HankamHukumPolitikTerbaru

Menggebuk Ritual Tahunan Para Pembela PKI

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Memori tentang peristiwa 1965 selalu diungkit tiap kali menjelang peringatan G30S/PKI yang jatuh pada bulan September. Seminar dan diskusi nasional seperti telah menjadi ritual tahunan pada bulan September, tapi dengan logika kebalikannya dari pemahaman umum selama ini bahwa PKI adalah pihak yang bersalah.

Tuntutan paling menohok para pembela PKI di era reformasi ialah memohon kepada negara untuk meminta maaf kepada PKI. Dalam konteks ini, drama pemutarbalikan fakta sejarah dilakukan, di mana PKI memposisikan dirinya sebagai korban peristiwa nahas 1965 silam. Padahal, peristiwa itu tidak terjadi secara spontan tanpa adanya penyebab utama. Sebab, dalam sejumlah literatur dan kesaksian, pada era 1965 silam PKI lah yang memaksa rakyat dan TNI untuk melakukan perlawanan setelah PKI melakukan aksi pembunuhan para ulama, santri dan TNI dalam sebuah rencana bertajuk kudeta.

Anehnya, pemerintah tahun lalu justru mengakomodasi acara Simposium 65. Diketahui, acara ini digalangi oleh Menko Polhukam yang saat itu dikoordinatori Luhut Binsar Pandjaitan serta sejumlah tokoh lainnya. Karuan saja, acara ini menuai kecaman dari berbagai pihak dan sebagian besar masyarakat Indonesia. Penyebabnya, sejarah tentang pemberontakan PKI ditengarai sengaja diputarbalikkan dengan memposisikan PKI sebagai korban, sehingga negara didesak meminta maaf. Desakan ini oleh sebagian kalangan dinilai tidak masuk akal. Sebab, PKI lah sebetulnya yang melakukan pemberontakan dan tindakan makar, sementara rakyat Indonesia menjadi korban dari gerakan massal mereka. Jadi, bagaimana mungkin konflik horizontal yang dipicu provokasi PKI itu membuat negara meminta maaf kepada mereka? Sebuah wacana dan tindakan, yang menurut Menhan Ryamizard Ryacudu sangat tidak masuk akal. Sehingga menjadi jelas, acara Simposium 65 adalah upaya pemerintah membuka luka lama sejarah Indonesia.

Baca Juga:  Anton Charliyan: Penganugrahan Kenaikan Pangkat Kehormatan kepada Prabowo Subianto Sudah Sah Sesuai Ketentuan Per UU an

Luka lama itu tampaknya kembali mengaga di tahun 2017. Berdasarkan informasi yang dihimpun redaksi, tepat pada 16-17 September para pembela PKI kembali akan menyelenggarakan seminar bertempat di Gedung LBH Jalan Diponegoro, LBH Jakarta dengan tujuan hendak memutihkan kejahatan PKI di masa lalu.

Menurut pengamat militer Eko Ismadi, maraknya kegiatan yang menampilkan adanya pemikiran Komunisme dan PKI di tanah air patut untuk direnungkan dan diwaspadai. “Atas nama penyelesaian kasus 1965 atau pun pelurusan sejarah, semua itu adalah pemikiran dari PKI. Seluruh bangsa Indonesia, khususnya anak-anak muda, harus paham itu,” kata Ekon seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (14/9).

Dikatakan Eko, para pembela PKI selalu menuduh bahwa sejarah dibuat oleh yang menang. Mereka terus merekayasa bahwa Orde Baru adalah penjahat dan pembantai. Bahkan, mereka telah menganggap bahwa TNI AD adalah pembunuh rakyat Indonesia yang tidak berdosa. “Saya berkesimpulan, bahwa para pembela PKI itu berpikir dengan logika otak PKI,” cetusnya.

Baca Juga:  Safari Ramadhan, Pj Bupati Pamekasan Buka Bersama 10 Anak Yatim di Kecamatan Pademawu dan Galis

Dalam sejarah bangsa Indonesia, kelompok bangsa yang bermasalah dengan sejarah nasionalisme dan Pancasila di Indonesia hanyalah pengikut PKI berikut penganut komunisme. “Sedangkan, DI/TII, maupun gerakan Islam lain, sudah menemukan formula kebangsaan yang tepat dalam kehidupan kebangsaan, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” tutur Eko.

“Bagi saya, sejarah adalah sebuah rasa dan seni yang sangat menarik untuk dimengerti. Sejarah adalah sebuh cermin dan suratan bagi perilaku seseorang yang. Melalui sejarah, kita jadi mengerti perilaku orang, perilaku sekelompok orang, dan aktivitas politik bangsa Indonesia. Sejarah adalah bagian yang melekat dan tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Sejarah PKI dan Komunisme Indonesia. Ketika bicara tentang PKI, maka kita akan berbicara empat hal atasnya. Yakni sejarah PKI, organisasi PKI, manusia yang mengawaki PKI, dan yang terakhir adalah sikap parasitisme PKI. Karena mereka sering menumpang pada popularitas orang lain,” terang Eko lagi.

Baca Juga:  Anton Charliyan Lantik Gernas BP2MP Anti Radikalisme dan Intoleran Provinsi Jawa Timur

Menurutnya, keempat hal tersebut menjadi landasan bagi kita untuk meninjau perilaku parasitisme PKI dan Komunisme di Indonesia. “Hal tersebut sangat korelatif dengan kondisi politik, sikap pemerintah, serta komponen bangsa Indonesia yang memiliki kaitan dengan PKI dan Komunisme,” beber Eko.

“Bagaimanapun, negara kita berdasarkan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Bendera merah Putih. Sehingga, tulisan ini saya niatkan untuk mengulas perilaku PKI dan Komunisme Indonesia yang menjadi penyakit dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, sejak awal berdirinya PKI hingga di masa Pemerintahan Jokowi sekarang,” ungkap Eko.

Terakhir, Eko meyakini bahwa Presiden Jokowi akan menepati janjinya pada Mei lalu yang sempat menyebut dirinya bakal menggebuk PKI jika berani muncul ke permukaan.

“Harapan saya, para pembela PKI, eks Tapol, serta penggemar komunis segera sadar, yang lalu sudah berlalu. Sebaiknya, kita hidup bersama dalam biduk nasionalisme kebangsaan Indonesia yang berdasarkan pancasila Dan Undang Undang Dasar 1945. Saya sangat yakin, jika Seminar 1965 di LBH pada 16 September hendak membela PKI, tentu Pak Jokowi akan segera menggebuk seminar 1965 tersebut. Sekali lagi, bravo atas komitmen luhur Presiden Jokowi untuk menggebuk PKI yang muncul,” pungkasnya. (ed)

(Editor: Eriec Dieda)

Related Posts

1 of 20