Budaya / SeniCerpen

La Douleur – Cerpen Gregorio Surya Abdi Julianto

NUSANTARANEWS.CO – Pernah suatu kali aku mengajak seorang wanita untuk bercinta di pekarangan belakang puisiku. Ia kutemukan terbaring di atas keranda kamarku, sedang menanggalkan tiap helai pada jiwanya, tanpa busana jiwanya melayang. Tubuhnya, kota suci dengan wewangian sedap malam, tenang dan agung. Parasnya Anjani, indah warna alam pualam. Sedang pada matanya terukir gunung membelah lautan, sayu ditatap sejuk sejenak. Bahkan aku bisa melihatnya dengan tanganku tanpa harus menyalakan lampu pijar yang tegak lurus dengan matanya.

Malam itu kami benar-benar menjadi sepasang angsa yang bebas dan telanjang. Ia masih saja diam ketika aku berkelana dalam kota suci, ibu kota para pendosa dengan kesedihan sebagai Tuhan-nya.

 “Jangan…tunggu,” bentaknya halus saat aku mulai menuju pada bagian keintimannya. Sial, pikirku, hampir saja aku mengusai wanita itu sepenuhnya. Namun tiba-tiba jemarinya meraih jemariku yang berada tepat di atas keintimannya, diarahkannya aku menuju inti kehidupan.

Kemudian ia mulai bercerita.

 

Pada suatu masa, yang dikuasai oleh rezim tangan besi. Terdapat suatu ajaran yang dilarang di dalam negara itu. Ajaran yang menurut rezim ini menghambat dan membahayakan kekuasaannya, yaitu kasih sayang. Kekuasannya taklah seumur jagung, melainkan 32 tahun. Selama itu pula, banyak orang yang dijadikannya tumbal untuk menambal kekuasan. Bukan hanya itu, ajaran yang terlarang itu pun diberanguskan. Setiap pengikut ajaran tersebut dijadikan buronan dan dianggap hama oleh pemerintah. Tak heran suara bedil jadi santap malam yang wajib tiap harinya selama bertahun-tahun.

Jemariku masih temaram dalam kemaluannya. Dan ia masih melanjutkannya.

Ia berlari menuju La Douleur, menjauhi ketidakramahan ibu kota. Baginya ibu kota tidak pernah benar-benar menjadi rahim atas kesedihannya, tak pernah menawarkan kehangatan atas penderitaannya. Air matanya selalu ia tampung untuk diminumnya kembali, penderitaan ia kumpulkan untuk bekal jika ia merasa lapar. Setiap orang di kota ini selalu berbekal kesedihan dan penderitaan untuk dapat bertahan hidup. Jika malam hampir tiba, mereka menuju ke sudut kota yang bernama La Douleur untuk menikmati kesedihan dan penderitaan yang masing-masing mereka bawa.

“Kau tau kenapa sudut kota ini bernama La Douleur?”

Ia tidak menghiraukan siapa yang bertanya kepadanya.

“Karena tempat ini selalu dipenuhi kesedihan. La Douler, kesedihan. Lantas kenapa tempat ini selalu jadi tempat menikmati kesedihan dan penderitaan?”

Ia masih menikmati kesedihannya dalam gelas kesekian yang ia teguk ketika ada yang bertanya kepadanya. Bukan karena ia tak ingin menjawab pertanyaan itu, tetapi memang pertanyaan itu tidak seharusnya untuk dijawab.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Karena pemerintah tidak menikmati kesedihan dan penderitaan, makanya mereka tidak pernah sampai menyentuh tempat ini …”

Sontak ia tertawa menjatuhkan kesedihannya ke tanah untuk dinikmati rumput liar yang akarnya menembus setiap bangunan di kota ini. “Aku rasa karena di tempat ini tak ada kasih sayang …” jawabnya sambil mengulurkan tangan kepada pria itu.

“Natalia …”

“Paulo, panggil saja Paul …” Pria itu menghampiri tangan wanita yang menawarkan kesedihan. Pada matanya tidak terlihat kesedihan, melainkan amarah. Telapak tangan yang kasar menandakan bahwa ia telah jauh berkelana membawa urat-urat amarah yang mengalir dalam darahnya. Wajahnya membawa kelelahan kota yang menampung penderitaan, namun matanya masih tetap terjaga. Tak butuh waktu lama untuk Natalia mengetahui seberapa hebat penderitaan yang Paul hadapi: pada mata kiri Paul terdapat luka lebam pukulan senjata—siapa lagi yang punya senjata pada masa seperti ini kalau bukan angkatan bersenjata? Pada tangan kirinya tertempel poster perlawanan terhadap rezim ini, sedang pada tubuhnya terukir tulisan “buronan” yang menyatu dalam dagingnya. Seketika itu Natalia menyukai pria tersebut, atas penderitaan yang ia alami.

“Apa ada kesedihan yang membuat orang jatuh cinta?” Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri.

“Bukankah kesedihan itu merupakan bentuk cinta itu sendiri? Air mata dan penderitaan adalah sepasang kekasih yang tak pernah saling melepaskan,” jawab pria itu juga pada dirinya sendiri. Lantas pergi dengan menyisakan bayangannya untuk menemani kesedihan perempuan itu. Sebelum pergi, ia menitipkan sebuah botol yang terisi penuh oleh air matanya.

Semakin lama di kota itu gelap menjadi lebih panjang daripada terang. Sudut kota tak lagi mampu menampung kesedihan orang banyak. Suara tangisan menjadi lagu pengantar tidur setelah menikmati bedil yang jadi santap malam.

Gedung-gedung tua dirobohkan untuk menambah lahan penampungan air mata. Selepas pertemuan awal di sudut kota, mereka lebih sering bertemu setiap hari saat malam hampir tiba. Entah untuk berbicara tentang penderitaan atau hanya sekedar berbagi air mata lalu pulang.

“Apakah kesedihan membawa mereka menjadi sepasang kekasih?” tanyaku memotong alur cerita yang ia rangkai.

Malam itu basah merambat melalui mata ibu kota. Sudut kota tak lagi jadi pelaminan tempat penderitaan berlabuh. Hanya beberapa orang yang terlihat masih mampir dan melebur dengan hujan yang datang sehari penuh. Paul berlari mendekati hujan menuju pelataran rumahnya yang terletak dekat dengan sudut kota. Ia tampak seperti pencuri yang masuk ke rumahnya sendiri, matanya mengamati tiap gerak-gerik malam sebelum berhasil meraih gagang pintu rumahnya.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Ia membuka pintu kamarnya dan melihat Natalia sedang terbaring di atas ranjang, telanjang. Ia berlari dan jatuh pada pelukan Natalia, menangis dalam payudaranya. Dihisapnya dalam-dalam seperti tangis bayi pada induknya. Ia pria kecil yang mengadu pada selangkangan ibunya. Dipeluknya Natalia dalam-dalam seolah akan ada yang ingin mengambil perempuan itu. Ditutupinya seluruh tubuh juga payudara Natalia dengan tangan juga tubuhnya supaya tak ada yang mampu menarik perempuan itu dari kegelapan.

“Kau tahu bahwa pertemuan adalah perjanjian antara Tuhan dengan kematian, sedang perpisahan adalah jalan lain menuju kematian itu sendiri?”

“Aku pengembara yang merindukan padang pasir, namun tak pernah sampai pada tempat itu. Aku merindukan pasir yang berjalan di atas kakiku, juga fatamorgana yang kadang mampir di depan mata.” Perlahan Paul meraba kedua mata Natalia, tempat berkumpulnya kesedihan, mengusap-usap kelopak hingga bola matanya.

“Maukah kau menjaga kesedihan untukku?” bisiknya halus namun mengalahkan derasnya hujan. Paul mengambil gulungan benang dan jarum pada saku bajunya yang sempat ia beli selepas pertemuan untuk membahas demonstrasi besar-besaran yang akan dilakukan untuk menggulingkan kekuasan rezim tangan besi.

“Maukah kau menutup mata ini supaya kau tak dapat melihat kegembiraan pada kota ini? Menjaga tiap kesedihan pada matamu, supaya tak ada orang lain yang dapat merebut kesedihan ini dari dirimu.”

Hujan malam itu terdengar seperti alunan Le Cygne yang diputar di pusat kota. Dalam alunan itu Paul menjahit sepasang kelopak mata perempuan itu. Memberikan simpul mati pada matanya supaya tak dapat seorang pun membukanya. Setiap jarum masuk menembus kulit, semakin nyaring terdengar Camille Saint-Saëns memainkan hujan dalam alunan Le Cygne. Tak ada rasa sakit ataupun darah keluar dari mata perempuan itu, yang terdengar hanya desah kesedihan. Kini tersimpan sudah seluruh kesedihan dan penderitaan Paul di dalam mata Natalia, tertutup rapat-rapat dalam kegelapan. Dalam kesedihan itulah mereka saling bercinta, sambil telanjang. Baginya, kegelepan merupakan cara manusia merahimi semesta, di dalamnya terdapat kesedihan, tempat bagi air mata dan penderitaan untuk tak saling melepaskan.

MEI, menjadi bulan di mana pagi dan siang terlihat sama gelapnya dengan malam. Tidak lagi terlihat orang-orang yang singgah di sudut kota untuk menangisi akhir pekan mereka. Sudut kota “La Douleur” lebih pantas disebut tempat pemakaman selepas kerusuhuan besar-besaran yang terjadi di ibu kota. Banyak mayat yang ditembaki dalam jalan menuju persimpangan sudut kota. Rezim yang bobrok telah berhasil disingkirkan oleh segerombolan massa yang menyebut dirinya mahasiswa dan organisasi-organisasi yang  sudah muak melihat kemunafikan pemerintah. Namun sejatinya, lengsernya rezim ini merupakan skenario besar yang dilakukan pemerintah untuk mengibuli masyarakat.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Natalia masih terpasung dalam kamar, hidup dalam kegelapan dan kesedihan yang dititipkan oleh Paul dalam matanya. Malam itu, setelah Paul selesai bercinta dengan Natalia, ia pergi dengan tidak mengucapkan salam perpisahan. Ia hanya mengatakan bahwa perpisahan adalah jalan lain menuju kematian.

Selepas kerusuhan besar di ibu kota, banyak orang yang diculik karena dianggap menjadi dalang kerusuhan. Satu persatu dari mereka diseret keluar dari kegelapan menuju apa yang tidak menjadi kesukaan mereka, yaitu terang. Dan Natalia, satu-satunya wanita yang menyimpan kesedihan dalam kegelapan di kota itu.

***

Kami diam dalam tubuh kami yang telanjang. Aku masih menerka cerita yang baru saja ia ucapkan.

“Adakah pada cerita itu suatu yang nyata?” tanyaku pelan.

 Ia lebih memilih mendengarkan alunan Le Cygne yang aku putar ketimbang mempertanyakan reaksiku mendengar cerita darinya. Aku memang selalu memutar lagu Le Cygne karya Camille Saint Saëns sebelum memulai bercinta dengan semua wanita. Sesekali terdengar desahan penuh kesedihan keluar dari mulutnya ketika alunan lagu mencapai dinamik yang crescendo. Ia tampak menikmati lagu ini hingga tanpa sadar ia memeluk tubuhku erat-erat, payudaranya erat menekan dadaku. Kemudian ia membisikan sesuatu pada telingaku,

“Kesedihan membuat orang jatuh cinta.”

Kemudian ia menciumku dan pada matanya kulihat kesedihan tertutup rapat di balik kelopaknya. Dan tak seorang pun ia biarkan membuka matanya.

-selesai-

Gregorio Surya Abdi Julianto, kelahiran Surabaya, 5 Maret 1997. Mahasiswa FFTV, Institut Kesenian Jakarta. Menulis beberapa skenario film pendek, cerpen, sajak dan resensi. Kesehariannya juga disibukkan sebagai Volunteer Sahabat Anak Jendela.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 22