Cerpen

Cerpen: Orang Gila yang Datang Entah dari Mana

Revolusi Cinta dan Pesan Diam. (Lukisan: Dok. ok.ru)
Revolusi Cinta dan Pesan Diam. (Lukisan: Dok. ok.ru)

Orang Gila yang Datang Entah dari Mana

Sebenarnya pagi itu tidak ada bedanya dengan pagi-pagi yang sudah. Ibu-ibu pergi ke tukang sayur: membeli bawang putih, tempe, tahu, cabai dan toge. Sebenarnya pagi itu tetap pagi yang cerah, tidak mendung atau pun hujan. Sama seperti pagi-pagi yang lalu. Namun, mereka tidak menyadari seseorang berjalan ke arahnya. Dia sangat asing di kota ini rambutnya panjang, lengannya sobek, darah menetes sepanjang jalan, wajahnya kusam dan penuh coretan. Aku makin penasaran dan aku berlari keluar rumah. Orang itu berkoar-koar ketika aku sampai di emperan toko dekat tukang sayur. Dia meliuk, melonjak dan berteriak. Ibu-ibu yang sangat dekat menjauh. Takut.

“Aaaaaaaaaaaaaaai” Ibu-ibu tidak mengerti lantas berlari.

“Orang gila…!”

“Tolong… Ada orang gila!”

Terdengar lagi suara yang pilu, “Ooooooooi”

Dia berhenti untuk waktu yang lama. Melihat tiap rumah yang berdiri kokoh, rumah yang sepi. Kemudian dia bangkit dan mengarah ke tempatku. Aku benar-benar takut saat itu. ibu-ibu meneriakiku untuk lari, orang gila makin dekat, pertolongan dari bapak-bapak belum datang, kemungkinan bila aku lari dia juga akan mengerjarku dan semuanya akan ditangkap. Aku diam. Dia semakin dekat.

“Aaaaaaaaaaaai.” Orang gila itu berteriak di dekatku. Mataku terpejam, bulu kudukku berdiri dan aku mulai lunglai, aku menangis dan celana dalamku tiba-tiba saja basah, hangat, aku tidak tahu apa dia mencium pesing atau tidak. Namun dia berteriak kembali. Aku punya kuping sudah mirip bak sampah, pekik. Mendengar teriakannya sungguh sakit. Aku sesenggukan. Terus menangis. Teriak ibu-ibu sudah tidak terdengar, aku
melangkah mundur, berjongkok dan mendekap kepala dengan kedua tangan. Aku masih mendengar orang gila itu berteriak dan melangkah mendekatiku.

***

Saat itu keadan di desa sangat kacau, tanah berhektar-hektar mereka jual, hasil panen ditukar kepingan perak, pusaka yang mereka banggakan diberi pada kelektor. Dia yang sudah bertahun-tahun tinggal di desa itu tidak ingin menjual tanah atau apa pun yang dia miliki. Dia tidak ingin kenangan dijual dengan nominal uang. Sebelum kejadian itu, anak sulungnya sudah pergi ke dunia lain karena diare. Istrinya tidak kuat menanggung sedih yang berlama-lama hingga dia masuk RSG (rumah sakit gila) di penghujung bulan Februari. Dia sendiri tetap pergi ke sawah, atau ke musholla mengajar anak-anak tetangga mengaji.

Di desa hanya tersisa dia, lelaki, guru ngaji yang tidak lagi mengajar ngaji, sebab tetangganya sudah pindah ke rumah susun di kota yang gratis listrik, air dan pendidikan. Tidak lama ini, mobil-mobil besar berdatangan ke desa, mereka mencabik-cabik rumah warga yang sudah ditinggalkan hingga akhirnya rata menjadi tanah. Pohon jati di tanah lapang ditebang, sawah berantakan mirip diinjak monster besar dan bercak tanah ada di mana-mana, jejak yang begitu panjang untuk kaki monster yang hanya berukuran dua meter.

***

Aku menemukan cerita itu di buku Angga, ketika dia membacakannya untukku sampai aku hafal cerita tersebut. Maka sudah dipastikan bila Mama menanyakan tokoh dalam cerita itu aku akan cepat menjawabnya. Suatu hari Ibu Guru pernah menyuruhku bercerita di depan kelas. Teman kelasku melongo mendengar seorang anak perempuan berambut pendek bercerita.

Aku kembali tersadar, orang gila itu telah teriak-teriak di kupingku. Pikiranku melayang pada laki-laki dalam buku Angga. Dia berteriak persis orang gila di hadapanku, suaranya serak dan ceruk di matanya tambah dalam. Aku seperti melihat buldoser dan ekskavator yang meratakan rumahnya. Benda-benda yang dia simpan baik, kenangan yang dia jaga begitu lama, lebur sudah. Aku melihat dia mendekati sopir buldoser, memakinya, mengutuk tapi, sebelum dia berkelahi seseorang di pihak lain merubuhkannya dengan sekali pukul, dia pingsan, mereka mengerubutinya dan mengikatnya. Dalam siang yang tenang dia terjaga dan sudah berada di batang pohon dengan tangan dan kaki terikat.

“Aaaaaaaaoo.”

Aku terjatuh ke belakang, genangan air membasahi rok. Aku segera bangkit dan berlari secepat mungkin.

***

Setiap minggu dia, istri dan anaknya akan keluar rumah menggunakan motor. Pergi berjalan-jalan mengelilingi desa. Istirahat sejenak di kebun jeruk miliknya. Menghampar kain dan meletakkan beberapa jenis makanan di atasnya. Angin sepoi-sepoi berkelebat di atas kepala. Sayur bayam, nasi jagung, tongkol dan tempe goreng menjadi menu favorit. Mereka makan sambil mengobrol tentang agenda selanjutnya. Beberapa tempat sudah mereka singgahi bahkan terlalu sering untuk pergi di hari libur dan diputuskan satu tempat yang harus mereka singgahi ialah rumah Nenek di desa sebelah.

Rumah Nenek tidak begitu jauh bila naik motor. Karena letak rumahnya berada di perbatasan desa. Nenek pernah berkata, tanah keluarga kita berhektar-hektar jumlahnya, namun selalu saja ada pihak yang merampas tanah itu sepengetahuan. Saat mereka sampai di rumah Nenek tiga menit kurang seperempat datanglah seorang laki-laki berpakaian dinas memberi selembar surat, yang Nenek tidak bisa membacanya.

Daru, anak bungsunya mengambil surat itu dan membacakannya sambil melihat raut wajah Ibu. Dia tahu bahwa ibunya sudah lama buta huruf. Maka, dia menyuruh anaknya, Darul, membantu ibunya di dapur.

“Kamu tidak boleh menjual tanah keluarga pada siapa pun.” Pesan Nenek pada Daru.

“Kenapa?” Tanya Daru jengkel.

“Kamu harus tahu bahwa di dalam tanah keluarga terdapat peti emas dan catatan hitam kolonial yang dirampas oleh buyut ketika Divisi Lebak di tangan orang Belanda.”

Saat itu, Daru meyakini dirinya sendiri untuk menjaga tanah keluarga. Dia sangat yakin di dalam tanah itu terdapat peti emas yang bisa membangun sebuah pabrik. Tapi bagaimana kalau ternyata peti itu sudah raib? Yang tak sengaja ditemukan petani ketika mencangkul, lagi pula dia tidak tahu di tanah mana peti emas itu terkubur.

“Suatu saat, orang luar desa akan menukar tanah kita dengan sepetak rumah kecil di pinggir jalan besar,” ujar Nenek ketika Daru selesai melipat surat.

“Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi?” tanya Daru.

“Maka, jangan berikan tanahmu!”

***

Orang gila itu mengejarku sampai ke depan rumah. Mengetuk-ngetuk pintu dan menekan bel berkali-kali. Ayah dan Ibu sedang tidak di rumah, aku berlari ke dalam kamar mencari Angga. Tapi dia sudah berangkat sekolah. Aku benar-benar takut saat itu. tidak ada orang yang bisa kumintai pertolongan. Pembantu sedang pulang kampung dan aku sendiri.

Ibu, pekikku.

Aku mengintip dari balik celah jendela, mobil Yaris putih terparkir depan rumah. Seorang lelaki keluar dengan pakaian rapi melewati pagar. Aku melihat Ayah terperanjat. Dia berhenti dan kembali ke mobil. Padahal aku bisa minta bantuannya bila dia tidak pergi. Aku menutup tabir jendela. Berlari. Menaiki tangga. Masuk keluar kamar. Mencari telepon genggam. Tidak ada. Aku naik ke loteng. Mungkin saja orang gila itu berhasil masuk lewat jendela tapi dia tidak menemukanku di loteng.

Di jendela loteng, mobil Jans merah berhenti depan rumah. Berklakson dua kali dan perempuan berambut hitam panjang melongok dari mobil, memanggil sedikit teriak. Aku tahu Ibu memanggilku. Paling-paling tasnya tertinggal lagi. Ibu keluar.

“Aaaaaaaaaai.” Ibu tunggang langgang keluar pagar. Aku menyaksikan itu, orang gila berteriak lagi, menggedor-gedor pintu, tidak lama, dia berhenti. Kulihat dia berjalan keluar rumah. Aku mendesah. Tidak ada lagi yang perlu kutakuti. Aku bisa berangkat sekolah dengan tenang, tapi bagaiamana kalau orang gila itu menungguku di suatu jalan. Siapa yang tahu? Tidak ada! Lalu mengapa dia mengejarku? D kota ini bukan hanya ada aku, ada ratusan bahkan ribuan orang–yang bisa dia teriyaki. Tapi mau kemana orang gila itu? Bukannya dia tidak punya keluarga di sini?

Aku sudah bersalin pakaian. Bel berbunyi, pasti Ayah, pikirku. Aku menyibak gorden jendela, tenyata bukan, itu mobil-mobil besar yang persis dalam cerita Angga. Mobil itu seperti baru datang dari desa di bawah gunung, lumpur melumutii ban, dan ranting pohon yang menyangkut di bagian body. Tergambar bagaimana mobil-mobil itu menghancurkan rumah Daru – yang tersisa. Perjalanan panjang; cinta, senyum ria dan duka kehilangan arjuna kecil; ludes, terkubur kepingan-kepingan reruntuhan.

Daru menjerit, meratapi reruntuhan rumah, dia melihat sapu tangan yang dulu pernah dia beri pada istrinya. Daru menjerit lagi, dan lagi. Meronta. Memekik. Menunduk dan akhirnya dia tafakur, menunduk. Lalu bersujud, lama sekali. Tok, tok, tok. Kini, pintu diketuk. Aku takut, aku takut mereka merampas rumahku, dan mengancurkannya seperti rumah Daru. Mereka mengetuk lagi, namun lebih kuat. Saat itu
aku ingin teriak seperti orang gila. Namun, pintu sudah dibuka dan terdengar percakapan Ayah dengan seseorang.

“Kamu datang mau mengeluh lagi!? Apa anak buahmu belum cukup merobohkan satu rumah?”

“Tidak, Pak. Tidak. Saya kemari membawa kabar bahagia. Tanah sudah diratakan semua,” kata seseorang itu sedikit ditahan agar Ayah menantinya.

“Terus pemilik rumah itu gimana? Apa dia mengamuk lagi?”

“Tidak. Dia menghilang setelah rumahnya diratakan.”

Aku mendengar Ayah tertawa – senyaring itu. Dan seseorang itu juga demikian. #

 

 

 

 

Penulis: Fahrul Rozi lahir di Potoan Sampang Madura, saat ini tinggal di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) cerpennya tersiar di media cetak maupun digital

Related Posts

1 of 811