NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan catatan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Terorisme. Catatan Komnas HAM tersebut bertajuk pentingnya akses dan jaminan standar minimum hak korban membangun akuntabilitas HAM.
“Catatan ini merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari sikap dan pandangan Komnas HAM dalam berbagai kesempatan sebelumnya,” ujar Komnas HAM dalam sebuah pernyataan tertulis, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
“Catatan ini bisa jadi merupakan final proses jika melihat dinamika percepatan pembahasan, namun demikian kami berharap tetap ada perbaikan pada pasal-pasal pokok yang berhubungan erat dengan hak asasi manusia,” tambahnya.
Berikut beberapa catatan Komnas HAM terkait RUU Tindak Pidana Terorisme tersebut.
Pertama, hak korban telah diatur cukup baik, bahkan berlaku surut (ketentuan peralihan). Namun demikian masih ada catatan terkait ketidakonsistenannya ‘kemudahan akses dan prosedur’ yang diberikan. Ini terkait kompensasi yang diatur dalam pasal 36.
“Kompensasi harusnya cukup dengan penetapan pengadilan, bukan dengan keputusan pengadilan karena sifat dan karakter dari tindak pidana terorisme itu sendiri yang memungkinkan pelaku bebas atau meningal dunia. Dalam pasal 36 sebenarnya juga telah disadari karakter tersebut, namun masih diutamakan dalam keputusan pengadilan,” katanya.
Baca juga: Kelompok Teroris, The Assassins dan Revisi UU Terorisme
Komnas HAM menyarankan kompensasi bagi korban cukup dengan penetapan pengadilan.
“Di samping terkait penetapan tersebut perlu segera dirumuskan standar minimum hak korban, khususnya terkait item-item kompensasi yang harus diterima oleh korban,” katanya.
Kedua, definisi yang digunakan dalam draft 14 Mei telah menghilangkan beberapa kata yang penting antara lain motif dan politik. “Hilangnya kata motif sangat baik bago penegakkan hukum, mempermudah pemenuhan unsur tindak pidana dan lebih jauh lagi memudahkan proses akuntabilitas,” katanya.
Komnas HAM menambahkan di beberapa kasus ‘motif’ ini menjadikan penegakkan hukum melebar ke berbagai masalah lain dan berpotensi melanggar HAM. “Kata politik dihapus juga merupakan proses yang baik karena mencegah penyalahgunaan kewenangan guna kepentingan politik,” katanya.
Ketiga, soal penangkapan. Komnas HAM menilai, untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia pasal terkait penangkapan perlu memperhatikan beberapa hal. “Pertama merevisi lamanya waktu, walau dalam draft sudah ada pengurangan waktu namun masih dirasa terlalu lama karena penangkapan ini telah dilakukan dengan bukti permulaan yang cukup. Artinya, konstruksi tindak pidana yang dilakukan telah ada dan terumuskan,” urainya. Kedua, harus jelas status selama penangkapan itu. Sebab, tidak ada penjelasan apapun dalam RUU tersebut apakah sebagai tahanan atau orang yang ditangkap atau dirampas kemerdekaan fisiknya selama sekian waktu.
“Ini penting untuk akuntabilitas dan menghindari pelanggaran HAM. Memang dalam pasla ini telah dinyatakan dilakukan sesuai prinsip HAM dan akan mendapat sanksi jika melanggar. Alangkah lebih baik jika apa yang disebut sebagai prinsip HAM ditulis secara kongkret,” katanya.
Catatan keempat soal penyadapan. Mereka menilai penyadapan yang termasuktub dalam pasal 31 dan 31a menjadi problem mendasar karena jauh dari kerangka penegakkan hukum yang dilakukan oleh penyidik, karakternya masih dalam kerja-kerja intelijen. Menurut Komnas HAM, kerangka kerja penyidik adalah menemukan dan memperkuat barang bukti yang telah dan jika diperlukan sifat tindak pidananya bersama-sama mengkonstruksikan pelaku lainnya.
“Kerangka kerja ini dalam konteks pidana memiliki prinsip, waktu yang terbatas, sifat cepat diadili dan efektif. Ini bertentangan dengan lamanya waktu penyadapan oleh penyidik sampai dua tahun,” katanya.
Kelima, soal pelibatan TNI. Komnas HAM ingin RUU ini diletakkan sebagai penegakkan hukum sehingga yang dapat menjalankan penegakkan hukukum hanya penegak hukum itu sendiri. “Oleh karenannya pengaturan TNI dalam RUU Tindak Pidana Terorisme, yang notabene kerangkanya adalah penegakan hukum kurang tepat. Pelibatan TNI disesuaikan dengan tupoksinya yang telah diatur dalam UU TNI. Penting dalam pelibatan ini adalah pengaturan skala ancaman, obyek vital, penindakan, sifat sementara dan merupakan keputusan politik,” katanya.
Terakhir, soal pengawasan. Komnas HAM menilai adanya mekanisme pengawasan dalam RUU ini menjadi sesuatu yang baik. “Namun demikian pengawasan ini harusnya juga melibaatkan lembaga terkait,” katanya.
“Dalam RUU ini beberapa prinsip kerja dinyatakan harus sesuai dengan HAM. Oleh karenanya penting untuk menegaskan Komnas HAM masuk dalam mekanisme pengawasan yang diatur dalam pasal 43i tersebut yang bekerja secara independen dan dapat bekerja sama dengan pengawasan DPR,” kata Komnas HAM.
Komnas HAM berharap dalam waktu singkat beberapa masukan perbaikan terhadap RUU Tindak Pidana Terorisme dalam dilakukan seperti telah terjadi dalam beberapa tema atau pasal sebelumnya. (red/ed/nn)
Editor: Eriec Dieda