NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemilu 2019 boleh disebut sebagai pemilihan umum paling brutal dan mematikan. Ajang pesta demokrasi yang seharusnya menjadi suatu kegembiraan rakyat justru berujung malapetaka.
Terhitung sejak pencoblosan pada 17 April hingga 22 Mei, sebanyak 562 orang meninggal dunia. Rinciannya, 554 penyelenggaran pemilu (data per 4 Mei) dan 8 orang lainnya akibat kerusuhan aksi 22 Mei.
Kemudian, total sebanyak 4.525 orang dirawat di rumah sakit. Dengan rincian, 3.788 penyelenggara pemilu (data per 4 Mei) dan 737 orang lainnya peserta aksi 22 Mei.
Dengan kata lain, total rakyat Indonesia yang menjadi korban Pemilu 2019 sebanyaak 5.087 orang.
Baca juga: Aktivis HAM: Kematian Anggota KPPS dan Penyelenggara Pemilu Bentuk Anomali Demokrasi
Baca juga: Pemilu 2019 Banyak Menelan Korban Nyawa, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Penanggung jawab pemilu, KPU mengatakan ada santunan yang diberikan kepada petugas pemilu yang menjadi korban. Santunan untuk petugas KPPS yang meninggal dunia Rp 36 juta per orang. Santunan untuk petugas yang mengalami cacat sebesar Rp 30,8 juta per orang. Santunan untuk petugas KPPS yang luka berat sebesar Rp 16,5 juta dan luka sedang Rp 8,25 juta per orang.
Selain santunan berupa uang, KPU menyematkan gelar pahlawan demokrasi kepada para petugas pemilu yang menjadi korban.
Pemilu 2019 nyatanya memang brutal dan mematikan bila mengacu pada kenyataan nahas itu. Sehingga tak berlebihan kiranya pemilu tahun ini disebut-sebut sebagai sebuah ironi negara demokrasi.
Baca juga: Telan Ratusan Nyawa, Sandiaga Uno Sebut Pemilu 2019 Paling Mematikan Sepanjang Sejarah Indonesia
Baca juga: Kematian Anggota KPPS, Ironi Sebuah Negara Demokrasi
Suatu ironi, bagaimana mungkin sebuah hajatan demokrasi dan hak asasi manusia harus menelan korban manusia, orang-orang yang tidak berdosa harus berkorban, kata mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.
Selain itu, tokoh HAM asal Papua ini juga mengatakan jika pemilu menjadi etalase kematian maka Indonesia menjadi negara demokrasi prominent pertama di dunia yang menghadapi anomali demokrasi. Pasalnya, demokrasi sejatinya memiliki nilai kemanusiaan dan demokrasi tidak pernah mencabut nyawa manusia.
Baca juga: Ratusan Anggota KPPS Meninggal Dunia, Komisioner KPU Diminta Ikuti Proses Hukum
Baca juga: KPU Tampaknya Bakal Berurusan Serius dengan Mahkamah Internasional
Kata Pigai, hak untuk hidup adalah hak tertinggi (supreme of human rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi sedikitpun kendati negara dalam kondisi darurat. Negara, dalam hal ini KPU Indonesia memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang.
Karenanya, hilangnya ratusan nyawa rakyat Indonesia dan ribuan korban sakit itu disebut Pigai tak lebih melainkan karena faktor kelalaian belaka. Terakhir, dia menegaskan faktor kelalaian menjadi alasan kuat untuk menyeret Komisioner KPU ke meja hijau guna mengikuti proses hukum sebagai wujud pertanggung jawaban.
Baca juga: Ketika Pesta Berujung Duka Lara
(eda/adn/ach)
Editor: Eriec Dieda