Opini

Memaknai Kontroversi LGBT dengan Hermeneutika

Pemahaman tentang LGBT jika ditinjau dari makna tentang pelarangannya memang perlu merujuk kembali kepada kisah Nabi Luth ‘Alaihi Salam. Tulisan ini tidak akan membahas kepada bagaimana kondisi hukum di Indonesia dari hasil putusan MK, kontroversinya di kursi DPRD tentang apakah melegalkan LGBT atau membiarkannya berkembang, juga terhadap hukum normatif fikihnya, yang (sebenarnya) sudah jelas diharamkan. Tulisan ini akan ‘coba-coba’ membawanya dalam diskursus hermeneutika al-Qur’an, tentang bagaimana memahami makna pokok mengenai LGBT sebagai keniscayaan dari Allah, namun di sisi lain jika dibiarkan begitu saja, bisa mendangkalkan moral manusia secara umum.

Menurut Jorge J.E. Gracia, hermeneutika merupakan sebuah teori pengembangan interpretasi tekstual (the development of textual interpretation). Gracia menyatakan bahwa teks merupakan entitas historis, bahwa teks yang dibawa author-nya muncul pada waktu dan tempat tertentu. Maka, teks merupakan bagian dari masa lalu, dan ketika seseorang mencari sumber masa lalu, tentu harus ‘kembali’ ke masa lalu. Kegelisahan Gracia adalah, ketika ada sebuah teks, problem pambaca adalah tidak bisa mendapatkan maknanya secara langsung tehadap teks yang dibacanya, termasuk al-Qur’an – di masa sekarang.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Baca juga: PKC PMII Aceh, Kami Tidak Toleran Terhadap Pelaku LGBT

Ayat tentang LGBT, setidaknya dari satu atau beberapa ayat saja, bisa memahamkan maksud dari perdebatan tentang LGBT (bukan sebagai fatwa). Adalah Q.S. al-A’raf; 80-81 sebagai interpretandum (maa fin nash), pembaca/penulis sebagai penafsir, dan penjelasan dalam tulisan ini sebagai interpretans (maa haula nash) yang merujuk dari sumber-sumber tafsir klasik mengenai asbab nuzul dan munasabah ayat untuk memahamkan.

Menurut Ibnu Katsir, asbab al-nuzul ayat tersebut (al-A’raf;80-81) adalah ketika Nabi Luth yang sudah beriman kepada Nabi Ibrahim, diutus ke daerah Syam oleh Allah SWT, yang pada saat itu moral kaumnya rusak (jahiliyah), yaitu kaum Sadum (sodom), mereka bersetubuh sesama laki-laki (homoseks), dan perbuatan itu belum pernah sama sekali dilakukan sebelumnya oleh kaum Nabi manapun.

Baca juga: LGBT di Aceh, PMII: Tidak Bisa Dimaafkan Jika Merajalela

Tugas seorang Nabi tentu untuk menegakkan perbuatan terpuji, Nabi Luth akhirnya heran dan bertanya kepada kaumnya saat menegtahui kaumnya homoseks, pertanyaannya; ata’tuunal fahisyata maa sabaqakum biha min ahadin minal ‘alamin. Menguak entitas historisnya (asbab nuzul), seseorang akan mampu mengetahui maksud historis sebuah teks. Maka, dari pertanyaan Nabi Luth kepada kaumnya, sudah bisa terdeteksi secara historis bahwa homoseks merupakan perbuatan fahisyah (keji/menyimpang), di sisi lain mungkin Nabi Luth merasa aneh ketika melihat sesama laki-laki melakukan hubungan badan, karena memang hal tersebut belum pernah dilakukan oleh kaum manapun sejak masa Nabi Adam.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Keterangan dalam Tafsir Jalaalain (sebagai interpretans), lafadz minal ‘alamin dalam Q.S. al-A’raf; 80 (sebagai interpretandum) mempunyai makna; al-insi wal jinni (manusia dan jin). Artinya, bahwa perbuatan kaum Sadum yang homoseks, belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perdaban manusia dan jin (makhluk gaib). Bisa diasumsikan bahwa homoseks (dan sejenisnya) merupakan perbuatan yang menggelikan dan keji, terlepas dari hasrat seksual murni yang diciptakan Allah SWT terhadap ciptaan-Nya.

Baca juga: Pakar Ilmu Keluarga IPB Sebut Ada Upaya Sistematis Agar LGBT Dilegalkan

Dalam Q.S. Huud; 79 (sebagai interpretans) penawaran Nabi Luth kepada kaumnya merupakan bentuk simbol kasih sayang seorang pemerintah kepada warganya, bahwa untuk ber-empati terhadap LGBT adalah dengan jalan mencoba menyembuhkan penyakit tersebut, dengan cara yang berlaku sesuai norma, baik temporal maupun universal, bukan malah mendukung perkembangannya semakin merayap dengan dalih HAM (yang kadang juga tidak tepat sasaran, ada juga yang gagal paham), apalagi sampai melegalkan pernikahan sesama jenis, bisa dibayangkan.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Menilik soal hasrat, homoseks yang terjadi pada masa Nabi Luth merupakan hasrat murni seseorang, dan lesbian, biseksual, dan transgender, merupakan perbuatan yang sejenis dengan liwath.

Baca juga: Soal Award LGBT, PB HMI: Indonesia Jangan Seperti Negeri Pompei

Meaning function-nya, bahwa perbuatan homoseks tidak pernah dilakukan manusia dan jin sebelumnya, kemudian seketika Nabi Luth menilai perbuatan tersebut merupakan perbuatan keji, karena ‘dirasa’ aneh. Bentuk kasih sayang Nabi Luth kepada kaumnya adalah dengan ‘menawarkan’ putri-putrinya untuk dinikahi. Jika ditarik untuk masa sekarang, bentuk kasih sayang dapat berupa membawa kaum LGBT ke badan rehabilitasi dan mencoba menyembuhkan dan mencarikan pasangan yang sesuai, dengan lawan jenis dan secara halal, simple tapi absurd. Terimakasih. Wallahu A’lam.

Penulis: Ade Chariri, PC PMII Bantul, Mahasiswa Pascasarjana UIN SUKA Jogja

Related Posts

1 of 4