Esai

Neurosains, Sastra dan Generasi Unggul

Neurosains
ILUSTRASI – Neurosains. (Foto: neurosciencenews.com)

Neurosains, Sastra dan Generasi Unggul

Oleh: Indah Noviariesta, pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa, alumni jurusan Biologi, Untirta, Banten

Sebagaimana mesin komputer, otak adalah jejaring material yang menghubungkan sel-sel melalui sinaps yang menghasilkan reaksi-reaksi biokemikal. Sedangkan pikiran terbentuk dari pengalaman hidup manusia, baik pengalaman yang menyenangkan, menyakitkan, amarah, kekecewaan, ketakutan, penuh tantangan, atau yang menggugah jiwa dan menggetarkan.

Sulit untuk ditelusuri secara ilmiah, bagaimana organ otak yang sehat (bergizi) dapat memengaruhi cara kerja pikiran. Meskipun para ahli biologi punya asumsi bahwa reaksi-reaksi biokemistri dalam organ otak, dapat menghasilkan getaran-getaran di dalam sel-sel otak. Itu artinya, setiap individu berbeda-beda dalam menyerap pengalaman hidup, dan sel-sel otak yang sehat mampu menyimpan memori dari pengalaman hidupnya dengan baik.

Ketika seorang dokter menyampaikan hasil diagnosa Stephen Hawking dalam film The Theory of Everything (2014), bahwa ia akan mengalami sakit permanen dan sebagian organ tubuhnya tak berfungsi lagi, Stephen masih punya harapan saat dokter menyatakan bahwa otaknya masih berfungsi, dan pikirannya masih tetap aktif.

Pikiran manusia memang tidak bisa ditangkap dan diobservasi melalui lensa mikroskop, tetapi para psikolog dan psikiater terus melakukan ekperimentasi untuk membaca fungsinya, melalui penelitian-penelitian ilmu psikologi, psikoanalisa, hingga psikologi analitis. Di era milenial ini, banyak terobosan dalam ilmu kejiwaan terus berinovasi dan menyosialisasikan hasil penelitiannya.

Banyak anak-anak Indonesia yang dinilai berbakat, tetapi ketika dihadapkan dengan anak-anak yang lebih cerdas dan jenius dari daerah atau di negeri lain, mereka merasa kesulitan menghadapi tantangan, dengan alasan bahwa persoalan yang dihadapi belum diajarkan di bangku sekolah.

Karena itu, menilai anak-anak sebagai pintar atau pandai, tidak bisa berlaku umum dan tetap. Belum tentu mereka sanggup menghadapi tantangan-tantangan baru di era milenial ini, dan belum tentu siap menghadapi kempetisi melawan anak-anak yang terbiasa melatih-diri dalam mengelola alternatif-alternatif baru yang lebih menantang kecerdasan otak dan pikiran sekaligus.

Anak-anak yang pandai di sekolahnya, cenderung menganggap dirinya tetap dan abadi (fixed mindset), tetapi ketika harus menyelesaikan problem-problem terbaru, mereka mudah mengeluh karena skill mereka, belum terbiasa menghadapi tantangan.

Di sisi lain, anak-anak pandai di sekitar kita mudah takut dan kecewa ketika menghadapi anak yang lebih pandai dari dirinya. Mereka cenderung introvert dan tak mau bergaul. Mereka tidak mau menganggap orang lain sebagai mitra, tetapi lebih pada rival atau pesaing yang dianggap kurang bersahabat. Meskipun dari sisi kecerdasan cukup diandalkan, tetapi dari sisi kemandirian, mereka kurang memiliki skill sebagai pejuang yang butuh pengorbanan.

Yang diperbincangkan dunia         

Membaca buku What’s the Future karya Tim O’Reilly (2017) mengingatkan kita pada pembahasan utama dalam pertemuan IMF-World Bank di Nusa Dua Bali beberapa waktu lalu. Sejalan dengan itu, modal dan investasi untuk menciptakan manusia-manusia unggul, juga telah menjadi pembahasan dalam ribuan artikel dan opini di media massa maupun online.

Tetapi, tidak sedikit dari para pemangku kebijakan dan stakeholders yang setengah hati dalam memerhatikan program ini, mengingat godaan dan rayuan yang menggiurkan untuk mengejar target yang bersifat jangka pendek (short term).

Padahal, program untuk membentuk anak-anak Indonesia berkualitas ini – meskipun jangka panjang – akan berdampak luar biasa, serta memberikan return amat tinggi untuk meningkatkan taraf kehidupan, dan dengan sendirinya membangun kebahagiaan hidup bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan mendasar dalam sistem pendidikan harus segera dibenahi. Asupan gizi dan protein bagi pertumbuhan otak anak, harus menjadi pengetahuan bagi orang-orang tua dalam program penyuluhan yang baik dan intensif.

Kita mengenal kecerdasan dan kejeniusan anak-anak Jepang, Korea hingga anak-anak Israel, terlepas dari aspek negatif militerisme negeri Israel. Tapi pada umumnya, bangsa-bangsa yang cerdas tidak serta-merta bangkit tanpa didukung oleh asupan-asupan gizi yang mencukupi bagi pertumbuhan anak-anak mereka.

Kebiasaan anak-anak Israel maupun Jepang dalam mengonsumsi ikan, sudah menjadi tradisi yang turun-temurun diwariskan oleh nenek-moyang mereka. Sementara negeri kita, yang notabene adalah kepulauan (arsipel), dan di setiap laut memiliki kandungan ikan yang melimpah, masyarakatnya seakan dibiarkan miskin ilmu, betapa protein dalam ikan sangat bermanfaat bagi pertumbuhan organ otak anak-anak didik kita?

Kita bisa membaca arah pembahasan dari topik utama pertemuan IMF-World Bank di Bali, yakni tentang tatanan dunia baru serta keuangan dunia yang terdisrupsi. Kini, wajah pekerjaan manusia di masadepan bukan menjadi bahan perdebatan lagi, tetapi sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi bersama.

Menyikapi arus perubahan

Disadari atau tidak, saat ini umat manusia sedang berada di depan pintu gerbang perubahan yang amat besar. Kita hidup di tengah inovasi besar yang menyebabkan segala hal yang diperbuat di masa lalu menjadi ketinggalan zaman. Bagaimana mungkin bersikukuh dengan mindset lama, wong jalan-jalan tol baru, rel kereta baru, uang elektronik, bandara dan terminal baru, belanja dan mal online, semua diikuti dengan perubahan besar perilaku dan tuntutan baru.

Satu pekerjaan hilang, banyak pekerjaan baru yang lebih manusiawi muncul. Bagi masyarakat yang secara psikologis mudah beradaptasi dengan perubahan, keterpaksaan terhadap hal-hal baru bisa diterima oleh akal sehat, dan lambat laun bisa dinikmati. Tetapi, bagi orang yang skeptis dan menolak peradaban baru, mereka akan terlambat beradaptasi. Mereka itulah yang disebut kelompok laggards.

Untuk mengatasi manusia jenis ini, kadangkala kekuasaan harus intervensi agar mereka bersikap legowo dan rendah-hati untuk memasuki pintu perubahan. Tapi tidak jarang juga, justru masih banyak birokrat di pemerintahan kita yang latah dan panik menghadapi arus perubahan, seakan-akan memproteksi diri secara berlebihan.

Padahal dalam fakta sejarah, perlahan-lahan teknologi itu bergerak sesuai hukum alam dan tuntutan zaman, menggeser dan menggantikan tenaga-tenaga manusia. Kenapa harus dikhawatirkan jika hal tersebut membuat manusia menjadi lebih manusiawi?

Mengutip pernyataan Hafis Azhari saat acara bedah buku Pikiran Orang Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, bahwa kita tak perlu menangisi hilangnya ribuan pekerjaan yang terncam gulung tikar. Bumi ini maha luas, dan rezeki Tuhan tiada terhingga. Jangan sampai mengembangkan sikap paranoid,seakan-akan besok akan datang hari kiamat. Juga tak perlu membangun imajinasi banal seperti Arthur Fleck (tokoh utama dalam film Joker).

Pada prinsipnya, sejak zaman penemuan mesin uap hingga revolusi mesin cetak, memang tidak ada yang menyamai dahsyatnya perubahan dibanding era revolusi digital saat ini. Dilaporkan oleh badan internasional PBB, sejak saat ini hingga memasuki tahun 2030 nanti, diperkirakan tidak kurang dari 2 miliar manusia akan kehilangan pekerjaan di seluruh dunia.

Karena itu, perlu dilatih ulang SDM masyarakat Indonesia pada pekerjaan-pekerjaan alternatif yang menjanjikan, seperti dunia agraria, peternakan dan perikanan, kelautan, serta jasa-jasa lain yang masih sangat dibutuhkan.

Masyarakat juga perlu berpikir ulang (rethinking) mengenai pekerjaan yang layak dan harus ditekuni pada hari ini. Pendidik dan orang tua harus bisa mengarahkan dan melatih anak-anak didik agar menjadi pekerja mandiri, menjelajahi profesi-profesi baru untuk menghadapi tantangan ke depan.

Related Posts

1 of 3,052