Ekonomi

Menggugat Masalah Standar Kemiskinan Rakyat di Era Jokowi

angka kemiskinan, jokowi gagal, jokowi bohong, pemerintahan jokowi, 4 tahun jokowi, data statistik, badan statistik, kemiskinan era jokowi, pengangguran era jokowi, ekonomi era jokowi, garis kemiskinan, orang miskin indonesia, orang kaya indonesia, nusantaranews
Kemiskinan dan Pemerintahan Joko Widodo. (Foto: Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)

STANDAR kemiskinan masyarakat selama 4 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo patut dipertantanyakan. Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji secara lisan akan meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan, termasuk memberi subsidi Rp 1 juta per bulan untuk keluarga pra sejahtera sepanjang pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Selama 4 tahun ini Jokowi gagal raih pertumbuhan 7%. Karenanya, janji itu tak harus dilaksanakan.

Di dalam dokumen Nawacita Jokowi, tidak ada janji khusus terkait kemiskinan. Sementara di dalam RPJMN 2015-2019, Jokowi berencana mengurangi jumlah orang miskin. Menurunkan jumlah orang miskin Jokowi sudah berhasil, tetapi untuk 4 tahun berhasil hanya 1% atau 0,25% per tahun.

Baca juga: BPS Sebut Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2018 Capai 5,27 Persen

Segera setelah BPS mempublikasikan hasil survei kemiskinan per Maret 2018, rezim Jokowi mencitrakan diri dan membangun opini public telah berhasil mengurus masalah kemiskinan. BPS mengklaim, jumlah orang miskin Maret 2018 menurun hanya tinggal 25,95 juta orang atau 9, 82%, turun dari September 2017, yaitu 26,58 juta orang (10,12%). Untuk Maret 2018, angka rata-rata garis kemiskinan adalah Rp 401.220 per kapita/bulan, maka pengeluaran dalam sehari sebesar Rp 13.374.

Jokowi sendiri menggunakan forum Sidang MPR 16 Agustus 2018 untuk mengungkapkan keberhasilan penurunan orang miskin. Eks walikota Solo mengatakan, untuk pertama kalinya persentase kemiskinan Indonesia turun ke angka satu digit, yaitu menjadi 9,82% Maret 2018. ”Kami sudah berhasil menekan angka kemiskinan dari 28,59 juta atau 11,22% Maret 2015 menjadi 25,95 juta atau 9,82 % Maret 2018,” ujarnya.

Baca juga: Meragukan Data Statistik Resmi Soal Angka Kemiskinan Rakyat Indonesia

Kebanggaan rezim Jokowi juga ditunjukkan Menko PMK Puan Maharani. Ia tegaskan, penurunan angka kemiskinan ini menunjukkan program bantuan sosial memberikan manfaat bagi masyarakat dalam memperkuat ekonomi keluarga tidak mampu.

Kemudian Menkeu Sri Mulyani juga tidak mau ketinggalan. Ia juga angkat bicara.Ia dengan bangga memamerkan data statistik kemiskinan terbaru yang dirilis BPS. Menurutnya, capaian itu pertama dalam sejarah. Persentase kemiskinan Maret 2018 tercatat sebesar 9,82% jumlah penduduk. Beberapa era pemerintahan sebelumnya belum pernah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga di bawah 10% jumlah penduduk.

Baca juga: Pemerintahan Jokowi Disebut Paling Lambat Menurunkan Kemiskinan

Pemerintahan Soeharto baru mendekati angka 10% saat sudah memasuki Repelita Kelima, tapi harus terkena hantaman krisis moneter 1998 mengakibatkan angka kemiskinan melonjak ke kisaran 24%, 1998. Capaian terbaik orde baru hanya mencapai 11,3% penduduk. Begitu pun saat SBY. Tatkala dirinya menjabat Menkeu di era SBY, angka kemiskinan berada stagnan di kisaran 14-17%. “Jadi menurunkan angka kemiskinan di bawah 10% ini merupakan pencapaian tersendiri. Kami ingin menurunkannya lebih lanjut,” ujarnya.

Baca Juga:  Pj Bupati Pamekasan Salurkan Beras Murah di Kecamatan Waru untuk Stabilitas Harga

Data BPS tentang penurunan orang miskin ini benar-benar dimanfaatkan Rezim Jokowi untuk membangun opini publik bahwa rezim telah berhasil urus kemiskinan. Hal ini dapat dimaklumi, karena memang realitas obyektif, 4 tahun rezim ini berkuasa miskin prestasi dan keberhasilan untuk digunakan membangun opini publik. Apalagi mengingat sekalipun gagal urus pemerintahan, masih ingin menjadi berkuasa pasca Pilpres 2019.

Baca juga: Selama Empat Tahun Jokowi Gagal Mencapai Target Rasio Gini

Sesungguhnya, BPS tidak menyimpulkan, pemerintah telah berhasil urus kemiskinan. BPS hanya menyajikan data hasil survei.

Masalahnya, data penurunan jumlah orang miskin versi BPS digunakan rezim Jokowi digugat oleh sejumlah pihak. SBY, misalnya, menyebutkan masih ada 100 juta orang miskin di Indonesia dan ini menjadi masalah bagi pemerintah. Selanjutnya, Prabowo Subianto mengklaim tingkat kemiskinan di Indonesia naik 50 persen dalam 5 tahun terakhir.

Para penggugat menolak keras standar kemiskinan versi BPS dengan beragam alasan. Pertama, perhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini. Kedua, penghentasan kemiskinan rezim Jokowi dianggap gagal karena hanya mengukur status orang miskin dari kemampuan makan dua kali sehari.

Baca juga: Orang Miskin Hanya Turun 1% dalam 4 Tahun, Orang Kaya Naik 10% Per Tahun, APBN Rp 7000 Triliun untuk Siapa?

Ketiga, hanya mampu mengurangi 1% dalam kurun waktu 4 tahun. Keempat, tidak menganalisis korelasi antara angka kemiskinan dan kemampuan daya beli. Kelima, Rasio Gini tidak digunakan sebagai standar juga untuk melihat kondisi kemiskinan dan ketimpangan relatif.

Alasan perhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini datang dari ekonom Rizal Ramli. Sebagai Mantan Menko Perekonomian era Gusdur, ia memiliki pengalaman urus penghentasan kemiskinan di Indonesia.

Rizal Ramli membeberkan tentang hasil survei BPS dimaksud. Menurutnya, perhitungan dibuat BPS untuk menjustifikasi angka penurunan orang miskin terkesan menjebak. “Memang kita bisa main-main dengan statistik. Soal kemiskinan, BPS mungkin benar angka kemiskinan turun. Tetapi definisi kemiskinan dipakai kurang dari Rp 14 ribu per hari, hanya sekitar Rp 13.400,” katanya. Laporan tersebut turut mengindikasikan meningkatnya pengeluaran per kapita per bulan atau garis kemiskinan negara, naik 3,63% dari Rp 387.160 per kapita per bulan September 2017 menjadi Rp 401 220 per kapita per bulan Maret 2018.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Baca juga: Dibandingkan 6 Presiden Sebelumnya, Jokowi Paling Gagal Entaskan Kemiskinan

Jika dihitung lebih jauh, masyarakat Indonesia kini masih terbilang miskin adalah individu dengan pengeluaran dalam satu hari kurang dari Rp 13.374.

Rizal Ramli berpendapatperhitungan itu belum bisa merepresentasikan kondisi riil saat ini. “Coba kita pikir, dengan biaya Rp 13.400 itu masih belum cukup untuk biaya transportasi, listrik, dan macam-macam,” ucapnya.

Rizal menilai, jumlah tersebut terbilang rendah sekali jika dikomparasikan dengan standar kemiskinan menurut dunia internasional, USD 2, atau Rp 28.668 (Kurs Rp 14.334 per USD 1). Adapun nilai garis kemiskinan ditetapkan Bank Dunia adalah USD 1,9 per hari, atau sekitar Rp 27.234 untuk sehari. “Kalau kita pakai definisi USD 2, Rp 13.400 begitu rendah sekali. Jadi jangan bangga, Rp 13.400 sehari itu sudah lumayan,” katanya.

Baca juga: ISRI: Pemerintah Harus Punya Parameter Baru Angka Kemiskinan

Alasan hanya mengukur 2 kali makan sehari. Program pengentasan kemiskinan Jokowi dianggap gagal lantaran hanya mengukur status orang miskin dari kemampuan makan 2 kali sehari. Hal ditekankan Sekjen Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Moehammad. Jika ukuran orang miskin hanya dari ketidakmampuan memenuhi makan 2 kali sehari, maka program pengentasan kemiskinan diyakini sudah salah sasaran dan menimbulkan kegagalan.

Lihat saja, sambungnya, garis kemiskinan BPS hanya mencukupi kebutuhan 1 kali makan sehari untuk satu orang. Jadinya, setiap orang sehari mampu makan 2 kali, dinyatakan tidak masuk dalam kategori orang miskin.

Alasan hanya mampu mengurangi 1% untuk 4 tahun. Satu tulisan sangat kritis tentang standar kemiskinan ini datang dari Natalius Pigai. Baginya, setiap era pemerintahan berhasil menurunkan jumlah orang miskin. Habibie hanya setahun menurunkan orang miskin 1,1%. Gus Dur dua tahun menurunkan 5,01%. Megawati waktu singkat menurunkan 2,51%. SBY periode pertama menurunkan 2,51%; periode kedua 3,46%. Jokowi 4 tahun menurunkan hanya 1,1%.

Baca juga: BPS Klaim Kemiskinan Menurun, Apa Benar Penghasilan Sehari Rp 14.000 Tidak Disebut Miskin?

Ada memang muncul kritik angka-angka Pigai ini dikaitkan dengan jumlah penduduk berbeda masing-masing era. Sekalipun Jokowi berhasil menurunkan jumlah orang miskin, tetapi sangat minim yakni hanya 1,01 % untuk 4 tahun. Rata-rata pertahun 0,25 %. Ironisnya, dana negara habis untuk 1,01% ini Rp 7 triliun atau Rp 2 triliun per tahun. Sebaliknya, orang kaya naik 10% per tahun. Boleh disimpulkan, rezim Jokowi gagal urus orang miskin!

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Alasan tidak menganalisis kemampuan daya beli. Enny Sri Hartati dari INDEF mengkritik, pemerintah tidak menganalisis detail korelasi antara angka kemiskinan dengan kemampuan daya beli rumah tangga. Pemerintah mengklaim angka kemiskinan per Maret 2018 sebesar 9,82 % adalah terendah sejak 20 tahun, justru berbanding terbalik dengan tingkat daya beli rumah tangga semakin menurun. Secara logika ekonomi itu mestinya tidak mungkin. Jadi, yang namanya masyarakat miskin menurun, harusnya daya beli masyarakat meningkat. Dlm kenyataan, daya beli masyarakat kini merendah!

Alasan Ratio Gini dapat digunakan sebagai standar melihat kondisi kemiskinan dan ketimpangan relatif di suatu wilayah. Periode 2011-2015 misalnya, ketimpangan terjadi lebih tinggi di Indonesia. Nilainya meningkat dari 0,38 di 2010 menjadi 0,41 periode 5 tahun tersebut. Rezim Jokowi hanya mampu menciptakan Ratio Gini masih jauh dari target, mendekati 0,40 rata-rata. Versi BPS, September 2017, Ratio Gini 0,391. Tetapi, entah dari mana sumber data, pada Pidato Kenegaraan 2018, Jokowi mengklaim telah berhasil mencapai Ratio Gini 0,389. Namun, tetap saja masih belum mampu kembali pada kondisi 2010 dengan angka Ratio Gini hanya 0,38.

Baca juga: 5 Biang Kerok Daya Beli Masyarakat Terus Menurun

Apa maknanya? Jika dilihat bersamaan dengan orang miskin versi BPS, penurunan jumlah orang miskin memang terjadi, tetapi rezim Jokowi masih gagal mengatasi ketimpangan masih tinggi. Bahkan, ada penilaian, 4 tahun rezim Jokowi berkuasa, orang miskin turun 1%, sementara orang kaya naik 10%.

BPS mengakui, masih ada disparitas kemiskinan tinggi antara di kawasan pedesaan dgn perkotaan. Persentase penduduk miskin di pedesaan,Maret 2018, 13,2%, hampir 2 kali lipat dibanding di perkotaan 7,02%.

Rasio gini di pedesaan juga naik menjadi 0,324, Maret 2017 dan 0,32 September 2017. Sedangkan Ratio Gini di perkotaan turun menjadi 0,401, terendah sejak September 2018. “Kita punya banyak PR bagaimana supaya kebijakannya tepat sasaran,” jelas Suhariyanto saat paparan data kemiskinan, Juli 2018 lalu.

Uraian di atas menunjukkan, hasil survei BPS menyimpulkan penurunan kemiskinan dapat diterima. Tetapi, standar kemiskinan digunakan BPS mendapat gugatan atau penolakan. Meskipun ada penurunan jumlah orang miskin, tetapi Rezim Jokowi mencapai sangat minim, hanya 1 % untuk 4 tahun atau 0,25 % per tahun.

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, mantan dosen Sosiologi Pembangunan pada FiSIP Universitas Muhammadyah Yogyakarta (UMY) Medio 1980an

Related Posts

1 of 3,159