos pengamatan untuk memantau gencatan senjata.

Dalam perkembangan terakhir operasi militer di Idlib, pasukan koalisi Suriah telah mengepung 5 pos pengamatan Turki, dan bahkan beberapa kali menembaki. Hal inilah yang menyebabkan mengapa militer Turki terus meningkatkan kehadiran di Idlib hingga 3 batalion tempur bersenjata berat.

Baca Juga:  Rusia Menyambut Kesuksesan Luar Angkasa India yang Luar Biasa

Pada 5 Februari, Presiden Erdogan telah mengultimatum Presiden Assad. Suriah dengan mengatakan: “Suriah harus menghentikan operasi militer terhadap kelompok-kelompok pemberontak dan teroris di Idlib dan menarik pasukan dari pos-pos pengamatan Turki serta meninggalkan daerah yang telah dibebaskan dari teroris dalam beberapa bulan terakhir.” Presiden Erdogan juga memberi waktu kepada pemerintah Suriah hingga akhir Februari. Jika Suriah menolak, Presiden Erdogan bersumpah akan melancarkan aksi militer skala penuh terhadap tentara Suriah.

Ini bukan ancaman pertama oleh pemerintah Turki. Meskipun begitu, kali ini situasinya berbeda – namun tetap tergantung pada hubungan antara Turki, AS, Israel dan Rusia. Selain itu, Turki tidak mungkin berperang dengan Suriah, karena Ankara memang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan perang skala penuh dengan Suriah.

Skema paling mungkin adalah operasi militer besar oleh Angkatan Bersenjata Turki. Langkah ini jelas jauh lebih besar daripada Operasi Eufrat Shield, Olive Branch dan Peace Spring. Jika operasi militer ini dijalankan, ekonomi Turki bisa rusak dan melemahkan posisi Turki di kawasan. Oleh karena itu, yang paling masuk akal adalah tindakan militer seperti yang sudah-sudah yang dikombinasikan dengan pengerahan pasukan proksi. Dengan catatan, pasukan Hayat Tahrir al-Sham atau Al-Qaeda masih dapat mempertahankan Idlib.

Situasi mutakhir, tampaknya para pemberontak dan teroris tidak mampu menahan terjangan dahsyat Angkatan Darat Suriah yang menembus garis perimeter pertahanan mereka. Bila melihat kecepatan gerak maju pasukan koalisi pemerintah Suriah menembus garis depan pertahanan Idlib, tampaknya keruntuhan Idlib tinggal menghitung hari saja. (Agus Setiawan).

Related Posts

1 of 3,064
  • slot raffi ahmad
  • slot gacor 4d
  • sbobet88
  • robopragma
  • slot gacor malam ini
  • slot thailand