InspirasiKolom

Hari Aksara Internasional: Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan

NUSANTARANEWS.CO – Selamat Hari Aksara Internasional ke-51. Semoga bangsa-bangsa di seluruh dunia segera terpenuhi hak asasi manusia-nya dengan menumpas buta aksara. Keberaksaran adalah keniscayaan yang mesti diutamakan dari apapun dalam berkehidupan. Sebab tanpa aksara, peradaban adalah mimpi.

Pada mulanya adalah aksara kemudian dunia semarak kilau sinar teknologi. Kemudian, pengetuhan menjadi kekuatan besar yang menggerakkan manusia menentukan diri dan nasibnya. Kekuasaan adalah salah santapan paling nikmat, laiknya materi membakar birahi. Akhirnya, lupa pada lingkungan.

Barangkali UNESCO ingin menyegarkan kemurnian pengetahuan sebagai anak pertama dari aksara. Hal ini bisa dicermati dengan tema yang diusung pada peringatan Hari Aksara Internasional ke-51, 8 September 2016 ini. “Reading the Past, Writing the Future”, atau “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan”, demikian tema yang dikampanyekan oleh UNESCO ke seluruh dunia.

Membaca dan memikirkannya, ingatan menuju pada sebuah sajak yang ditulis W.S Rendra berjudul “Maskumambang” dalam buku kumpulan sajak “Doa untuk Anak Cucu” (2013). Baik saya kutipkan beberapa baik yang menggedor dinding batin dan tempurung kepala:

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Cucu-cucuku
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.

Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.

kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan

Ketiga bait sajak “Maskumambang” seolah menjelma penanda bahwa, pada akhirnya setiap kita akan sadar dan kembali ke jalan yang benar. Jalan lurus untuk mengentaskan buta aksara di dunia dengan cara melakukan gerakan-gerakan keberaksaraan ke dalam masyarakat. Tentu harus turun ke jalan dan masuk ke desa-desa. Kemudian melihat sendiri betapa tidak sedikit saudara-saudara sebangsa setanah air yang belum bisa baca.

Hari ini, 8 September 2016 adalah waktu yang tepat untuk turut memaknai tema “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan” dengan gerakan nyata yang berkelanjutan. Sehingga peringatan Hari Aksara tidak hanya menjadi simbol ritual tahunan belaka. Dimana di tingkat nasional, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga turut menyemarakkannya yang tahun ini memilih tema “Penguatan Literasi dan Vokasi dalam Membangun Ekonomi Berkelanjutan”.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Tema diambil pemerintah Indonesia itu mengacu pada tujuh kemampuan literasi, yaitu kemampuan baca tulis, berhitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi (TIK), keuangan, budaya, dan kewarganegaraan. Tema tersebut selaras dengan Nawa Cita yang menjadi agenda prioritas pemerintah Indonesia terkait pembangunan vokasi atau peningkatan keterampilan hidup masyarakat

Tema ini menjadi isu global karena tahun 2015 merupakan akhir dari dekade “Pembangunan untuk Berkelanjutan” dari UNESCO, atau UNESCO Decade of Education for Sustainable Development. Dekade ini juga merupakan akhir dari Millennium Development Goals (MDG’s) menjadi Sustainable Development Goals (SDG’s).

Pesan utama dari tema tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa keaksaraan bukan hanya sekadar prioritas pendidikan, melainkan investasi yang sangat penting bagi masa depan yang berkesinambungan. Setiap negara memperingati Hari Aksara Internasional untuk mengingatkan pentingnya keaksaraan dalam membangun peradaban dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Hingga saat ini, usaha pemerintah Indonesia untuk memberantas tuna aksara di Indonesia telah mencapai hasil yang positif. Data Kemendikbud menunjukkan telah terjadi penurunan yang sangat siginifikan dalam hal penuntasan tuna aksara di Indonesia. Pada tahun 2005, persentase penduduk tuna aksara di Indonesia masih di angka 9,55 persen, atau sekitar 14,89 juta orang. Namun, angka tersebut menurun pada tahun 2014 menjadi 3,7 persen atau sekitar 5,94 juta orang.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Sampai sekarang pun upaya penuntasan tuna aksara terus dilakukan pemerintah Indonesia, salah satunya melalui program-program keaksaraan yang dijalankan Kemendikbud. Program-program tersebut antara lain melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta dalam upaya gerakan masif penuntasan tuna aksara, serta program pemberdayaan masyarakat, seperti dukungan terhadap Taman Bacaan Masyarakat (TBM), atau penyelenggaraan Bengkel Literasi yang mengundang komunitas literasi. Diharapkan, angka tuna aksara di Indonesia semakin kecil, sehingga kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. (Sulaiman/Sumber: Kemendikbud/Desliana Maulipaksi)

Related Posts

1 of 5