Hukum

Ketika Pesta Berujung Duka Lara

Sebuah Ilustrasi Pesta Demokrasi. (Foto: IST)
Sebuah Ilustrasi Pesta Demokrasi. (Foto: IST)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ajakan untuk senang dan gembira dalam pesta demokrasi tahun ini malah berujung duka lara. Pesta demokrasi tahun 2019 telah melahirkan tragedi kemanusiaan paling mengerikan dalam sejarah perjalanan demokrasi di negara yang telah mengecap kemerdekaan selama 73 tahun.

Tragedi meninggal dunia 500 orang lebih penyelenggara pemilu patut disebut sebagai salah satu tragedi kemanusiaan paling mengerikan di era abad 21. Padahal, menjaga keselamatan jiwa adalah hal paling prinsip dalam peradaban manusia (supreme of human rights).

Dalih kematian manusia akibat kelelahan tidak cukup menjadi jawaban paling rasional. Ini soal hak hidup orang, tak ada tawar-menawar. Apalagi menganggap enteng hanya dengan memberi gelar pahlawan demokrasi dan santunan uang. Itu tak cukup, bahkan tak pantas untuk menghargai nyawa manusia.

Sebab itu, KPU mesti bertanggung jawab. Para komisioner mesti mempertanggungjawabkannya. Sebab, KPU dan Bawaslu boleh dibilang menjadi pihak paling bertanggung jawab atas tragedi nahas hilangnya nyawa orang dalam sebuah pesta yang seharusnya diselenggarakan penuh suka ria.

Ketika sebuah pesta berujung kematian, tak kurang ada aspek kelalaian menjadi penyebab utama. Sebab idealnya, saat menggelar sebuah hajatan besar dan melibatkan banyak orang, tindakan pencegahan dan antisipasi harus sudah dipersiapkan sejak dini supaya kegembiraan itu berakhir dengan suka cita.

Baca Juga:  KPK Tetapkan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Tersangka Korupsi, AMI Gelar Santunan Anak Yatim

Celakanya, harapan tersebut tidak tercipta di Pemilu 2019. Penyelenggara pemilu tampak enteng saja melihat kematian manusia di depan mata. Membuat alasan, memberi gelar dan santunan uang untuk korban dianggap sebagai penghormatan paling tinggi atas hilangnya nyawa manusia.

Padahal, penyelenggara pemilu mestinya memegang kuat-kuat prinsip HAM yakni supreme of human rights. Prinsip ini, dalam pemenuhannya tidak dapat dikurangi sedikitpun, bahkan saat negara dalam keadaan darurat.

Logo KPU dan Bawaslu RI. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)
Logo KPU dan Bawaslu RI. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)

KPU memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang, kata aktvis HAM Natalius Pigai.

KPU mencatat anggota KPPS yang meninggal dunia berjumlah 440 orang. Sementara Bawaslu mencatat ada 92 orang panitia pengawas pemilu yang meninggal dan Polri mencatat ada 22 anggotanya yang tewas.

Jatuhnya korban jiwa di Pemilu 2019 menjadi ironi di sebuah negara demokrasi. Suatu ironi. Sebab, Bagaimana mungkin sebuah hajatan demokrasi yang berlandaskan HAM justru harus menelan korban manusia. Orang-orang yang tidak berdosa harus berkorban demi pesta yang tidak akan mereka rayakan lagi.

Mengingat aspek kemanusiaan ini, Komisioner KPU tengah ditunggu sikap kesatrianya sebagai orang yang bertanggung jawab. Sekali lagi, kewajiban tertinggi Komisioner KPU dalam pelaksanaan pemilu adalah mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang. Itu prinsip dasarnya. Selebihnya, teknis semata!

Baca Juga:  PWI Minta Ilham Bintang dan Timbo Siahaan Ditegur Keras, Ini Jawaban Dewan Kehormatan

Menurut Natalius Pigai, peristiwa nahas meninggalya ratusan penyelenggara pemilu bisa menjadi bukti permulaan yang cukup bahwa Komisioner KPU Pusat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang.

Artinya, patut ditelusuri adanya dugaan terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights) sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28 A jo Pasal 28 I UUD 1945, Pasal 4 jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, misalnya, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat diadili. Tujuan dari pengadilan adalah untuk meminta pertanggung jawaban pidana individual (individual criminal responsibility) terhadap para pelaku.

kpu ri, calon anggota kpu, kpu provinsi, kpu kabupaten, kpu kota, nusantaranews, kpu semarang, nusantara, kpu jateng, nusantara news, dkpp, seleksi anggota kpu
Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. (Foto: dok. NUSANTARANEWS.CO)

Meskipun keputusan KPU merupakan bersifat kelembagaan, tapi ahli hukum pidana sudah mesti paham sejauh mana individu harus mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukan secara kolektif, sistematik dan birokratik sebagaimana dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Aktivis HAM Natalius Pigai mengatakan, pertanggung jawaban secara individual telah menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional dengan disahkannya Code of Offences Against The Peace and Security of Mankind pada 1954 oleh PBB.

Adapun prinsip-prinsip pertanggung jawaban individu dalam pidana hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Prinsip Nuremberg bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan kejahatan, bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus dihukum.

Apapun alasannya, KPU Pusat tidak boleh menghindari tanggung jawab pidana individu, kata Pigai.

Hukum ini penting, katanya, karenaa berujuan untuk untuk mendorong terciptnaya standar kualitas penyenggaraan pemilu termasuk keselamatan, keamanan dan kenyamanan warga negara yang ikut berpartisipasi dalam menyukseskan kegiatan demokrasi.

“Dibekukan dulu KPU biar mereka mengikuti proses hukum karena kelalaian yang mengakibatkan anggotanya (KPPS) meninggal dunia. Mundur saja dan cabut wewenangnya sementara, biar Komisioner KPU menjalankan proses hukum,” ujar Pigai dalam sebuah diskusi di Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (12/5).

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,052