EkonomiHukum

Mantan Dirjen Minerba Bongkar Karut Marut UU Minerba dan Divestasi Freeport

Mantan Dirjen Minerba, Simon Fellix Sembiring Luncurkan Buku Satu Dekade Pertambangan: Mengungkap Karut Marut UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)
Mantan Dirjen Minerba, Simon Fellix Sembiring Luncurkan Buku Satu Dekade Pertambangan: Mengungkap Karut Marut UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan. (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Departemen ESDM, Simon Fellix Sembiring mengaku gelisah melihat dua fenomena besar di dunia pertambangan. Kegelisahan yang pertama mengenai implementasi UU No. 4/2009, atau biasa disebut UU Minerba yang berlangsung karut marut setelah 10 tahun diundangkan. Kemudian kegelisahaan kedua mengenai divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang meskipun telah dikuasai 51% oleh pemerintah, namun menyisakan begitu banyak persoalan.

Baca Juga: Menteri Jonan Ditantang Terbuka Soal Surat Menteri IB Sujana Mengenai Participating Interest Rio Tinto

Dirinya menjelaskan, UU No. 4/2009 (UU Minerba) telah berusia 10 tahun. Namun banyak hal yang belum memenuhi harapan karena sejumlah kendala. Salah satunya adalah upaya pemberian nilai tambah lewat fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter dan refinery) yang berlangsung seperti siput berjalan.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi lanjut dia adalah aturan pelaksanaannya yang dinilai karut marut. Tercatat ada sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) yang saling tumpang tindih. Bahkan terlihat bertentangan dengan UU Minerba yang semestinya harus dijabarkan secara konsisten.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Launching SOA Barang Ke Long Bawan dan Long Layu

Baca Juga: Dokumen Transaksi Inalum Soal Freeport Diminta Diserahkan ke DPR Agar Jelas

“Sejumlah PP itu adalah PP No. 23/2010, PP No. 24/2012, PP No. 1/2014, PP No. 77/2014 dan PP No. 1/2017,” ungkap Simon Felix Sembiring dalam peluncuran buku terbarunya berjudul Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan yang digelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (29/1/2019).

Contoh yang bertentangan dalam PP No. 23/2010 Pasal 96 dinyatakan setelah 5 tahun, IUP dan IUPK wajib divestasi. Kemudian dalam PP No. 24/2012 Pasal 97 dinyatakan divestasi 51%. Tetapi di dalam PP No. 77/2014 mentah kembali.

Baca Juga: Harus Transparan, Pemerintah Tak Boleh Sepihak Tanpa Kontrol Soal Freeport

Pasal 97 ayat (1b): IUP-OP dan IUP-OP divestasi 40% pada tahun ke-15 produksi. Dan Pasal 97 ayat (1c): underground mining, divestasi 30% pada tahun ke-15 produksi. Pada Pemerintahan Joko Widodo, lewat PP No. 1/2017, aturan itu dikembalikan lagi menjadi 51%.

“Adanya peraturan yang tumpang tindih dan bertabrakan ini merupakan bukti karut marutnya implementasi UU Minerba. Sesuatu yang sangat disayangkan,” ujar Simon.

Baca Juga:  Operasi Pasar Atasi Kelangkaan Gas Subsidi di Kabupaten Pidie Jaya

Baca Juga: Divestasi Freeport, Pemerintah Harus Berani Beberkan Detail Dokumen SPA Ke Publik

Menurut pria kelahiran Pematang Siantar yang turut menggodok UU Minerba ini mengatakan, kenyataan itu dinilai sangat memprihatinkan. “UU Minerba yang sejatinya bertujuan mulia, yang memberikan jalan baru bagi pengolahan serta pemanfaatan pertambangan nasional, justru dalam pelaksanaannya penuh kontradiksi serta inkonsisten,” jelasnya.

Padahal lanjut Simon, UU Minerba menyuarakan semangat nasionalisme bagi dunia pertambangan nasional.

Mempertanyakan Divestasi Freeport
Tatkala pelaksanaan UU Minerba masih belum berjalan konsisten dan terimplementasi dengan baik, dunia pertambangan justru dikejutkan dengan pembelian saham asing milik Freeport McMoran Copper & Gold Inc. (FCX) di PTFI, PT Inalum memilih jalan membeli participating interest (PI) milik Rio Tinto di PTFI berdasarkan surat Menteri Pertambangan Energi (MPE) IB Sudjana tahun 1996.

Baca Juga: Plin-Plan Soal Kasus Freeport, BPK RI Diminta Jawab, Ia Bekerja Untuk Siapa?

Sebagian kalangan bersorak karena merasa Indonesia telah memiliki PTFI melalui divestasi saham 51%. Namun di balik itu, muncul sejumlah pertanyaan, termasuk menyangkut posisi Rio Tinto yang tidak ada dalam Kontrak Karya (KK) 1991 antara Pemerintah Indonesia dan PTFI.

Baca Juga:  Antisipasi Masuk Beras Impor, Pemprov Harus Operasi Pasar Beras Lokal di Jawa Timur

“Publik bertanya-tanya mengapa Pemerintah Indonesia membeli PI Rio Tinto yang baru dieksekusi tahun 2022, sementara KK itu sendiri berakhir tahun 2021?” tanya Simon.

Baca Juga: KLHK Sebut Tailing Freeport Sudah Sesuai Amdal Sejak 1997

Di luar itu, sederet pertanyaan lain juga turut menyeruak dan tampaknya tidak terungkap dalam pemberitaan di media massa. Diantaranya, apakah PI Rio Tinto yang disetujui oleh MPE IB Sudjana tahun 1996 sudah sesuai dengan isi KK tahun 1991? Apakah PI Rio Tinto bisa berlaku melebihi masa KK tahun 2021?

Dan apabila itu benar, apakah PI Rio Tinto itu mencakup operasi Blok A yang dilanjutkan dengan sistem penambangan bawah tanah sampai tahun 2024?

Baca Juga: Klarifikasi KLHK Soal Pencabutan Kepmen 175 Tahun 2018 Ihwal Aturan Tailing Freeport

Sebagai sosok yang ikut menggagas dan terlibat langsung dalam penyusunan UU Minerba, Simon mengetahui duduk perkara PTFI. Terlebih dengan posisi dirinya dulu sebagai mantan Dirjen Minerba.

Untuk dirinya mengaku merasa terpanggil untuk mencari data serta informasi sekaligus mengupasnya. Mengenai silang sengkarut divestasi saham 51% dirinya menjelaskan secara detail duduk perkara sebenarnya. “Siapa sesungguhnya yang diuntungkan?” ungkapnya.

Pewarta: Romandhon Emka

Related Posts

1 of 3,052