NusantaraNews.co, Jakarta – Puisi adalah suara jiwa manusia dengan dimensi ruang dan waktu yang tak terbatas sekaligus tak berbatas. Bahasa dalam puisi memiliki kekuatan batin, energi alam semesta dan getar kehidupan.
Bahkan, bahasa tutur yang keluar dari lidah si penyairnya sendiri bisa menjadi doa yang didengar dan diijabahi oleh Tuhan. Berikut ini pengalaman puitik yang begitu dengan maut.
Pertama, Penyair Hamid Jabbar dan Puisinya. Hamid Jabbar, Penyair yang meninggal dunia pasa Sabtu malam, 29 Mei 2004 silam. Ia meninggal di atas panggung saat baca puisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tepatnya, empat puluh lima hari setelah ia berkata kepada teman-temannya yang mencemaskannya ketika penyakit diabetesnya kambuh, “Jangan khawatirkan kesehatanku. Cita-citaku, kalau tidak mati di depan Ka’bah di Mekkah, ya mati di atas panggung.” Berikut ini salah satu puisi Hamid Jabbar yang dekat sekali kematian.
AROMA MAUT
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!
(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)
Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!
(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)
Kedua, penyair berjuluk Burung Merak, WS Rendra. Berikut ini puisi terakhir Rendra yang ditulis menjelang ia Wafat 6 Agustus 2019
TUHAN, AKU CINTA PADAMU
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
Rendra
31 July 2009
Mitra Keluarga
Ketiga, Penyair pendiri PPM Hasyim Asy’ari, Zainal Arifin Thoha (ZAT). Ia merupakan penyair yang banyak menulis puisi-puisi religius. Salah satu puisi monumentalnya ialah puisi yang ia tulis menjelang hari kematiannya di sisi jendela di rumahnya. Berikut ini puisi karya Zainal Arifin Thoha:
CIUMAN TERAKHIR MENJELANG KEMATIAN
di bawah matahari yang meledakledak
keringat begitu keras melumuri tangan malaikat
dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang wajahmu dengan gaib asmaradana
“tuhan, beri aku ciuman sebelum nyawa erenggang
“meninggalkan tanah surga yang jalang rupawan”
dan matahari mulai lingsir kesebelah wuwung
malaikat merayap-rayap mencari letak nyawa
tangis begitu mengharap hingga ini kamar bagai debur gelombang
tangan menggapai meraih-raih alam lain yang penuh camar
“tuhan, beri aku ciuman biar segera melesat ini sukma dan terlemparlah bangkai badan dari biru semesta”
Keempat, adalah puisi yang ditulis oleh sang Begawan NU dari Malang kakni Kiai Tolchah Mansoer. Berikut ini isi puisi gubahan Kiai Tolchah beberapa saat sebelum wafat.
[…………]
Langkah panjangku
Telah lama kuukur
Aku tak tahu berapa lagikah
Hari-hariku telah berlalu
Dan berapa hari lagikah
Sudah dekatkah
Langkah-langkahku akan berhenti
Dan apakah hari-hariku
Hingga hari ini
Kelima, Puisi yang ditulis oleh Soe Hok Gie. Dia aktivis yang suka menulis dan naik gunung. Dan begini akhir perjalanan Soe: 15 Desember 1969, Soe Hok Gie bersama kawan-kawannya Herman Lantang, Abdul Rahman, Idhan Lubis, Aristides Katoppo, Rudy Badil, Freddy Lasut, Anton Wiyana berangkat menuju Puncak Semeru melalui kawasan Tengger. Soe Hok Gie ingin bisa merayakan ulang tahunnya yang ke 27 di atap tertinggi Pulau Jawa tersebut. Tanggal 16 Desember, di tengah angin kencang di ketinggian 3.676 meter (dari atas permukaan laut), Hok Gie, Idhan, Rahman terserang gas beracun. Hok Gie dan Idhan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan nyawa mereka tidak sempat tertolong. Puisi Catatan Seorang Demonstran di bawah ini merupakan puisi pamungkas yang ia tulis, tepatnya pada Selasa, 11 November 1969 tak lama sebelum ia meninggal.
CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah,
Aada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Wiraza,
Ttapi aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu sayang ku….
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala Wangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisi mu manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang menang
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu
Selasa, 11 November 1969
Editor: Ach. Sulaiman