Ekonomi

Divestasi Freeport, Pemerintah Harus Berani Beberkan Detail Dokumen SPA Ke Publik

Presiden Jokowi Berjabat Tangan Dengan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson Usai Penandatanganan Devistrasi Freeport (Foto ANTARA Wahyu Putro A)
Presiden Jokowi Berjabat Tangan Dengan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson Usai Penandatanganan Devistrasi Freeport (Foto Dok. ANTARA/Wahyu Putro A)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar Ekonomi Makro Ichsanudin Noorsy mempertanyakan dasar penetapan harga 51% saham Freeport. Menurutnya, jika bisnis pertambangan, maka seharusnya yang dijadikan dasar untuk menaksir harga adalah potensi cadangan deposit tambang yang dimiliki PT. Freeport.

“Jika yang menjadi dasar penetapan harga dari pembelian saham adalah kinerja manajemen dan keuangan PTFI (PT Freeport Indonesia), itu tidak relevan. Itu itung itungan yang sudah menjadi masa lalu,” ungkap Ichsanudin Noorsy pada kesempatan diskusi yang diadakan Islamic Lawyers Forum (ILF) edisi ke-7 di Jakarta, pada Minggu (27/1).

Noorsy menjelaskan (dengan mengutip data-data yang ditampilkan pada layar), jika pun yang menjadi patokan adalah kinerja perseroan, baik aspek keuangan maupun manajemen, terbukti laporan keuangan PTFI mengalami trend penurunan.

Artinya, kerugian PTFI yang berujung tidak dibagikannya Deviden perseroan selama dua tahun hingga tahun 2020, telah mampu dideteksi sejak dini dan dijadikan pertimbangan penting dalam mengambil keputusan pembelian saham termasuk nilai harga saham yang harus dibayar.

Sayangnya Pemerintah tidak transparan mengenai hal ini. Direktur PT. Inalum justru mengklaim biaya beli saham PT. Freeport sebesar USD 3,85 Miliar, dalam 3 tahun bisa balik Modal.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Terima Kunjungan Tim Ekonomi di Perbatasan Sabah

3 Tahun Inalum Balik Modal?
Direktur PT. Inalum, Budi Sadikin (23/12) lalu mengatakan pay back period (waktu pengembalian dana) divestasi 51 persen saham PTFI sebesar USD 3,8 miliar akan kembali dalam waktu 3 tahun. Setelah itu Indonesia akan memperoleh pendapatan utuh sekitar USD 1,4 miliar, yang 10 persennya dibagikan ke Pemerintah Daerah Papua. Masih ditambah lagi pendapatan dari royalti dan pajak.

Lantas bagaimana mungkin dalam hitungan beberapa hari kemudian, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium alias Inalum Budi Gunadi Sadikin kemudian mengatakan PT Freeport Indonesia tidak membagikan dividen selama dua tahun atau hingga 2020. Katanya, EBITDA Freeport dalam dua tahun ini akan merosot drastis akibat akan berhentinya produksi dari tambang terbuka Grasberg tahun ini.

Apakah ada keadaan ‘berupa kesengajaan tidak mengabarkan kondisi keuangan perseroan yang sesungguhnya’ sehingga publik baru tahu jika dalam dua tahun ke depan PTFI tidak membagi Deviden?

Lantas pernyataan dalam tiga tahun akan tutup modal, itu pernyataan apa? Bukankah itu pernyataan hoax? Lantas kenapa Pemerintah, yang sejak awal begitu bernafsu mengabarkan ‘prestasi borong saham freeport’ tiba-tiba bungkam setelah keluar pernyataan tidak akan mendapat deviden selama dua tahun ini?

Baca Juga:  Sekda Nunukan Hadiri Sosialisasi dan Literasi Keuangan Bankaltimtara dan OJK di Krayan

Untung Apa Buntung?
Jika dua tahun tidak mendapat deviden, sementara PT Inalum tetap mengeluarkan anggaran untuk membayar cicilan dan bunga dari kupon Global Bond sebesar total USD 4 miliar, ini untung atau buntung?

Apalagi jika nilai borong saham Freepot oleh Inalum ini dibandingkan dengan nilai harga saham Indocopper Investama sebesar 9,36% yang dijual kembali ke FCX sebesar US$ 400 juta. Kenapa Pemerintah, melalui PT Inalum musti membayar USD 3,85 miliar hanya untuk porsi saham sebesar 51,3%? Bukankah ini harga yang terlampau mahal?

Noorsy menegaskan, sederhananya jika acuan nilai harga saham yang diborong Pemerintah harganya setara dengan nilai harga saham PT. Indocooper Investama yang memiliki 9,36% saham yang dijual kembali ke FCX sebesar US$ 400 juta, maka seharusnya Pemerintah dengan merogoh kocek USD 3,85 miliar dapat menguasai saham PTFI sebesar kurang lebih 103%, dan bukannya hanya 51,3%.

Lantas, siapa yang bertanggungjawab terhadap nilai harga saham yang terlampau mahal ini?

Baca Juga:  Loloskan Ekspor Kepiting Berkarapas Kecil, Pengusaha dan Balai Karantina Ikan Diduga Kongkalikong

Divestasi Freeport Hoax Terbesar Rezim
Karena itu, benarlah pernyataan Direktur IRESS, Marwan Batubara yang menyebut divestasi Freeport ini adalah hoax terbesar yang diproduksi Rezim Jokowi.

Bagamaimana mungkin dengan modal USD 3,85 miliar Inalum hanya menguasai 51,3% saham PTFI, sementara 9,36% saham Indocooper dijual hanya dengan harga USD 400? Bahkan, seharusnya pemerintah memaksa Freepot membayar kerugian akibat kerusakan ekosistem lingkungan sebesar Rp. 185 Triliun, bukan malah membeli sahamnya dengan harga super mahal, USD 3,85 miliar.

Belum lagi menurut Pengamat Ekonomi, Salamudin Daeng komposisi saham yang dibeli Pemerintah itu adalah saham Partisipasi Interest (PI) Rio Tinto, bukan saham PTFI. Kabarnya, untuk mengkonversi nilai PI Rio Tinto ini PTFI akan melakukan penerbitan saham (Right Issue). Namun proses dan mekanisme konversi ini belum jelas.

“Karena itu, publik perlu mendapat informasi detail melalui dokumen Sales and Purchase Agreement (SPA) antara PTFI dan PT Inalum, agar publik bisa ikut mengawasi proses divestasi saham Freeport ini,” tegasnya. (*)

Editor: Romadhon

Related Posts

1 of 3,081