NUSANTARANEWS.CO, Washington – Militer Amerika Serikat mengatakan pihaknya mengindentifikasi daerah-daerah baru sebagai tempat bekerja sama dengan sekutu untuk memberikan tekanan kepada Iran dalam mendukung strategi baru Presiden Donald Trump yang menjanjikan pendekatan jauh lebih konfrontatif terhadap Teheran.
Trump menuai pertentangan setelah menentang kesepakatan nuklir Iran yang disepakati pada 2015 silam. Keputusan Gedung Putih berseberangan dengan kekuatan dunia lainnya. Dia lebih memilih untuk tidak menyatakan bahwa Teheran mematuhi kesepakatan tersebut dan memperingatkan bahwa pada akhirnya dia mampu menghentikan Iran.
Dia juga berjanji untuk berbicara dengan Iran secara lebih luas, termasuk dukungannya terhadap kelompok ekstremis di Timur Tengah.
Mayor Adrian Rankine-Galloway, juru bicara Departemen Pertahanan, mengatakan kepada Reuters, bahwa Pentagon sedang menilai posisi pasukannya dan juga merencanakan namun menawarkan beberapa rincian.
- Prancis Ingin Membangun Kembali Hubungan Dengan Iran
- Trump: Iran Bekerja Sama Dengan Korea Utara
- Memahami Keinginan AS Keluar dari Perjanjian Nuklir Iran
- Iran: AS Sumber Instabilitas Timur Tengah
- Alasan AS Memberi Sanksi Baru Terhadap Iran
“Kami mengidentifikasi area baru di mana kami akan bekerja sama dengan sekutu untuk menekan rezim Iran, menetralkan pengaruh destabilisasi, dan membatasi proyeksi kekuatan agresifnya, terutama dukungannya terhadap kelompok teroris dan militan,” katanya.
Militer AS memang telah sejak lama mengkritik Iran yang dianggapnya sebagai penindas, menuduh Iran secara langsung dan tidak langsung mencoba untuk melemahkan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, termasuk di Irak, Suriah dan Yaman.
Ketegangan meningkat dalam beberapa bulan terakhir di Suriah, di mana pilot Amerika menembak jatuh dua pesawat buatan Iran.
Namun, pendekatan yang lebih agresif terhadap Iran dapat memicu reaksi balik dari Korps Pengawal Revolusioner Islam Iran (IRGC) dan kekuatan lainnya, misal Rusia yang selama ini mendukung setiap langkah Iran.
“Pasukan AS di Irak sudah berusaha terbuka dan pasukan koalisi cukup terkena risiko serangan jika elemen Iran memilih demikian, “kata Jennifer Cafarella, perencana intelijen terkemuka di Institute for the Study of War, sebuah think-tank di Washington.
Militer AS kini tengah menginvestigasi penetrator yang meledak (EFP) di Irak bulan ini yang membunuh seorang tentara Amerika. Fakta bahwa perangkat tersebut digunakan milisi Syiah yang didukung Iran membuat pejabat AS terkejut. Bagi AS, perangkat tersebut sengaja digunakan untuk menargetkan tentara Amerika yang bertugas di Irak sebelum penarikan mereka di tahun 2011 silam. (almeiji)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews