Esai

ISIS, Sastra dan Kemiskinan Imajinasi

Akankah Iran Memainkan Kartu “Truf ISIS”
Akankah Iran Memainkan Kartu “Truf ISIS”

ISIS, Sastra dan Kemiskinan Imajinasi

Oleh: Muhamad Muckhlisin, Esais dan kriktikus sastra, pemenang pertama lomba cerpen nasional yang diselenggarakan harian Rakyat Sumbar (2017)

Saya pernah mengunjungi komunitas warga Baduy di Kanekes, Lebak, Banten Selatan. Suatu penduduk berpopulasi belasan ribu jiwa, tak pernah bersentuhan dengan ajaran syariat Islam maupun Kristen, tetapi konsisten memegang-teguh ajaran nenek-moyang agar menjaga dan melestarikan alam dengan sebaik-baiknya. Mereka mempunyai aturan tradisi yang menjadi kesepakatan umum bahwa tiap-tiap warga tidak boleh menyakiti sesamanya, tidak boleh melakukan perusakan, juga tak boleh melanggar aturan yang mengusik kebersamaan. Kehidupan mereka tenteram dan damai, tak saling mengusik dan menyakiti sesamanya. Jikapun ada pengecualian – meskipun jarang terjadi – seorang pemuda yang melanggar aturan akan dihadapkan kepada Kepala Suku (Pu’un) untuk dikenakan sangsi hukum.

Pada prinsipnya, setiap agama formal yang disahkan di republik ini, mestinya merasa malu jika sebagian dari pemeluknya tega melakukan tindakan anarkis dan amoral yang membuat citra buruk terhadap identitas keberagamaan itu sendiri. Padahal, tanpa bersentuhan dengan agama formal apapun – seperti penduduk Baduy di Lebak tadi – mereka memahami arti penting hidup kebersamaan, menjaga solidaritas, dan tentu jauh dari tindakan-tindakan anarkisme dan radikalisme yang mengganggu tatanan keseimbangan.

Sementara itu, para pelaku tindakan teror yang seumumnya adalah penganut agama formal yang disahkan negara, jika menukil dari perjalanan tokoh dalam Pikiran Orang Indonesia, erat kaitannya dengan miskinnya bangsa ini dalam menalar dan berpikir rasional. Dunia pendidikan wajib mengutamakan kemampuan siswa agar berpikir logis dan rasional. Karena otak dan perkembangan pikiran anak-anak bersifat plastis dan mudah dibentuk, maka struktur otak dapat berubah akibat kondisi lingkungan yang berubah-ubah pula.

Setiap lembaga pendidikan (dan pesantren) perlu menciptakan situasi yang kondusif agar terjadi pemekaran otak anak-anak didik kita, hingga nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan mesti menjadi acuan utama bagi pemenuhan sistem pengajaran dan pendidikan di negeri ini.

Corak Radikalisme Indonesia

Bentuk radikalisme yang terjadi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir, seumumnya berkaitan dengan ajaran sang guru (mursyid) yang mengarahkan anak-anak didiknya pada jalan tertentu yang dianggak suci dan kudus. Jarang terjadi bentuk radikalisme lone wolf yang berdasar inisiatf pribadi, tanpa berhubungan dengan ajaran jamaah tertentu.

Jika kita pernah menyaksikan film “Executor” (Moziko Wind), ketika seorang pendeta Kristiani merekrut anak-anak didiknya agar berlatih bela diri dan menggunakan senjata, lalu diturunkan ke tengah masyarakat agar memberantas orang-orang yang berbuat maksiat. Sang tokoh utama bertugas untuk memberantas kejahatan, memasang bom di bar, café, bahkan membunuh para pelaku ekonomi kapitalis yang memakan harta riba.

Selama masa pendidikannya di gereja-gereja eksklusif di pedalaman, masa kecil sang tokoh dijauhkan dari kegiatan atau siaran-siaran televisi yang bersifat menghibur. Berita politik lebih diutamakan, khotbah-khotbah di gereja lebih mengacu pada ayat-ayat yang membenarkan tindakan anarkisme. Ketika tumbuh dewasa, ia membawa “misi suci” yang diperintahkan sang pendeta, agar bumi ini dibersihkan dari segala kejahatan dan kemaksiatan.

Dibekali dengan semangat kebenaran (truth claim), setiap tindakan teror yang dilakukannya didasarkan atas keyakinan dan kepercayaan pada petuah sang induk semang, dengan ketaatan mutlak dari para abdinya. Tetapi pada akhirnya, Tuhan punya rencana sendiri, yang boleh jadi kita menyukai sesuatu tetapi Dia tidak menyukainya. Mungkin saja kita tidak menyukai sesuatu tetapi Tuhan ternyata menyukainya.

Situasi yang sangat dilematis dialami sang tokoh ketika ia harus mengasuh seorang anak kecil yang ibunya tewas, karena bom yang diledakkannya di sebuah toko. Tuhan punya kehendak lain, ketika sang anak yang diasuh tersebut, satu dasawarsa kemudian menyadari peran sang induk semang (pastor gereja) yang memberikan “fatwa” kepada sang tokoh, yang dulu menyebabkan kematian ibunya. Saatnya kebenaran yang menjadi kehendak Tuhan berlaku, bahwa pembunuhan itu pasti akan dibalas oleh ahli warisnya.

Miskin Imajinasi

Film “Executor” menggambatkan secara detil perihal anak-anak bangsa yang miskin imajinasi. Sebagaimana tokoh-tokoh dalam novel Pikiran Orang Indonesia, mereka direkrut, dididik, dan diarahkan menjadi manusia-manusia “seutuhnya”, yang dalam perspektif Orde Baru adalah manusia satu dimensi dengan menolak adanya dimensi-dimensi lainnya.

Maka, jadilah tokoh-tokoh semisal Arif yang menerima bulat-bulat setiap petuah atasan, tanpa mempertimbangkan benar atau salah (sebagaimana para pengikut ISIS). Juga tak mampu mengukur risiko, apakah akan berdampak baik ataukah buruk. Beda dengan tokoh Haris yang terus menghidupkan nalar dan imajinasinya. Hingga ketika menerima perintah yang berseberangan dengan tuntutan nuraninya, ia berani memutuskan untuk menolak perintah tersebut.

Bangsa yang masih terkungkung oleh bayang-bayang militerisme dan otoritarianisme, memang membutuhkan waktu untuk dapat mencerna kualitas karya sastra semisal Pikiran Orang Indonesia. “Tak ada masalah. Saya menulis apa yang harus dituliskan untuk pemekaran kedewasaan masyarakat kita,“ demikian ujar Hafis Azhari, “Perkara masyarakat mau memahaminya lima atau sepuluh tahun ke depan, itu soal lain. Yang penting saya sudah berbuat apa yang sebaiknya diperbuat untuk kebaikan bangsa ini.”

Kiranya benar apa yang pernah disampaikan aktivis Koordinator Kontras, Malik Feri Kusuma dan KH Chudori Sukra, dalam beberapa opininya di harian Kompas, bahwa bangsa yang miskin imajinasi (lebih tepatnya: dimiskinkan secara imajinatif) selama 32 tahun, memerlukan adanya paradigma seni atau software sastra di dalam benaknya. Memahami kualitas sastra yang baik memang memerlukan pendidikan yang baik dan berkualitas pula.

Di sinilah tantangan universalitas sastra dipertaruhkan di negeri ratusan juta jiwa ini. Tak akan lahir karya-karya terbaik dari bangsa ini, selama mereka tidak diperkenalkan oleh karya-karya anak bangsa yang keluar dari tempurung induk semang, lalu berani mencipta baru secara out of the box. Selamat berjuang!

Related Posts

1 of 3,062