Ada yang sangat pas dari ungkapan Syahganda Nainggolan untuk survei Indo Barometer yaitu, kegagalan konsep. Contoh, dikemukakan ada paslon Capres Jokowi dengan Cawapres Prabowo Subianto. Lalu konsep ini dianggap kebenaran, kemudian diterjemahkan menjadi konsep desain kuis. Bimsalabim, jadilah kuis. Apa bisa dan boleh begitu?
Saya baru kali ini menemukan kuis salah berat seperti ini. Menurut pustaka riset yang pernah saya baca dan lakukan, hukumnya haram. Dilarang keras. Itu gunanya konsep. Agar kuis tak sama dengan ngerumpi. Agar sains tak sama dengan ilmu gathuk. Bisa-bisa quick count tak lagi presisi, dan tinggal ilmu rumpi.
Indo Barometer merusak ilmu penelitian. Sebab, pemasangan paslon Jokowi Prabowo disengaja melawan make sense. Sama sekali tanpa reason. Reason itu adalah konsep yang gagal dalam analisis Syahganda tadi.
Baca juga:
Hasil Survei Keterpilihan dan Elektabilitas Jokowi Terkadang Tak Masuk Akal
Mengapa Lembaga Survei Selalu Menempatkan Jokowi di Posisi Teratas?
Anies Baswedan, Prabowo dan Jokowi di 2019
Jokowi berduet dengan Prabowo sukar diterima akal waras. Apalagi reason sains. Dan yang tak masuk akal itu yang menjadi konsep Indo Barometer. Agaknya memakai paradigma minor Harold D Lasswell: pada dasarnya keputusan politik adalah absurd, tidak disengaja. Sehingga faktor statik bisa diubah menjadi dinamik. Yo ngawur Pak Bro!
Pertama, kita belum lupa toh, Prabowo mencabut dukungan kepada Deddy Mizwar (Demiz) karena dia mengajukan usulan agar Prabowo menjadi Cawapresnya Jokowi. Belum lama. Dan Demiz lalu diganti dengan Sudradjat.
Kedua, kita juga belum lupa perjanjian Pasir Putih, di mana PDIP akan menjadikan Prabowo jadi Capres karenanya Prabowo kudu memenangkan paslon Pilkada Jokowi-Ahok tiga tahun lalu. Dan perjanjian itu dianggap tak berlaku. Prabowo dikhianati, Jokowi malah maju jadi Capres. Itu bukan absurditas Lasswell.
Ketiga, ada buku Paradox Indonesia yang ditulis Prabowo pada tahun 2017, seluruhnya pikiran diametral dengan Jokowi, mustahil dikawinkan. Ide dan pikiran Paradox Indonesia adalah membela rakyat, Jokowi membela Tycoon. Mengikuti paradigma Karl Marx dalam Das Kapital II, mempertemukan takdir kaum borjuis dengan kaum proletar. Tak mungkin ketemu! Harus diakui pikiran dalam Paradox Indonesia itu dibutuhkan Indonesia keluar dari kemelut krisis kini. Sedangkan pikiran dalam Nawacita Jokowi, malah absurditas.
Jadi, sejak faktor fisik hingga pikiran, tak satupun yang dapat mempertemukan Jokowi dengan Prabowo. Mereka memang bisa berkuda bersama, tapi itu karena Jokowi sowan ke Prabowo tatkala ia kepepet.
Keempat, mungkin saya luput, bahwa dalam catatan saya Prabowo bersama Gerindra-nya bukan tipe penjilat, yang bersedia melakukan apa saja yang buruk melawan moral demi kekuasaan politik: menipu, atau bertingkah aneh-aneh demi pencitraaan. Ia tak membalas ketika ditipu Surya Dharma Ali, juga Jokowi belakangan.
Empat faktor tadi, menghasilkan konsep yang berlawanan dengan konsep Indo Barometer: seolah Prabowo memiliki kadar absurditas yang memungkinkan ia menjilat Jokowi untuk sekadar jadi Cawapres seraya mengkhianati pikirannya dalam konsep Indo Barometer. Lalu ditanyakan kepada responden. Jangan lupa, namanya responden, asal kata respon.
Faktor determinan survei Indo Barometer adalah eksistensi Jokowi sebagai incumbent, dan Prabowo sebagai penantang. Kenapa sekonyong-konyong mereka kawin? Lalu dari keduanya dimunculkan derivat: konsep win-kawinan kata orang Madura. Muncullah data sejumlah cawapres aneh. Data dari kegagalan konsep. Muncul pula Ahok jadi capres peringkat tiga setelah Jokowi dan Prabowo. Eh, Ahok masih dipenjara! Seru punya Presiden Ahok dari Tionggoan, sambil tunjuk sana sini mengumpat arogan: taik, maling, di televisi. Ahok kuda hitam, maka ia mengajukan banding. Ayo Hok, jadi presiden saja!
Konsep yang salah menghasilkan desain kuesioner yang error. Selanjutnya, kuis error. Hasilnya jungkir, paradoksal. Mestinya antar kuis itu memiliki kontrol kuis. Karena studi Indo Barometer hanya mengukur kuantitatif, yang sepenuhnya dari data primer polling, output-nya nyaris tak bisa dibaca. Kebanyakan bolongnya Pak Bro. Baiklah saya kutipkan analisis Syahganda, sebagai berikut: Capres 2019 dan Kuda Hitam: Catatan Atas Survei Indo Barometer (Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman (Anggota Komisi III DPR, Advokat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU)