Fenomena di Balik Fakta Pilpres 2019
Oleh: M.D. La Ode, Penulis adalah Ahli Politik Etnisitas dan Direktur Executive CISS
Fakta ialah ‘apa adanya dia’. Kontekstual ini ditampilkan dua indikator yakni pertama, hasil QC KPU pilpres 17 April 2019 Jokowi-Ma’ruf unggul 56,28%-43,72% atas Prabowo-Sandi (running teks TV Kompas Malam pukul 21.05 tanggal 12 Mei 2019). Namun Prabowo-Sandi declare unggul 62%-38% (berdasarkan data C1 yang dimilikinya) atas Jokowi-Ma’ruf. Kedua, petugas KPPS korban meninggal 469 orang (Detikom, 10 Mei 2019, 19:25 WIB) dan 3.788 orang sakit (CNN Indonesia 7 Mei 2019, 09:29 WIB). Ani Hasibuan menyebutkan KPPS gugur sudah 573 orang per 12 Mei 2019 akibat terserang senyawa kimia.
Secara umum fenomena dalam bahasa Indonesia sinonim dengan gejala sosial. Menurut Prof Soerjono Soekanto (1998) gejala sosial adalah masalah yang berupa ketidaksesuaian antara masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang membahayakan suatu kehidupan kelompok sosial dalam suatu negara. Secara spesifik dalam NKRI kini sedang berlangsung tertuju persis pada basis kekuatan politik etnisitas yang dibangun melalui kelompok-kelompok etnis dan perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang menjadi concentrate value Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.
Baca juga: Kecurangan Pilpres dan Resolusinya
Setelah mengetahuai rujukan fakta dan fenomena sosial, giliran berikutnya ditunjukkan beberapa fenomena sosial yang berbahaya di balik fakta sebagai berikut ini.
Pertama, Kudeta Pilpres
Selama 4 tahun terakhir Jokowi hand in hand dengan ECI dan Cina Komunis pimpinan Xi Jinping. Jokowi tak peduli lagi dengan pribumi (pemegang kedaulatan NKRI) dan umat Islam yang berjumlah 87,2% (2010) yang mendukungnya 2014 juga sekarang. Budaya politik Socialist-Communist adalah kudeta karena tidak sabar menunggu periodesasi kekuasaan 5 tahunan lebih atau kurang. Komando kudeta Socialist-Communist di Indonesia adalah ECI dan Cina Komunis. Saat itu Mao Tse Tung. Sekarang kudeta pilpres diduga keras dimotori oleh Xi Jinping dengan media Jokowi sebagai boneka bodohnya. Dalam Socialist-Communist, ‘orang bodoh sangat berguna’ untuk mencapai tujuan Komunis. Kudeta pilpres dilakukan untuk menghindari kudeta kekuasaan yang berisiko konflik berdarah dan Cina Komunis pernah gagal Kudeta 1965 di Indonesia.
Baca juga: Mewaspadai Proyek Jalur Sutra Maritim
Kedua, Pembunuhan Massal
Pembunuhan massal anggota KPPS kini telah mencapai 573 orang dan 3.788 orang sakit. Jadi jumlah itu masih mungkin terus bertambah. Diperkirakan korban itu mengetahui rahasia kecurangan pilpres dalam rangka mencapai tujuan kudeta pilpres yang semula pemenangnya Prabowo-Sandi kemudian dikudeta menjadi Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenangnya. Pada fenomena ini Ani Hasibuan sangat relevan. Tampaknya dilakukan menggunakan teori trade craft dengan target maksimal manipulasi surat suara C1. Struktur kerjanya elite—yang berkepentingan—pimpinan—tangan di lapangan—pelaku terhadap target (C1) untuk dasar kudeta pilpres. Karena pelaku eksekusi target sebagai saksi kunci di persidangan pengadilan, maka pilihan terhadap dia ada dua yakni dilepas hidup atau dilepas mati. Dalam teori trade craft yang resikonya tak pernah nol, biasanya ia dilakukan lepas mati.
Teknik membunuhnya bermacam macam. Satu di antara fenomenanya yang terjadi di pilpres ini, mereka dibunuh massal menggunakan senyawa kimia. Jika ini benar adanya, tampaknya Jokowi dan Xi Jinping mengetahui rencana ini. Indikasinya Jokowi belum mengistruksikan polisi untuk melakukan otopsi semua jenazah korban.
Baca juga: Mencermati Jalur Sutera Maritim Abad 21
Ketiga, Memperalat Aparatus Kamnas
Kudeta pilpres risikonya ditolak oleh lawan politiknya dengan menggunakan demo massal. Untuk ini menurut teori trade craft sudah tersedia instrumen penangkalnya yakni pihak lawan politik dituduh melawan negara dan oleh karena itu wajib ditumpas dengan menggunakan aparatus Kamnas (TNI, Intelijen, Polri).
Berhubung hasil kudeta pilpres disahkan KPU, Bawaslu, lawan politik dipaksa tanda tangan, dan akan dimenangkan pula di tingkat MK. Teori trade craft masih berhasil karena masih logis. Apa lagi partai politik pendukung Jokowi juga kuat dan banyak yaitu PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, Perindo dan PSI. Jadi suprastruktur politik dan instruktur politik sangat mendukung.
Keempat, Ekspansionisme Cina
Expansionist Cina Komunis (Communist Chinese Expansionist) sekarang sedang bekerja keras untuk menguasai Asean dan Afrika. Strateginya Nine Dush Line dan One Belt One Road (OBOR). Di Asean melalui Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia untuk sementara ini masih bisa disebut upaya Communist Chinese Expansionist terhambat karena Najib boneka bodohnya sudah ditangkap Pemerintahan Mahathir Muhammad dengan tuduhan korupsi dan tuduhan terlibat pembunuhan model cantik asal Mongolia Altantuya Zaaribuu.
Baca juga: Diduga Ada Skenario Rusuh di Pilpres 2019 Lewat Isu Anti Cina
Jenazahnya diledakkan karena ia diduga sebagai saksi kunci korupsi yang melibatkan Najib. Di Indonesia Communist Chinese Expansionist melibatkan ECI dan oknum-oknum elite politik nasional untuk merebut kekuasaan melalui saluran demokrasi dalam tempo 5 x lima tahun (2019-2029). Indikatornya warga ECI jadi wapres atau jadi presiden. Saat itu Indonesia resmi dijajah ECI dan Cina Komunis.
Jadi, kudeta pilpres saat ini sangat signifikan makna politisnya bagi strategi Communist Chinese Expansionist. Semua misi strategis Cina Komunis ini dilakukan oleh Ministry State Security (MSS) dan Military Intellijence Departement (MID). Sepadan dengan BIN dan Bais di Indonesia.
Mari kita kembali rujuk fakta di atas. Mengapa isu-isu SARA, rasis, diskriminasi, radikalisme, intoleran, HAM, demokrasi, Bhinneka Tunggal Ika selalu digaungkan oleh ECI? Tidak lain karena ECI sadar tidak memiliki hak kekuasaan atas NKRI.
Baca juga: Ancaman Non-Militer Datang dari Tenaga Kerja Asing
Berhubung ECI bukan bangsa Indonesia. ECI adalah keturunan imigran Cina Komunis di Indonesia. Meskipun ECI telah hidup turun-temurun ratusan tahun di Nusantara tetapi masih totok, tetap tidak bisa disebut pribumi. Apalagi ECI memang tidak mau disebut pribumi karena istilah ini merendahkan dan terhina. Ini bukti ECI bukan bangsa Indonesia. Indikatornya adalah budaya dasar pribumi dengan budaya dasar ECI bertolak belakang. Contoh bahasa Tio Ciu makan= Cia; nasi= pheng; makan nasi= Cia pheng. Bahasa Khek makan= Sit; nasi= fan; makan nasi= Sit Fan.
Agar ECI mendapatkan kekuasaan politik atas NKRI maka semua isu-isu strategis di atas santer digaungkan. Berbetulan sangat banyak pejabat di negeri ini yang mau menjadi boneka bodoh ECI dan Cina Komunis. Jadi jelas sekali ECI bukan bagian dari Bhinneka Tunggal Ika dan Pancsila.
Inilah fenomena bahaya budaya dalam sosiologis Prof Soerjono Soekanto. Oleh karenanya, fenomena di balik fakta itu menjadi sangat lumrah dilakukan ECI dan Cina Komunis. Sekali lagi, fenomena sosilogis Prof Soerjono Soekanto terbukti. Itulah sedikit ulasan fenomena di balik fakta!