Berita UtamaMancanegara

Prancis Ingin Membangun Kembali Hubungan Dengan Iran

NUSANTARANEWS.CO – Prancis saat ini sedang berupaya untuk kembali ke Timur Tengah dan membangun kembali hubungan dengan Iran – di tengah spekulasi bahwa Presiden Trump akan menarik Amerika dari  kesepakatan nuklir Iran. Bila hal tersebut terjadi, maka akan membawa konsekuensi terhadap hubungan Amerika-Iran, stabilitas Timur Tengah dan pasar global.

Seperti diketahui, Presiden Amerika Serikat Donald Trump terus mengancam akan menghentikan kesepakatan nuklir dengan Iran sebagaimana pidatonya dalam sidang umum PBB pada minggu lalu. Pidato Trump inilah yang memunculkan spekulasi bahwa AS berniat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran tersebut.

Di pihak lain, Uni Eropa justru tidak menghendaki kembali situasi konfrontasi dengan Iran. “Kami sudah memiliki satu potensi krisis nuklir. Kami pasti tidak perlu pergi ke yang kedua,” kata Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri mengatakan kepada wartawan di PBB.

Sementara itu, Macron mengusulkan sebuah pendekatan baru untuk urusan Timur Tengah: wilayah tersebut perlu distabilkan melalui kerja sama erat antara semua pihak yang terkait, terutama, Teheran. Bahwa Iran merupakan bagian penting dari proses guna membangun stabilitas di kawasan Timur Tengah, terutama terkait dengan hubungan dagang, migrasi dan masalah keamanan. Oleh karena itu, Prancis memiliki pandangan berbeda dengan Amerika Serikat: Paris kembali ke wilayah Timur Tengah dan menginvestasikan jutaan dolar di Iran.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

Macron berpandangan bahwa di dunia global, keamanan untuk beberapa orang tidak dapat dibangun dengan mengorbankan keamanan untuk yang lain,” ujarnya.

Berbicara di depan Majelis Umum PBB pada hari Selasa, Presiden Perancis Macron mendesak semua pihak yang terkait untuk tetap pada kesepakatan nuklir Iran. “Menghentikannya akan menjadi kesalahan besar, dan tidak menghormatinya akan menjadi tidak bertanggung jawab, karena ini adalah kesepakatan bagus yang penting untuk perdamaian,” kata Macron. Komentar Macron muncul sebagai respons terhadap kritik ketat Trump terhadap JCPOA.

Macron juga melihat bahwa masalah Suriah dalam “proses Astana mungkin berguna namun tidak memadai.” Dia mengusulkan pembentukan “kelompok kontak” baru untuk mengakhiri perang enam tahun.

Namun pada saat yang sama, dalam wawancara dengan CNN hari itu Macron menjelaskan bahwa konflik Suriah tidak dapat diselesaikan tanpa Rusia.

“Tidak mungkin memperbaiki situasi Suriah tanpa Rusia … Saya pikir di Suriah, kita bisa bertindak bersama,” kata presiden Prancis menggarisbawahi.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Serangkaian negosiasi Astana mengenai krisis Suriah dimulai oleh Rusia, Turki dan Iran pada bulan Desember 2016 di ibukota Kazakhstan. Format Astana telah menjadi salah satu platform global utama untuk negosiasi penyelesaian konflik.

Dengan demikian, kesepakatan penting mengenai pembentukan zona de-eskalasi di negara yang dilanda perang dicapai di ibukota Kazakhstan. Putaran terakhir perundingan intra-Suriah di Astana diadakan pada 14-15 September.

Mengomentari pernyataan Macron mengenai urusan Timur Tengah Thomas Flichy de La Neuville, seorang spesialis studi Timur Tengah dan anggota klub ahli Cercle Mounier, dan Pierre Merjaneh, seorang anggota parlemen independen dari Aleppo Suriah, mengatakan kepada Sputnik bahwa Paris berusaha untuk kembali ke wilayah tersebut, dan mendapatkan kembali posisinya di sana.

Namun, sampai saat ini pimpinan Prancis belum memiliki hubungan dekat dengan Damaskus dan Teheran, terlepas dari kenyataan bahwa pengaruh Paris di kawasan tersebut telah terus menurun selama dua dekade terakhir. (Banyu)

Baca Juga:  Rahmawati Zainal Peroleh Suara Terbanyak Calon DPR RI Dapil Kaltara

 

Related Posts

1 of 53