ArtikelKolom

Menelusuri Jalur Kritis Penghematan Pertamina Pasca Pembubaran Petral dan Eksistensi ISC

pasca pembubaran petral, pembubaran petral, mafia migas, mafia migas pertamina, penghematan pertamina, pengganti petal, isc, aset petral
Petral. (Foto: Ilustrasi/bataraonline.com)

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

NUSANTARANEWS.CO

Sebagai tindaklanjut pembubaran PT. Pertamina Trading Limited (Petral) pada tanggal 13 Mei 2025, yaitu entitas bisnis yang telah dituding sebagai tempat bercokolnya mafia migas dan biang permasalahan atas pemborosan (inefisiensi dan inefektifitas) selama puluhan tahun, semestinya ada berbagai perubahan yang terjadi pada Pertamina. Perubahan yang terjadi di Pertamina itupun telah disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) saat itu (sebelum direshuffle), yang kemudian juga diperkuat oleh pernyataan M. Said Didu sebagai Staf Khusus Menteri ESDM dan Faisal Basri sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, yang salah satunya menyampaikan bahwa, pembubaran Petral telah menghasilkan penghematan Rp 250 Milyar per harI. Soal penghematan yang telah terjadi di Pertamina ini perlu dijelaskan kepada publik supaya terang benderang dan sebagai bahan masukan dalam kegiatan debat Calon Presiden tahap ke-2 yang akan mengambil topik salah satunya adalah sektor energi. Tentu saja kepastian soal data penghematan Pertamina Rp 250 Milyar per hari tersebut akan menjadi permasalahan tersendiri bagi Presiden yang harus segera diselesaikan sebagai upaya mengantisipasi jangan sampai Presiden Joko Widodo menjadi pesakitan dalam masa kampanye Pemilihan Presiden Tahun 2019.

Logika penghematan yang disampaikan itu dalam bahasa orang awam dan menurut teori manajemen produksi, yaitu Analisa JALUR KRITIS (Critical Path Analyzis) yang dikembangkan oleh Morgan E. Walker dari Dupont dan James E. Kelly, Jr. dari Remington Rand yang mencermati kegiatan kritis pada suatu proyek, secara sederhana juga dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Apabila yang disampaikan oleh mantan Menteri ESDM Sudirman Said (yang kemudian digantikan oleh Ignasius Jonan) ini, bahwa transaksi impor minyak yang beredar tiap hari sebesar $US 150 juta atau setara dengan Rp 1,7 Trilyun per hari, maka setelah pembubaran Petral, Pertamina bisa menghemat sebesar $US 22 juta (setara Rp 250 Milyar) per hari. Berarti telah terjadi jumlah penghematan Rp 7,25 Trilyun per bulan atas transaksi dengan pemasok (trader) yang menjadi pengeluaran atau beban biaya (cost) Pertamina untuk memenuhi jumlah konsumsi migas dalam negeri. Keberhasilan penghematan per bulan ini lebih besar dibanding laba yang dibukukan oleh Pertamina pada tahun 2018 yang hanya mencapai sebesar Rp 5 Trilyun. Pertanyaannya, jika telah berhemat, kenapa laba Pertamina justru semakin turun?

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Baca Juga:

2. Apabila angka penghematan Rp 250 Milyar per hari itu jika ditelisik pada pos pengeluaran yang selama ini terjadi, maka penghematan yang berhasil dicapai Pertamina itu terjadi pada pos pengeluaran atau biaya apa saja perinciannya? Angka ini bisa ditelusuri melalui cara sederhana dalam konteks manajemen Rumah Tangga (RT), misalnya sebuah RT setiap hari mengeluarkan belanja untuk kebutuhan sehari-hari Rp 1.000.000 dengan berbagai kebutuhan pokok yang dibeli. Dengan mengurangi belanja untuk kebutuhan tertentu, maka RT ini berhasil melakukan penghematan sebesar Rp 250.000 per hari, artinya kebutuhan belanja per hari menjadi Rp 750.000. Apabila pendapatan RT ini per bulan adalah Rp 25 juta dan habis dibelanjakan, maka dengan penghematan per hari tersebut otomatis terdapat ada sisa atau saldo belanja Rp 7,5 juta per bulan (sebulan 30 hari) yang dapat ditabung. Dengan begitu, belanja RT per bulan berkurang menjadi Rp 17,5 juta, dan inilah yang disebut dengan penghematan. Lalu bagaimana dengan penghematan yang terjadi di Pertamina?

3. Berdasar kalkulasi penghematan per hari tersebut, maka publik menunggu kejelasan atas perbedaan mekanisme pengadaan migas yang selama ini berjalan melalui mafia migas yang dituduhkan kepada Petral dan mekanisme pengganti Petral yang diperankan oleh struktur Integrated Supply Chain (ISC). Mengacu pada teori analisa jalur kritis proyek pengadaan migas di Pertamina, selanjutnya apakah ada perbedaan mekanismenya, apakah ada perubahan jumlah para pemasok dalam daftar pengadaan migas di Pertamina? Apakah pemasok dan jumlah pemasok (trader/vendor) yang selama ini bekerjasama dengan Pertamina sebelum Petral dibubarkan adalah pihak yang sama yang kemudian berhubungan dengan struktur ISC ataukan berbeda? Apakah ada perbedaan harga pembelian migas yang direalisasikan lebih murah atau sebaliknya? Melalui cara ini, dapat dipastikan bahwa mafia migas yang selama ini terdapat disekitar Holding BUMN Migas ini memang telah hilang atau tidak berkurang sama sekali.

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

4. Selain itu, penghematan yang kemungkinan terjadi pada Pertamina tersebut juga dapat terlihat dari melihat selisih antara besaran harga pembelian migas dari pemasok dengan harga penjualan migas per hari yang terjadi. Apakah jumlah beban pengeluaran atau biaya (cost) atas pengadaan migas masih tak berubah, ataukah hasil penjualan migas ke konsumen yang berubah atau turun, selisih lebih atau kurangnya adalah jawabannya. Jika tak terjadi selisih lebih, oleh karena itu patut diduga mantan Menteri ESDM Sudirman Said dan Staf Khususnya M. Said Didu serta Faisal Basri yang merupakan mantan Tim Reformasi Tata Kelola Migas telah melakukan tindakan pembohongan kepada publik dan Presiden atas adanya penghematan Rp 250 Milyar per hari tersebut.

5. Dan, dengan demikian patut diduga mafia migas yang dituduhkan kepada Petral tidak hilang, melainkan telah berganti nama menjadi ISC. Oleh karena itu patut diminta klarifikasi kepada Pertamina melalui struktur ISC ini siapa saja para pemasok (trader/vendor) yang ada saat ini sehingga tak ada perbedaan harga pembelian migas dari daftar pemasok untuk pengadaan migas di Pertamina?

6. Apabila memang dapat dipastikan bahwa penghematan atas pengadaan migas oleh sejumlah daftar pemasok di Pertamina melalui ISC ini telah terjadi di satu sisi, sementara beban pengeluaran atau biaya pembelian (HPP) migas Pertamina kepada pemasok secara akuntansi (berdasar laporan keuangan) tak berubah di sisi yang lain, maka patut dipertanyakan kemana aliran angka penghematan yang tidak dibukukan ini dialokasikan dan didistribusikan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi atas perintah konstitusi ekonomi, pasal 33 UUD 1945.

7. Pembubaran Petral seharusnya mampu menjawab efektifitas dan efisiensi (penghematan) serta pemberantasan mafia migas yang selama ini mengganggu harga dasar pembelian sebagai pembentuk Harga Pokok Penjualan (HPP) Pertamina dan harga jual ke konsumen atau masyarakat. Apakah ada penurunan harga jual BBM ke konsumen secara signifikan selama ini selain kebijakan BBM Satu Harga?

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

Publik berhak mendapatkan informasi yang transparan, apabila kalkulasi penghematan Rp 250 Milyar per hari inipun ternyata tak berdampak pada harga jual BBM ke konsumen menjadi lebih murah. Disaat harga keekonomian minyak dunia turun dari $US 100 menjadi $US 61,5 per barrel seharusnya penghematan Rp 250 Milyar per hari atas pembubaran Petral ini juga berpengaruh pada harga jual BBM ke konsumen. Dengan tidak adanya perubahan atas pelayanan harga BBM kepada konsumen, maka patut diduga pembentukan ISC hanyalah sebagai pengganti peran Petral tetap membuat pemborosan di Pertamina. Maka dari itu, publik berhak curiga bahwa ISC adalah bentuk baru dari mafia migas di Pertamina.

Supaya kecurigaan publik terhadap eksistensi ISC ini tak mengarah pada fitnah pembohongan publik atas adanya mafia migas baru, oleh karena itu Pertamina perlu segera menjelaskan secara transparan kepada publik sebagai langkah menjaga citra Pertamina dan nama baik Direktur Utama Pertamina yang baru menjabat selama kurang lebih 4 (empat) bulan sejak ditunjuk melalui RUPS tanggal 29 Agustus 2018. Dan (ini lebih penting) jangan sampai publik menuduh adanya indikasi korupsi yang telah dilakukan oleh mantan Direktur Utama Pertamina saat itu yang saat ini menjabat Ketua SKK Migas, yaitu Dwi Soetjipto dan Presiden. Apalagi jika permasalahan ini muncul dalam masa kontestasi Calon Presiden (Capres) di tahun politik 2019 dan pada tanggal 17 Februari 2019 memasuki kegiatan debat Capres tahap kedua yang salah satu temanya membahas soal Energi. Bisa dipastikan akan menyudutkan posisi Presiden Joko Widodo sebagai petahana (incumbent) dalam menjawab soal data dan fakta penghematan yang terjadi atas pembubaran Petral ini serta dapat dipastikan bahwa Capres lainnya akan menyulitkan posisi Capres petahana.[]

Related Posts

1 of 3,151