Budaya / SeniFeatured

Seperti Petani, Tugas Kritikus Tidak Sebatas Mengurus Tanaman

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Publikasi karya sastra khususnya puisi dan prosa di era digital semakin bertaburan. Munculnya nama-nama penulis sastra secara kuantitas bisa dibilang memungkinkan lahirnya kamajuan bagi sastra Indonesia. Namun demikian, kuantitas tidak selamanya beriring dengan kualitas.

Penyair Malkan Junaidi menilai lahirnya banyak penulis baru dengan karya baru yang tayang di sejumlah media setiap minggunya tidak serta merta dapat disebut sebagai kemajuan bagi sastra Indonesia mutakhir.

“Tidak. Tidak bisa begitu saja dianggap sebagai tanda kemajuan. Namun persoalan terbatasnya ruang pemuatan pada media massa cetak, khususnya koran, mendapatkan solusinya. Kita tahu, bahkan ada koran yang menutup sama sekali rubrik puisinya. Sedang untuk yang masih menyediakan, biasanya tak lebih dari sekali dalam satu minggu, padahal jumlah penulis yang ingin karyanya termuat begitu banyak,” terang Malkan saat dihibungi NusantaraNews melalui pesan Facebook, Senin (8/1/2018).

Malkan menambahkan, munculnya berbagai situs daring, entah itu koran, jurnal, atau media sosial membawa angin segar, kesempatan bagi para penulis untuk berkompetisi dengan cara baru.

“Melimpahnya produk yang bervariasi kualitasnya, dari yang inovatif, medioker, hingga klise bisa diatasi dengan penyehatan media melalui pembangunan mental penulis,” kata penyair asal Blitar itu.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Perlunya Kritikus dalam Paceklik Penulis

Dalam sejarah sastra Indonesia, lahir dan berkembangnya para penulis senantiasa dibarengi dengan adanya seorang kritikus sastra. Seperti yang Malkan sampaikan bahwa kritikus sastra itu selalu diperlukan.

“Kritikus sastra diperlukan sepanjang waktu, dalam paceklik penulis muda atau dalam keberlimpahannya. Seperti petani, tugas kritikus tidak sebatas mengurus tanaman, tetapi juga mengolah tanah dan membenahi segala yang terkait dengan keberhasilan kegiatan cocok-tanam,” ujar Aktivis Media Sosial itu.

Empunya buku puisi “Lidah Bulan” (2011) ini menyebutkan untuk bisa disebut sebagai kritikus sastra setidak-tidaknya memiliki kriteria tertentu seperti pengetahuan sinoptik tentang sastra, integritas, dan dedikasi pada kemajuan sastra.

“Seorang kritikus tak hanya harus mandiri dalam pemikiran, yakni memiliki perspektif unik mengenai sesuatu yang dikritiknya, tetapi juga harus objektif dan penilaiannya tak bisa dibeli,” ungkap sastrawan yang melahirkan buku puisi kedua “Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan Terhadapmu” tahun 2016 lalu.

“Di dunia banyak sekali. Di Inggris dan Amerika terutama. Di Indonesia ada beberapa. Boen S. Oemarjati dan Soebagio Sastrowardoyo dari era lampau. Saut Situmorang, Nuruddin Asyhadie, dan Ahmad Yulden Erwin bisa dianggap kritikus mumpuni saat ini,” imbuhnya.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Tatkala ditanya apakah dalam rentetan panjang sejarah sastra Indonesia melahirkan sosok kritikus muda? Pihaknya mengaku belum mengamatinya jika kualifikasi muda ialah yang berusia antara 20 hingga 30 tahun.

“Jika muda artinya mereka yang hari ini berada di rentang umur 20 hingga 30 tahun, saya tak tahu, tidak mengamati. Ada beberapa yang potensial, yang bisa diharapkan beberapa tahun mendatang tumbuh menjadi kritikus andal. Tak perlu saya sebutkan. Nanti meleset malah malu,” ujarnya sembari tertawa renyah.

Naruddin dan Hak Setiap Orang

Tak hanya itu, Sastrawan yang aktif bersuara di beranda Facebooknya juga mengatakan bahwa, sebenarnya dengan menulis kritik yang objektif dan kontekstual saja secara tak langsung seseorang sudah ikut serta dalam proses perawatan tersebut.

“Kritik terhadap lembaga pendidikan dan kebudayaan juga pasti secara tak langsung merupakan ikhtiar merawat tumbuh kembang penulis muda. Demikian pula kritik terhadap politik sastra yang dilakukan oleh para oportunis dan penulis-penulis yang memasuki masa ‘menopause’ kreatif namun tetap ingin tampil di panggung.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Menerut Malkan, siapapun berhak untuk menjadi seorang kritikus sastra atau kritikus-kritikus yang lain di luar sastra.

“Adalah hak setiap orang untuk menjadi kritikus apa pun. Narudin berhak bercita-cita menjadi kritikus sastra paling andal. Namun harus dikatakan, sejauh ini belum ada tulisan penyair asal Subang itu yang bisa kita banggakan, malahan kita cenderung malu memiliki kritikus yang tulisannya miskin analisis dan elaborasi serta kering dalam gaya ungkap seperti dia,” ungkapnya.

Tanpa tedeng aling-aling, Malkan menyatakan jika Narudin dikenal sering membuat klaim yang kelewat berani dan cenderung kurang ajar. “Terakhir dia (Narudin) mengklaim bahwa Chairil Anwar berhasil mencipta hanya beberapa puisi bagus, terjemahannya tidak baik, demikian pula prosanya. Klaim ini seperti biasa tak dia buktikan secara memadai,” ungkapnya lagi.

Hal lain yang tak mungkin diabaikan, sambung Malkan, adalah dukungannya yang tak main-main terhadap Denny Januar Ali.

“Dukungan ini sangat bermasalah sebab disinyalir sarat kepentingan sesaat. Secara pribadi saya menganggap Narudin adalah intelektual organik, kritikus upahan. Indonesia tak membutuhkan sosok sepertinya,” tegas Malkan.

Pewarta/Editor: Achmad S

Related Posts

1 of 21