CerpenTerbaru

Keduanya Menyukai Kucing

Keduanya Menyukai Kucing
Keduanya Menyukai Kucing
Sudah cukup lama Nita mencari tahu soal Ratna, akhirnya berhasil juga dia menemukan fotonya. Foto itu tergeletak di laci, dan barangkali Agus lupa menyembunyikannya. Menurut dia, orangnya lumayan menarik. Apalagi ketika sore itu dia melihatnya langsung saat mengantarkan kucing ke rumah. Dari jendela Nita memperhatikan Ratna sedang mengeluarkan kucing dari sebuah tas anyaman bambu di depan pintu pagar.

Oleh: Pujiah Lestari

 

Ratna adalah mantan istri Agus. Ia seorang penulis buku cerita tentang petualangan anak-anak, dan telah menerbitkan dua buah novel tentang dunia anak. Badannya agak kurus, dan rambutnya hitam tebal hingga bahu. Agus meninggalkan Ratna karena tergoda oleh kecantikan Nita sebagai pihak ketiga. Lama kelamaan, Ratna pun memakluminya ketika Agus memutuskan berpisah dengannya.

Dengan alasan ingin fokus pada pekerjaannya menulis, Ratna memerlukan bantuan Agus agar memelihara Cika, seekor kucing piaraan, sampai ia berhasil menerbitkan novelnya yang ketiga. Dua hari sebelumnya, Ratna menelepon dan meninggalkan pesan, “Saya mau bicara mengenai Cika, nanti saya datang ke rumah, ya.”

Nita bertanya-tanya tentang siapa itu Cika, lalu Agus pun menjelaskan bahwa ia hanya sejenis hewan, hanya seekor kucing piaraan. Nita bilang, ia tak begitu suka kalau Agus masih berhubungan dengan Ratna, apalagi sampai memerlukan bantuannya. “Mau ngapain sih? Wong sudah cerai kok masih juga mau membantunya?”

Tapi bagaimanapun, kucing itu sudah ada di hadapan Agus, di rumah kontrakan baru yang cukup besar, dengan pekarangannya yang cukup luas. Sebagai dokter yang tiap hari bertugas di Rumah Sakit Swasta, penghasilan Agus cukup besar dibanding orang-orang yang berprofesi di bidang lain. Saat itu, Nita merasa jijik melihat Ratna berdiri dengan kotak kotoran kucing beserta mainan berbentuk ikan-ikan dari berbagai rupa dan warna. Ratna meletakkan kantong makanan kucing dan mengelap tangannya pada ujung baju yang dikenakannya.

“Hey, kamu Nita, ya?” ia pun menyalami Nita, “Agus sudah cerita banyak tentang kamu, yang ternyata mirip sekali dengan fotonya.”

Nita merasa kikuk dan gerogi, tetapi ia terus saja menatap Ratna mondar-mandir ke mobil untuk mengambil berbagai perlengkapan yang dibutuhkan, “Iih, menjijikkan!” kata Nita, ketika melihat tumpukan perlengkapan itu ditaruh di dapur.

“Tenang,” bisik Agus, “itu cuma peralatan buat kucing.”

Ratna mengelus-elus punggung Cika yang berwarna belang hijau, kuning dan oranye. Ia mencengkeram baju Ratna. “Sepertinya dia takut berada di tempat baru,” kata Ratna sambil membelainya. “Iya kan, Cantik? Kamu takut, kan?” tanyanya pada Cika.

Kucing itu menjilat pipi Ratna. Nita manahan napas dengan wajah melengos. Tak terbayang lidah kecil hewan itu menjilatinya.

Segera Agus meraih kucing itu, dan dengan nada seperti berbicara pada anak kecil, ia pun berkata, “Kamu mau tinggal di sini, nggak apa-apa kan, Cika? Mau kenalan sama Mbak Nita?”

Nita menjauh dan kontan menjawab, “Nggak mau, ah.”

“Kamu nggak takut kucing kan, Nita?” tanya Ratna.

“Kalau takut sih nggak, tapi kurang begitu suka.”

Agus menyodorkan kucing itu kepada Nita. “Ini, coba kamu pegang, supaya dia kenal sama kamu.”

“Nggak mau, ah,” ia pun mengelak.

Agus mendekatinya, “Ini pegang, nggak apa-apa kok.”

“Nggak mau.”

“Cuma binatang kecil? Paling beratnya cuma dua kilo, nih.”

“Pokoknya, nggak mau.”

Kucing itu mengeong beberapa kali. Mendengar suara itu, Nita merinding. Dia merasa mencium bau kucing di setiap sudut ruangan. Agus mengantar Ratna keluar, berdiri di depan rumah sampai wanita itu berlalu dan melambaikan tangannya sambil tersenyum.

***

Baru lima bulan mengenal Nita, lalu keduanya sepakat memutuskan menikah. Nita sendiri dikenal sebagai janda kembang, setelah bercerai dengan suaminya setahun lalu, dan ia pun belum memiliki anak. Acara pernikahan dilangsungkan sederhana, hanya dihadiri keluarga terdekat, dengan menghadirkan pihak KUA, saksi dan wali dari kedua belah pihak. Mereka mengontrak rumah besar di Jalan Jombang Cemara No. 23, suatu lokasi yang berdekatan dengan tempat praktek Agus di Rumah Sakit Swasta di Kota Cilegon.

Minggu-minggu pertama mereka diwarnai oleh pertengkaran sengit disebabkan hal-hal yang ringan dan sepele saja. Itu terjadi karena Agus mengangkut kasur spring bed yang pernah ia tiduri bersama Ratna dulu.

“Keluarkan kasur itu! Nanti rumah kita malah kesamber petir,” ujarnya sengit.

“Ah, seperti kutukan Bi Siti dalam novel Perasaan Orang Banten saja.”

Berkali-kali mereka saling dorong. Agus memasukkan dan Nita mendorongnya keluar. Mula-mula Nita mencoba bersikap manis tetapi akhirnya ia memaksa, “Pokoknya harus pakai kasur saya, titik.”

Agus mengingatkan, bahwa kasur ukurannya tanggung, sedangkan mereka membutuhkan yang ukurannya lebih besar. “Kalau begitu, kita sambung saja dengan yang ukurannya kecil, beres kan?” katanya lagi.

Baca Juga:  Kemiskinan Turun, Emak-Emak di Kediri Kompak Akan Coblos Khofifah-Emil di Pilgub Jatim

Nita bilang bahwa Agus keras kepala, tapi kemudian ia tertawa sambil mengatakan, barangkali memang begitu kalau orang harus lulus menjadi sarjana kedokteran. Keesokannya, Nita mengajak Agus pergi membeli tempat tidur baru. “Ukuran yang paling besar, setuju?”

“Oke lah kalau begitu,” kata Agus.

Nita mencium pipi Agus. “Sekarang, kita simpan semua barang-barang bekas itu di gudang belakang.”

Setelah membeli spring bed berukuran besar, kemudian menyusul yang lainnya, seperti sofa, bupet TV, meja makan hingga rak dapur. Bagi Nita, semuanya itu jelek, barang bekas, hanya tiruan dan imitasi dari merk-merk terkenal. Termasuk kalender dan poster-poster murah yang biasa dipasang anak-anak mahasiswa di kamar kos. Agus dan Ratna membeli barang-barang itu ketika baru menikah, sebelum mereka mempunyai cukup uang.

“Ah, alasan saja… mungkin selera kalian memang kampungan,” cibir Nita.

Nita mengajak Agus untuk mendekor seisi rumah dengan gaya baru, tentunya seperti yang dia inginkan. Di tengah-tengah ia letakkan sofa bermotif batik warna-warni. Nita juga memasang lukisan-lukisan kesukaannya di sana-sini, serta menggantung kepala badak bercula satu. Usia Nita selisih enam tahun di bawah Agus. Ia senang meringkuk di sofa baru dan mengagumi hasil pekerjaannya. Ia berlangganan majalah mingguan dan sebuah harian lokal dan nasional. Sebagai wanita karier yang bertugas di kantor dinas kesehatan, penghasilannya lumayan. Dan ia merasa senang tinggal di rumah baru bersama Agus, sampai kemudian datanglah Cika, makhluk kecil yang barangkali di luar dugaan dan harapannya sama sekali.

***

Agus menaruh kotak kotoran kucing berikut mainannya di dekat pintu belakang dapur. Cika senang bermain-main dengan ikan dan bola mainannya. Terdengar bunyi gemerincing ketika bola itu menggelinding di lantai. Waktu kucing itu mencakar-cakar pasir di dalam kotak kotoran, Nita mulai merasa mual. Ia berbaring di sofa dan membaca, tetapi berkali-kali terhenti dan tak bisa konsentrasi manakala Cika bermain-main di bawah sofa bersama bola mainannya.

Ketika Cika terdiam, ia mulai membaca lagi, khawatir kalau-kalau kucing itu meloncat ke pangkuannya. Ia melongok ke pintu dapur, dan mendapatkan Cika sedang meringkuk di samping stoples tempat menyimpan teh, kopi dan gula.

“Hussh!” usirnya, “Cika, kamu nggak boleh tidur dekat makanan!”

Cika membuka matanya yang terlihat berat, memandang Nita sebentar, kemudian menutup matanya dan tidur kembali.

Nita mengambil sapu, dan menyapukan ujung-ujungnya ke meja dapur. “Hussh.” Ia menggerak-gerakkan sapu itu. “Cika, hey!” ia pun menyodokkan gagang sapu ke arahnya. Cika tersentak dan meloncat. “Ayo turun, jangan dekat-dekat makanan!”

Cika menggeliat, merentangkan telapak kakinya, menguap dan kembali mendengkur. Nita masih berdiri dengan sapu di tangan, berpikir-pikir apa yang harus ia lakukan.

“Ada apa sih? Kok rame amat?” tanya Agus sambil memalingkan pandangannya dari layar TV.

“Kucing ini tidur dekat makanan, dia nggak mau turun sama sekali.”

Agus pun bangkit, mengangkat Cika dan meletakkannya di dada.

“Apa nggak bisa kita taruh di suatu tempat yang agak jauh?”

“Di mana?” tanya Agus.

“Mungkin di kamar kosong, atau di mana kek?”

Kucing itu menatap Nita dengan wajah menyeringai.

“Tuh kan, dia negeledek saya?”

“Nita, kamu nggak usah kayak bocah,” tegur Agus, “mungkin kalau kamu membelainya, dia akan kenal sama kamu.”

“Nggak mau! Saya nggak mau menyentuhnya.”

Malam hari, ketika Nita sedang menyantap sop di mangkuk, ia menemukan sehelai rambut, hingga kemudian tak mau lagi memakan sop tersebut. Agus menyatakan bahwa itu bukan bulu kucing, namun ia tetap tak mempedulikan perkataan sang suami.

***

Tiap kali melihat mata kucing itu, Nita merasa ada sesuatu yang mengganjal pada diri si kucing, seakan ia merasa keberatan dengan kehadiran Nita yang menggantikan posisi Ratna. Suatu saat pernah hewan itu mencakar jari Nita, karena ia menyembunyikan lumba-lumba mainannya di belakang sofa.

Hal yang paling membuatnya jengkel, mungkin lantaran keberadaan Cika yang membuat Ratna beralasan untuk selalu menghubungi Agus melalui ponsel. Nita pernah mengeluhkan soal itu, meski ia tak mau membuka mulut dan hanya mengatakan ‘tidak suka’ itu saja. Agus hanya balas tersenyum, serta menyatakan bahwa dirinya berulah seperti anak kecil dengan mengkhawatirkan hal-hal semacam itu. Hingga pada suatu hari, Agus pun membiarkan Ratna ketika ia berencana untuk mengunjungi Cika.

“Di mana? Di rumah ini?” tanya Nita sewot.

“Tenang aja sih,” kata Agus, “nggak usah terlalu dipikirkan.”

Tak berapa lama, Ratna pun mulai mengunjungi kucingnya. Biasanya setiap Minggu siang, pada saat Nita berbelanja ke pasar atau berlatih bulutangkis bersama teman-teman sekantornya.

Seiring berjalannya waktu, Nita merasakan kamar kosong itu semakin lekat dengan bau kucing, dan ia semakin yakin ada sesuatu antara Agus dan Ratna belakangan ini. Seringkali mereka mengobrol lewat ponsel. Kadang Agus bersejingkat menuju serambi rumah, mengobrol hingga satu jam, membicarakan soal Cika dan mungkin ada soal-soal lainnya yang mereka perbincangkan sambil ketawa-ketiwi.

Baca Juga:  Survei Membuktikan, Pemilih PDIP dan PKB Condong Pilih Khofifah-Emil di Pilgub Jatim

Suatu hari, ketika Agus belum sampai ke rumah pukul 18.30 sore, Nita menelepon ke kantornya. Seorang laki-laki mengangkat telepon dan menyatakan bahwa Agus telah pulang sejak Pk. 16.30 tadi. Sesampai di rumah, waktu sudah menunjukkan jam delapan, sambil beralasan, “Ada pasien yang datang ketika jam praktek hampir selesai tadi.”

“Oya?” kata Nita sinis, “bukannya kamu sudah pulang sejak jam setengah lima tadi?”

“Kata siapa?” tanyanya kaget.

Nita tidak menjawab. Ia hanya beranjak menghindari Agus menuju dapur.

Nita memasak sayur asam, tapi kemudian ia tak mau memakannya. Bau kucing itu menyebar ke seluruh penjuru rumah. Ia memutuskan untuk membersihkan kotak kotoran kucing, meskipun Agus pernah berjanji mau mengerjakannya.

Sambil membersihkan kotoran kucing dan menahan baunya, ia membayangkan Agus dan Ratna sedang asyik berduaan, menonton di bioskop 21, sementara ia sendiri sibuk membersihkan taik kucing. Bagus, hebat, biarkan saja (pikirnya). Ya, biarkan dia menikmati saat-saat indah bersama wanita itu. Nita berusaha tenang, mengendalikan diri sedapat mungkin. Kalau ia menunjukkan amarah, tentu akan membuat laki-laki itu menjauh. Dan itulah yang justru diharapkan Ratna, dan ia tak mau membiarkan wanita itu senang. Ketika ia hendak meninggalkan kamar, kucing itu menyelinap di kakinya, hingga kemudian Nita menendangnya keras, dan segera memasukkannya ke dalam kamar.

Cika mengeong-ngeong dan mencakar-cakar pintu minta keluar, tapi Nita tak menghiraukan. Ia hanya menuju sofa, berbaring sambil menonton tayangan kuis di layar televisi, hingga tertidur pulas.

***

Ketika terbangun, hari sudah gelap. Nita mendengar tawa Ratna di dapur, dan ia pun bersejingkat menuju dapur. Di sana Ratna sedang duduk mengobrol bersama Agus, ditemani dua gelas kopi dan rokok kretek di tangan mereka.

“Hey, itu Nita sudah bangun, ayo duduk bersama kami,” pinta Agus.

“Nggak ah,” sahutnya kesal, “kenapa kamu nggak bangunkan saya?”

Mereka terdiam, lalu Ratna pun bangkit dari tempat duduknya, “Saya kira, ini sudah malam,” ia melongok jam dinding, “saya pulang dulu, ya?”

Nita tetap di dapur, sementara Agus mengantar Ratna keluar. Terdengar gumaman, disusul dengan tawa. “Nanti telepon saya, ya?” kata Agus lagi.

“Siap,” jawab Ratna mantap.

Tak lama kemudian, Nita masuk kamar dan berbaring dalam keadaan gelap. Ia mengenang akhir pekan yang dulu pernah mereka lalui bersama di hotel Le Dian, Serang. Ia ingat pertama kali Agus mengajaknya nonton konser Peter Pan di alun-alun kota, kemudian masuk hotel dan menikmati sosis dan martabak keju dan kacang. Terpikir olehnya ingin memutus kabel telepon, atau menyeting nada terima agar cukup bagi Ratna meninggalkan pesan saja, tanpa harus saling menelepon. Agus masuk ke kamar dalam keadaan remang, lalu membaringkan diri di sampingnya, tetapi Nita justru berpaling membelakanginya.

Nita menarik napas dalam-dalam. Ia tak ingin marah-marah. Dengan nada tenang ia meminta Agus bercerita tentang hubungan yang sebenarnya dengan Ratna, secara jujur dan apa adanya.

“Saya dan Ratna?” tanya Agus, “kami sudah pisah, sudah cerai, emang kenapa?”

Ia membelai perut Nita dan mencium lehernya. Tubuh Nita terasa hangat, dan katanya kemudian, “Boleh saya minta sesuatu?”

“Minta apa, Sayang, bilang saja terus terang.”

“Singkirkan kucing itu… buang jauh-jauh.”

Agus masih membelai Nita. “Ya, akan kami usahakan.”

Nita mendorong wajah laki-laki itu menjauh. “Ini serius, Gus, singkirkan Cika jauh-jauh.”

Agus terduduk seketika, seakan wajahnya tertampar. “Lalu, soal apa lagi?”

“Soal ‘kami´ itu. Saya nggak suka dengar kamu dan Ratna sebagai ‘kami’? Saya nggak suka dia minum kopi di sini…!”

“Sekarang ini saya cuma berteman, Sayang, kamu harus bisa menerima dia sebagai teman biasa.”

“Saya nggak mau berteman dengan dia… saya nggak mau dia ada di rumah ini. Titik.”

“Nita,” kata Agus, “ini rumah kita.”

Tetapi saat itu, Nita tak ingin bertengkar. Ia menatap keluar jendela dan merenungkan bagaimana ia bisa berada di rumah ini, menjadi istri kedua dari seorang dokter yang tiap hari berpraktek di Rumah Sakit Swasta di Kota Cilegon.

Ia membayangkan dirinya, ketika dulu dibesarkan orang tuanya di daerah Rangkasbitung, Banten Selatan. Rasanya ia tak pernah melihat orang tuanya bertengkar. Mereka memegang adat istiadat Sunda Baduy, tetapi ajaran-ajaran Islam dari keturunan Sultan Hasanudin juga cukup kuat bercokol di wilayah itu. Tentu ada aturan-aturan bagi orang yang sudah menikah, dan itu benar-benar diterapkan. Tak ada mantan pacar, mantan suami atau mantan istri datang seenaknya ke rumah. Orang-orang yang merupakan bagian dari masa lalu, tetap menjadi masa lalu.

Baca Juga:  Rabat’s Choice as World Book Capital, Recognition of Morocco’s Commitment to Culture – Ministry

Akan tetapi, Agus, dan teman-temannya di daerah Banten Utara terbilang aneh juga. Ia tak menyukai pola hidup semacam itu. Orang-orang yang sibuk wara-wiri, bertandang ke rumah teman-temannya, menelepon sana-sini hingga lupa apa yang mau dibicarakan. Lalu, memencet lagi nomor baru, sampai kemudian lupa lagi siapa yang dihubunginya itu.

Sesekali Nita menatap foto dirinya bersama Agus yang terpajang di dinding, bergaya di depan kolam renang hotel, setelah menonton film di bioskop 21. Ah, kalau saja mereka bisa bahagia seperti saat itu kembali. Bagaimana bisa dari keadaan seperti itu, menjadi seperti sekarang ini?

***

Siang itu, Nita minta izin kepada atasannya di kantor dinas kesehatan, dengan alasan kurang enak badan. Ia segera menuju rumah, tetapi apa yang didapatkannya di sana?

Cika berhasil keluar dari kamarnya, lalu mengacak-acak seluruh isi rumah, dari ruang tamu hingga ruang tengah. Tanaman hias tergeletak bersama telepon di lantai. Koran-koran dan majalah berantakan tercabik-cabik. Sofa baru itu pun tak lepas dari sasarannya. Bagian bawahnya robek dan benangnya menjuntai ke sana kemari. Cika sedang duduk di pojokan dapur sambil asyik menjilat-jilat tubuhnya. Ia memiringkan kepala dan seandainya bisa tersenyum, pastilah kucing itu tersenyum cengengesan saat melihat wajah Nita yang muram dan kusut-masai.

Seketika itu, ia mengambil tas anyaman bambu dan memasukkan Cika ke dalamnya. Ia mendatangi kios tempat penitipan binatang di daerah Kota Serang, sambil mengatakan bahwa ia telah menemukan kucing liar itu.

“Benar Ibu tak mau memelihara kucing ini?” tanya wanita di kios penitipan itu, sambil membelai bulu Cika.

Nita menggeleng dengan tatapan dingin.

“Tapi kucing ini cantik sekali lho, Bu?”

“Ya, kelihatannya dia cantik, tapi kami tak biasa memelihara hewan.”

Wanita itu mengambil Cika dan menaruhnya dalam kandang besar. Sambil mengisi formulir dengan nama dan alamat palsu, Cika memandang Nita dengan tatapan tajam.

“Apa yang akan kalian lakukan dengan hewan-hewan ini?” tanya Nita kemudian.

Wanita itu menghela nafasnya, “Kami akan coba cari orang yang bisa memeliharanya, atau kami sumbangkan untuk kebun binatang.”

“Ooh begitu. Baik, terimakasih, kalau begitu saya permisi dulu.” Dan mereka pun saling berjabat tangan.

Dalam perjalanan pulang, Nita menenangkan diri, toh itu hanya seekor kucing. Ia melakukan hal yang benar. Kalaupun ada yang perlu disalahkan, Ratnalah orangnya.

***

“Kenapa sih, hanya gara-gara seekor kucing, kamu bisa sewot begitu?” kata Nita.

Mereka berdua sedang di dapur. Berjam-jam Agus mengelilingi rumah, termasuk rumah tetangga kiri dan kanan, untuk mencari-cari Cika.

“Gara-gara seekor kucing bagaimana? Itu kucing saya, Nita, sudah tiga tahun lebih saya memelihara kucing itu.”

“Saya kira itu kucing Ratna?” kata Nita terbengong-bengong.

“Oke, sekarang saya tegaskan bahwa itu kucing kami!”

“Tapi itu kan cuma kucing?”

“Oke, sekarang saya mau telepon Ratna. Saya mau telepon dia dari kamar Cika.”

Nita masuk kamar dan berusaha membaca koran Kompas. Dari balik dinding ia mendengar Agus berbicara dengan Ratna. Kemudian, terdengar laki-laki itu memanggil-manggil Cika di halaman belakang. Suara Agus menghantuinya. Ia ingat ceritanya, ketika laki-laki itu meninggalkannya, kucing itu mengikuti terus dari belakang, berdiri di halaman, memohon-mohon agar ia tidak pergi darinya.

Nita bangkit dan melihat Agus di kegelapan, yang terus-menerus mencari-cari Cika di semak-semak dengan senter di tangannya.

Berjam-jam kemudian, ia pun melepas pakaian dan membaringkan tubuhnya. Ia meraih remote control dan menyalakan televisi. Malam itu, ia berbaring di sofa dengan tubuh yang keletihan.

Keesokan harinya, ia berkeliling di sekitar perkampungan, dari rumah ke rumah, untuk menanyakan apakah ada seekor kucing yang masuk ke rumah-rumah mereka. Ia pun mendatangi kantor redaksi koran-koran lokal untuk memasang pengumuman tentang kehilangan Cika, dan menjanjikan hadiah bagi yang menemukannya.

Malam harinya, Ratna menelepon, bahwa ia akan datang ke rumah untuk membantu mencari kucing mereka. Agus pun menempelkan poster-poster yang dipasang di tiang-tiang listrik dan batang pepohonan. Selama beberapa hari, ia meliburkan diri dari tempat kerjanya, dan sepanjang hari-hari itu dia terus-menerus berteriak memanggil-manggil nama Cika, bahkan dalam keadaan tidur sekalipun.

Selama berminggu-minggu, Agus mencari-cari Cika, ditemani oleh Ratna yang duduk di sebelahnya. Suatu hari, ia mengemudikan mobilnya menyusuri tepian sungai Kalitimbang, menuju komplek Pondok Cilegon Indah. Dan mobil itu pun berhenti di sebuah rumah, yang dulu ia tempati bersama Ratna, untuk disewa kembali. ***

*Penulis:  Pujiah Lestari pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa), menulis esai dan cerpen di berbagai media massa luring dan daring.

Related Posts

1 of 3,057