Soal Ancaman Perang Non Militer

ancaman non militer, perang non militer, ketahanan nkri, sishankamrata, kedaulatan negara, pertahanan negara, perang non militer, proxy war, ancaman keamanan, ancaman pertahanan, balkanisasi nusantara, serangan non militer, serangan nir militer, nusantaranews
ILUSTARASI – Perang non militer. (Foto: idealsvdr)

NUSANTARANEWS.CO – Dewasa ini, serangan non militer (proxy war) telah menjadi pilihan utama untuk menaklukkan negara bangsa. Serangan non militer Amerika Serikat dan NATO terbukti efektif ketika Uni Soviet dan blok komunis pada tahun 1989 runtuh berantakan tanpa ada senjata meletus, alih-alih peluncuran senjata nuklir. Uni Soviet hancur, diikuti bubarnya Pakta Warsawa pada tahun 1991.

AS kemudian melakukan hal serupa terhadap Yugoslavia. Di masa Presiden Josep Broz Tito, Yugoslavia adalah sebuah negara komunis yang sejahtera dan makmur. Tapi, serangan non militer AS berhasil menghancurkan negara Balkan tersebut sehingga peristiwa itu kemudian dikenal dengan istilah Balkanisasi. Skema yang sama ternyata juga digunakan AS untuk membubarkan NKRI. Namun gagal.

Baca juga: BIN: Waspadai Ancaman Proxy War dan Cyber War

Pelajaran menarik dari kasus Yugoslavia 1990 dan Republik Indonesia 1998 ialah soal kemampuan AS memprediksi masa depan suatu bangsa. Negeri Paman Sam mampu membaca tanda-tanda zaman dari suatu bangsa jauh sebelum bangsa itu sendiri menyadari masa depan bangsanya.

Boleh dibilang, AS sudah tahu masa depan satu bangsa, bahkan figur yang bakal menjadi pemimpinnya. Sehingga AS bisa memprediksi masa depan satu bangsa bila dipimpin oleh figur yang pas atau sesuai dengan ramalan zaman sejarah bisa menjadi ancaman bagi kepentingan nasional AS.

Hal itu dilakukan AS semata demi menjaga stabilitas kepentingan nasionalnya di masa depan. Tak mengherankan bila maping ancaman menjadi prioritas utama. Dan tak heran kiranya AS sangat menguasai sejarah suatu bangsa mulai dari mitos atau legenda sampai antropologi-sosioliginya, sehingga AS sangat menguasai watak dan karakter suatu bangsa, termasuk watak dan karakter bangsa Indonesia.

Baca juga: Ancaman Serius Proxy War dalam Kemajemukan Indonesia

Patut diakui, kebangkitan dan kemandirian Indonesia merupakan ancaman serius bagi kepentingan nasional Amerika Serikat. Ambil contoh kasus Soeharto. Ketika presiden RI ke-2 ini mulai tidak bisa diajak kompromi, maka dengan memanfaatkan momentum krisis moneter dunia, AS menggunakan tangan IMF membuldozer infrastruktur ekonomi Indonesia hingga rata dengan tanah. Hal ini diakui sendiri oleh Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus dalam wawancara dengan The New York Times, bahwa IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Dan pernyataan itu diamini oleh mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating. Kata Keating, AS memang sengaja menggunakan krisis ekonomi sebagai alat untuk menjatuhkan Soeharto.

Soeharto pun mundur dari presiden. Indonesia langsung jatuh miskin. Undang-undang 1945 diamandemen menjadi liberal. TNI dipecah-belah, bahkan diadu-domba sesama mereka. Tapi, NKRI masih utuh.

Baca juga: Mewaspadai Perang Non Militer

Belajar dari kasus itu, Indonesia perlu membangun sebuah paradigma baru sebagai doktrin sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) dalam menghadapi serangan non militer. Kita perlu konsepsi ketahanan nasional yang komprehensif dan integratif dengan semua bidang terkait, terutama ketahanan pangan dan energi yang harus menjadi bagian ketahanan nasional yang integral dengan kepentingan nasional sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini sesungguhnya dunia sedang dilanda pertempuran non militer yang sengit dalam lapangan pangan dan energi. Contoh paling aktual ialah gerakan Arab Spring. yang telah berlangsung sejak 2010 silam. Arab Spring bertarti juga kebangkitan dunia Arab, merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes besar-besaran yang terjadi di tanah Arab. Gerakan yang juga dikenal pemberontakan Arab ini dimulai sejak 18 Desember 2010 silam yang berhasil memicu terjadinya revolusi di Tunisia, Mesir, perang sudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, Yaman, protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi sendiri, Sudan dan Sahara Barat, bahkan hingga kersusuhan di Israel.

Baca juga:
Ketahan Pangan Indonesia Tergantung Impor
Indonesia Impor Pangan dari 40 Negara
Daftar Impor 29 Kebutuhan Pangan Pokok

Kini konflik, pertikaian dan perselisihan sipil terus meletus di wilayah timur Mediterania, dan telah menghancurkan kehidupan dan kesehatan masyarakat setempat. Di Yaman, Tunissia dan Mesir, menurut sebuah laporan studi menyatakan bahwa semua orang telah kehilangan harapan hidup selama tiga bulan, antara tahun 2010-2013.

Human Rights Watch melaporkan, sejak perang dimulai pada tahun 2011 silam, telah membuat jutaan rakyat Suriah terpaksa mengungsi dan mencari suaka politik ke sejumlah negara di dunia, termasuk Eropa. Setidaknya sudah ada 3,5 juta rakyat Suriah terpaksa mengungsi. (Bersambung…….)

Editor: Eriec Dieda (Artikel ini disunting dari makalah bertajuk Menatap Pembangunan Indonesia Abad 21: Sebuah Perspektif)

Exit mobile version