Budaya / SeniCerpen

Melati Kuning – Cerpen Gusti Trisno

NUSANTARANEWS.CO – Aku duduk di serambi masjid menunggu lalu-lalang para jamaah yang tak pernah henti berkomunikasi dengan-Nya di rumah-Nya yang begitu indah. Entah, mereka benar-benar sholat atau hanya mengagumi keadaan struktur bangunan yang memiliki emas 24 karat. Aku tak tahu dan tak ingin tahu.

Dari lalu-lalang beberapa pengunjung (atau jamaah sholat) aku seperti melihat sosok perempuan yang ada dalam masa laluku. Ah. Letih rasanya, jika membicarakan sosok perempuan itu. Pasalnya sudah bertahun-tahun, kutulis surat pun kulakukan. Tak sedikit pun ada balasan.

Dengan rasa penasaran kudekati perempuan yang memakai kerudung tak terlalu panjang itu. Ia pun langsung membalas dengan senyuman yang menggetarkan jiwa.

Ah. Wajahnya begitu indah. Lebih indah dari perempuanku di masa lalu. Aku terpesona sebentar, kemudian berusaha bertanya darimana asalnya.

“Aku dari Jember, Mas. Baru saja tiba di Situbondo untuk melihat masjid indah yang bagian pilar dan kubahnya itu terbuat dari 24 karat.” Jawabnya.

Sudah kupikir sebelumnya, jika masjid ini ramai karena kemegahannya. Bukan karena hal lainnya.

“Ooo…” hanya itu yang terlontar dari mulutku.

Tak sedikit pun ingin bertanya mengapa perempuan itu mirip dengan perempuanku di masa lalu. Bukankah bisa saja mereka adalah kembar seperti dalam sebuah sinetron picisan yang seolah menganut hukum, “Jika sepasang anak kembar  terpisah, pasti akan bertemu di masa depan dengan karakter bagai bumi dan langit.”

Ah. Ya. Memang dari tata cara senyum dan ucapannya mereka jelas berbeda. Tapi dari keanggunan tetaplah sama. Dan aku tak berani berkata jika mereka; kembar.

Ia segera meminta diri padaku yang begitu kaku. Begitupun dengan iring-iringan orang disebelahnya yang mungkin saja keluarga. Ah. Keluarga. Kapan rasanya aku bertemu dengan keluarga? Sedang diri hanya terasing di sini. Tak ada sanak kerabat sebagai tempat berbagi kisah.

“Maman…,” sapa seorang lelaki memakai peci putih.

Aku segera mendekatinya, lelaki itu kemudian memberiku beberapa lembar rupiah, lalu menyuruh membelikan beberapa bungkus nasi untuk marbot di masjid ini. Dengan sigap, aku langsung manut atas perintahnya. Tak ada sedikit pun rasa menolak ataupun yang lainnya.

Jelas saja. Penolakan berarti penghinaan yang berujung pada pemecatan. Kredebilitas sebagai marbot haruslah dipertahankan.

***

Malam tiba, situasi di masjid masih sama dengan siang. Malah pengunjung semakin bertambah. Dari wajah mereka terdapat banyak topeng, mulai dari topeng keikhlasan, sampai topeng maling. Sudah berapa kali masjid ini menjadi sasaran penjahat di balik songkok berwarna putih-hitam yang ternyata seorang pencopet.

Baca Juga:  Indonesia Canangkan Gerakan Nasional Wujudkan Film Anak dan Keluarga

Mereka pun bukan cuma sekali-dua kali beraksi. Tapi berkali-kali. Dan malam ini, kuperhatikan ada seseorang yang berlagak mencurigakan, tampak bingung memandangkan wajahnya ke kiri-kanan.

Tanpa ba-bi-bu segera kumendekat. Kuberjalan memutar tubuhnya. Ia bertambah bingung dengan gerak-gerikku.

“Sudah dapat berapa mangsa?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Apa maksudmu?” ia balik bertanya.

“Ah. Pencopet berpeci sepertimu tak usah berkelit. Ngaku saja!”

Keributan segera terbentuk. Ia tak juga mengaku. Satpam masjid segera mengamankannya. CCTV yang merekam kelakuan anehnya pun diputar. Tak ada rasa mengelak lagi. Ia pasti pencuri.

“Tidak, aku bukan pencuri.” Elaknya, tak ingin dituduh.

Beberapa orang mendengar pernyataannya, bersiap memberi pukulan kepada lelaki itu.

“Aku ke sini untuk mencari melati berwarna kuning untuk istriku yang  sedang sakit dan hanya bisa sembuh dengan melati itu. Aku sudah berkeliling masjid.  Tapi, tak juga kutemukan. Padahal, dulunya masjid ini adalah rumahnya.” Akunya, kemudian.

Hey, ini bukan zaman purba. Orang sakit itu dibawa ke dokter! Bukan malah mencari melati berwarna kuning! Kamu ini mengada-ada saja!” Kata satpam bertambah geram.

“Siapa istrimu?” tanyaku.

Ia segera menyebut sebuah nama, seperti yang pembaca duga; perempuanku di masa lalu. Aku segera mengajak lelaki itu menuju belakang masjid. Di sana hiduplah melati kuning kesukaan perempuanku dulu yang kini menjadi istrinya. Ia pun langsung memetik beberapa bunga. Lalu berucap terima kasih.

Lelaki itu tersenyum senang. Sedang hatiku bertambah sakit akibat kabar yang baru saja kuterima. Sudah bertahun-tahun tak tahu kabarnya. Kini, ia hidup dengan laki-laki cengeng dalam novel picisan yang pernah kubaca.

Bak film yang diputar di kepala. Aku menjadi ingat kembali tentang masa lalu. Dulu, dulu sekali. Kami berdua sering main bersama, berkejaran mengejar layang-layang walaupun akibatnya kami kena marah orang tua. Orang tuanya yang termasuk kalangan priyayi di desa kemudian menjadi marah dan melarang kami untuk bermain bersama. Tapi, tentu sebagai bocah ingusan. Kami tak hilang akal. Pun, ada saja permainan-permainan yang bisa kami lakukan. Dan, yang paling tidak diketahui banyak orang adalah eksprimen menanam melati kuning. Memang terdengar aneh, tapi itu nyata.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Melati kuning itu merupakan persilangan antara bunga kemuning yang memiliki aroma bangkai dan bunga melati putih. Waktu itu, kami hanya menanam bijinya di dalam tanah yang sama. Dan, entah setelah sekian lama. Tumbuh melati berwarna kuning di belakang rumahku.

Berdasar alasan itu, kami menjadi semakin sering bersama. Pun, aku memiliki kesukaan baru, yakni: memberikan setangkai melati kuning pada telinganya yang berukuran sedang. Sungguh waktu itu, ia merasakan senang yang berlebih.

Dan, aku pun merasakan hal yang serupa. Kejadian tersebut kami ulang berhari-hari tanpa rasa bosan. Hingga kemudian, sesuatu terjadi pada keluargaku. Orang tua menjadi kolaps setelah ditinggal lari pelanggan tetapnya ke luar kota dengan membawa banyak hutang. Jauh dari itu, Ibu tiba-tiba sakit keras, mungkin terlalu banyak mikir. Ayah pontang-panting dengan keadaan yang seakan memuakkan itu. hingga akhirnya tanah kami menjadi anggunan ke bank untuk meminjam. Sayang, sengsara tak dapat dihindari. Uang dari bank berhasil didapat. Tapi, tak bisa menjamin nyawa Ibu untuk diperpanjang.

Ibu meninggal. Tepat ketika Ayah membawa segepok uang. Dan, saat itu. aku seperti melihat kegagalan kedua orang tua. Seharusnya Ayah langsung mengembalikan uang itu ke bank atau setidaknya menggunakannya sedikit untuk biaya pemakaman. Tapi, nyatanya Ayah melampiaskan kekesalan dengan menghambur-hambur.

Tak terhitung. Sejak kematian Ibu. Ayah bergonta-ganti pasangan. Isak-isak kenikmatan pun sering kudengar. Aku bukannya ikut menikmati, tapi merasa jijik luar biasa. Seandainya waktu itu aku cukup umur. Barang tentu aku menentang Ayah. Tapi, bukankah anak kecil tidak boleh menentang orang tua? Apalagi ada cap anak durhaka yang begitu mudahnya diucapkan!

Keadaan itu membuatku mengubah haluan. Aku tak boleh sama seperti Ibu juga Ayah. Sayangnya, di tengah butuh dukungan moril. Perempuan di masa laluku itu pergi dengan keluarganya. Dan, ternyata nasibnya hampir sama dengan keluarga kami; kena hutang dan rumah sebagai jaminan.

Waktu itu, aku sungguh tidak bisa menahan rasa haru. Entah mengapa, ingin rasanya aku bertanya pada Tuhan. Apakah Ia telah pergi? Membiarkan segala sepi dan sedih menghampiri hamba-Nya yang tak tahu diri!

Oh! Sudahlah! Toh aku sudah move on! Apalagi sejak kejadian itu, Ayah juga meninggal. Sekalipun batinnya sudah lama meninggal akibat frustasi terhadap hutang yang tak bisa dibayar juga kematian Ibu.

Baca Juga:  Skrining Kesehatan Upaya Dini Untuk Pantau Kesehatan Siswa

Dan, aku yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa memelas kasih pada orang sekeliling. Beruntung, tanahku dan tanah perempuan di masa lalu itu dijadikan tanah wakaf. Masjid berkilau emas pun dibangun. Menjadi masjid yang paling megah di Situbondo atau mungkin Jawa Timur.

Dari bekas rumah itu, hanya satu yang bisa kuselamatkan; bunga melati kuning. Sekalipun, kini suaminya meminta bunga tersebut!

Ah. Mengapa perangai lelaki cengeng yang mendapatkan perempuan penyuka melati kuning itu? Mengapa tidak aku saja? Itukah yang namanya jodoh? Entahlah!

***

Setelah membantu lelaki itu, aku kembali disuruh ke luar masjid untuk membeli beberapa bungkus nasi. Jalanan lengang menyambutku, tak ada sedikit pun kemacetan yang sering terjadi. Suara angin dan jangkrik beradu kencang menambah rasa nyilu yang tiba-tiba datang.

Di depanku ada seseorang yang baru saja mendapat peristiwa kecelakaan. Dan betapa terkejutnya aku, jika yang kecelakaan itu adalah suami perempuanku itu.

“Mas, tolong bawakan melati kuning itu pada istriku. Dia harus bisa disembuhkan. Rasanya aku seperti bertemu kematian.” Ucapnya, lalu mengembuskan napas terakhirnya.

Aku pun segera melakukan perintahnya. Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli nasi malah dibuat untuk pergi ke rumah yang alamatnya telah disodorkan padaku. Dan sekitar satu jam kemudian, aku telah tiba di Desa Dadapan Bondowoso. Desa yang jauh lebih tenang dari keramaian Kota Situbondo.

Rumah bercat putih dan tembok tak terlalu tinggi, langsung menjadi sasaranku. Dan perempuan itu telah menunggu dengan rasa lelah yang tiada tara di bilik kamar sederhana.

“Suamiku, tolong buatkan jus dari melati yang kaubawa itu.” Katanya, tanpa sedikit pun melihat wajahku.

Aku pun segera melakukan apa yang diperintahkannya. Dan beberapa menit kemudian, jus aneh itu langsung diminumnya.

“Terima kasih suamiku, aku sekarang sudah baikan. Aku sayang kamu. Tapi sungguh, pemuda bernama Maman lebih kusayang.” Katanya, manja. Sambil mengecup keningku. [!]

Gusti Trisno. Aktif menulis cerpen, puisi, novel, dan resensi. Penggiat Komunitas Penulis Muda Situbondo ini lahir di Situbondo pada tanggal 26 Desember 1994. Saat ini, ia menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Jember. Ia pernah menjadi juara 2 Penulisan Cerpen dalam Pekan Seni Mahasiswa Jawa Timur 2016. Tulisannya dalam bentuk cerpen dan essay telah dimuat di beberapa media.

Related Posts

1 of 48